Tingkat Kesejahteraan Rakyat RI Masuk 5 Besar Indeks Global

Secara keuangan, masyarakat Indonesia juga semakin percaya diri.

oleh Nurmayanti diperbarui 26 Mar 2019, 17:42 WIB
Diterbitkan 26 Mar 2019, 17:42 WIB
Survei Skor Kesejahteraan 360 berisi persepsi kesejahteraan masyarakat di 22 negara. Dok Cigna
Survei Skor Kesejahteraan 360 berisi persepsi kesejahteraan masyarakat di 22 negara. Dok Cigna

Liputan6.com, Jakarta Tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia dinilai meningkat hingga berhasil masuk ke jajaran lima besar indeks kesejahteraan global. Angka ini naik dibandingkan tahun lalu, Indonesia berada di urutan ke-14.

Ini merupakan hasil survei perusahaan penyedia jasa kesehatan Cigna Corporation. Dalam Survei Skor Kesejahteraan 360 berisi persepsi kesejahteraan masyarakat di 22 negara. Dalam survei global yang dilakukan awal 2019 terhadap 13.200 responden itu, kesejahteraan yang disurvei mengacu pada lima pilar utama yakni fisik, keluarga, sosial, keuangan, dan pekerjaan.

“Indonesia berhasil keluar dari jajaran 10 negara dengan persepsi kesejahteraan terendah,” kata Direktur Cigna Indonesia Phil Reynolds di Jakarta, Selasa (26/3/2019).

Reynolds menjelaskan, Survei Skor Kesejahteraan 360 dilakukan Cigna tiap tahun. Tahun ini merupakan survei kelima. Dalam survei kali ini, skor kesejahteraan masyarakat Indonesia berada di peringkat keempat dengan indeks kesejahteraan yang melompat 4,4 poin dari 61,0 menjadi 65,4.

Sementara itu, Chief Marketing and Strategic Partnership Officer Cigna Indonesia Akhiz Nasution menjelaskan, dalam survei itu terungkap, semakin banyak reponden yang merasa mereka berhasil menjaga makan agar tetap sehat, memiliki waktu untuk berolah raga, berat badan ideal, dan tidur yang cukup.

“Masyarakat Indonesia juga merasa mereka semakin mampu menjaga kesejahteraan keluarga mereka, dilihat dari kemampuan menjaga kesehatan dan menjamin keuangan pasangan, anak, dan orang tua mereka.

Indeks kenaikan tertinggi terlihat dari kepercayaan diri masyarakat Indonesia dalam menjamin kesejahteraan dan pendidikan anak mereka, poinnya naik 15 poin, dari 40 menjadi 55,” tutur Akhiz.

Dia mengatakan, berkaca dari survei itu, Cigna Indonesia bisa menyiapkan produk-produk proteksi yang sesuai kebutuhan masyarakat Indonesia.

“Market di Indonesia penetrasinya masih sangat kecil, baru sekitar dua persen. Lewat survei ini, kami bisa memberi kontribusi positif. Produk-produk yang kami keluarkan disesuaikan dengan kebutuhan,” papar Akhiz.

Secara keuangan, masyarakat Indonesia juga semakin percaya diri. Hal itu dilihat dari kemampuan mereka membayar kebutuhan edukasi keluarganya.

Selain itu, kata dia, dari survei terungkap, semakin banyak masyarakat Indonesia yang merasa puas dengan paket gaji dan kompensasi dari tempat mereka bekerja, meskipun hal tersebut harus dibayar dengan bertambahnya tanggung jawab di kantor.

Dijelaskan, mayoritas masyarakat Indonesia, atau sebanyak 76 persen mengungkapkan bahwa kantor mereka menyediakan program-program kesejahteraan seperti klub kesehatan, olah raga, kelas sharing, dan lain-lain.

Angka ini cukup tinggi ketimbang rata-rata global yang hanya 46 persen. Hampir setengah responden (48 persen) juga mengungkapkan, kantor mereka menyediakan sarana dan dukungan untuk mengurangi stres, angkanya cukup tinggi dibandingkan rata-rata global yang hanya 28 persen.

Terkait usia tua, masyarakat Indonesia memiliki waktu yang cukup singkat dalam mempersiapkan usia tua, karena mayoritas responden menyebut masa tua dimulai pada usia 57 tahun. Indonesia adalah negara dengan jawaban usia tua terendah.

