Kembali jadi Menkeu, Sri Mulyani Pastikan Tak Ada Pemisahan Ditjen Pajak

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan bahwa tidak ada pemisahan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak dari Kemenkeu.

oleh Liputan6.com diperbarui 23 Okt 2019, 15:06 WIB
Diterbitkan 23 Okt 2019, 15:06 WIB
Menteri Kabinet Kerja Jilid I Hadiri Pelantikan Presiden-Wapres
Menteri Keuangan, Sri Mulyani melambaikan tangan saat tiba menghadiri pelantikan Presiden dan Wapres 2019 di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta, Minggu (20/10/2019). Jokowi-Ma'ruf Amin resmi dilantik sebagai Presiden dan Wapres RI periode 2019-2024. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan bahwa tidak ada pemisahan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Pernyataan ini sekaligus meluruskan kabar wacana pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) untuk menggantikan Ditjen Pajak.

"Tidak ada perubahan kelembagaan (di Kemenkeu), kita tetap berjalan seperti yang sekarang," ujar Sri Mulyani di Aula Mezzanine, Kemenkeu, Jakarta, Rabu (23/10).

Rencana pemisahan Ditjen Pajak dari Kementerian Keuangan memang telah berlangsung lama. Sejak awal menjabat Menkeu di era pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini paling vokal menolak rencana pemisahan otoritas pajak tersebut.

Sebelumnya, Fraksi Partai Gerindra mendorong agar pemisahan Direktorat Jenderal Pajak dari Kementerian Keuangan segera dilaksanakan. Hal ini disampaikan dalam rapat paripurna di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Politisi Gerindra, Bambang Haryo Soekartono, mengatakan pemisahan tersebut dinilai dapat meningkatkan penerimaan negara. Dengan demikian, diharapkan target penerimaan negara yang dicanangkan tiap tahun dapat tercapai.

"(Fraksi Gerindra) Mendorong pemisahan Dirjen pajak dari Kementerian keuangan," kata dia, di Ruang sidang paripurna, Kompleks DPR RI, Jakarta, Kamis (22/8).

Sri Mulyanipun menyampaikan pemisahan harus disertai dengan pemberian wewenang yang memadai kepada Ditjen Pajak untuk mengumpulkan pajak. "Untuk mengoptimalkan potensi penerimaan negara," ujar dia.

Karena itu, dia pun mengajak segenap anggota DPR RI dan pemerintah untuk secara serius membahas revisi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Sedianya rencana pemisahan harus menjadi bagian dari revisi UU tersebut.

"Kita ingin mengajak pemerintah dan seluruh fraksi RUU KUP kita perlu apa yang pemerintah janjikan dalam Nawacita," tandasnya.

 

* Dapatkan pulsa gratis senilai jutaan rupiah dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com mulai 11-31 Oktober 2019 di tautan ini untuk Android dan di sini untuk iOS

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Jadi Menkeu Lagi, Sri Mulyani Harus Genjot Ekonomi Indonesia

Sri Mulyani, Siti Nurbaya dan Agus Gumiwang Siap Jadi Menteri Lagi
Menteri Keuangan pada Kabinet Kerja Jilid I Sri Mulyani tiba di Istana Negara, Jakarta, Selasa (22/10/2019). Sri Mulyani datang memenuhi panggilan Presiden Joko Widodo terkait penetapan Calon Menteri Kabinet Kerja Jilid 2. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