 

Tingkat Stres

Dalam survei, rata-rata global menyebut usia tua dimulai pada 63 tahun. Meskipun sudah merasa tua di usia yang relatif muda, 64 persen masyarakat Indonesia merasa sudah siap secara finansial menghadapi usia tua, dibandingkan responden global yang hanya 38 persen yang siap.

“Selain itu, hampir 80 persen masyarakat di Indonesia siap menyambut usia tua yang aktif dan sehat. Ini sebuah fakta yang cukup positif mengingat perekonomian negara bisa terbantu dengan banyaknya masyarakat usia tua yang sehat dan ingin tetap memberikan kontribusi,” tutur Akhiz.

Tak hanya siap secara fisik, tambahnya, ternyata 87 persen masyarakat Indonesia juga merasa siap secara mental dalam menghadapi usia tua. Lebih dari setengah masyarakat Indonesia ingin terus bekerja di usia tua karena beragam alasan, salah satunya agar tetap up to date dengan kondisi terkini, ingin tetap sibuk, serta ingin memberikan panduandan nasihat kepada pekerja yang lebih muda.

Menurut survei, para pekerja muda pun antusias untuk bekerja bersama generasi yang lebih tua. Sebanyak 69 persen dari responden usia muda di Indonesia mengatakan mereka mau bekerja bersama generasi yang lebih tua.

Di negara lain yang disurvei, hanya sepertiga perusahaan yang berkenan mempekerjakan generasi yang lebih tua. Namun di Indonesia, lebih dari setengah perusahaan justru bersedia mempekerjakan usia tua.

Survei itu juga mengangkat tentang kesadaran masyarakat akan kesehatan jantung. Terungkap, sebanyak 57 persen responden di Indonesia mengatakan mereka mengetahui besaran BMI (Body Mass Index) mereka. Angka itu di atas rata-rata global yang hanya 51 persen. Sementara itu, 84 persen responden mengaku tahu tekanan darah mereka. Angka itu di atas rata-rata global yang hanya 66 persen.

Hal ini menunjukkan, masyarakat Indonesia cukup memahami pentingnya mengetahui faktor-faktor yang mengindikasikan kondisi kesehatan mereka.

Meski demikian, mayoritas orang Indonesia pernah mengalami setidaknya dua indikasi penyakit jantung yaitu sakit di dada dan sesak nafas. Yang lebih mengkhawatirkan, lebih dari dua indikasi penyakit jantung itu mereka rasakan selama enam bulan terakhir. Angka itu lebih tinggi dibandingkan rata-rata global yang hanya 1,5 indikasi.

Direktur HR Cigna Indonesia Nefo Luhur Dradjati memaparkan, survei tersebut juga mengungkap tentang tingkat stres pada perempuan di Indonesia. Meskipun tingkat stres di Indonesia lebih rendah dibandingkan negara-negara lain yang disurvei (77 persen dibandingkan 84 persen) di Indonesia, perempuan bekerja merasa lebih stres dibandingkan pria bekerja yaitu 84 persen di Indonesia dibandingkan 76 persen secara global.

Biasanya, perempuan stres karena tekanan pekerjaan, memikirkan kondisi keuangan keluarga, dan keuangan pribadi. Hanya 1 dari 3 perempuan yang merasa percaya diri akan kondisi keuangan mereka.

“Meskipun pria masih dianggap sebagai pencari nafkah utama, perempuan pekerja merasa mereka tetap harus berkontribusi terhadap keuangan keluarga,” kata dia.

Sama seperti responden global, mayoritas perempuan di Indonesia merasa bahwa program kesejahteraan karyawan di kantor diadakan hanya untuk memberikan manfaat secara umum, tidak dikhususkan kepada kebutuhan perempuan pekerja.

Oleh karena itu, responden perempuan berharap agar kantor mereka dapat mengadakan program kesejahteraan yang dikhususkan kepada perempuan. Mayoritas pekerja perempuan, baik yang masih lajang, menikah maupun memiliki anak, semua berharap dapat mengambil lebih banyak cuti untuk mengatasi stres yang diakibatkan pekerjaan.

Dia menambahkan, jumlah perempuan bekerja di Indonesia terus meningkat, oleh karena itu, program kesejahteraan juga harus disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Perempuan bekerja harus merasa mendapat dukungan penuh dari perusahaan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya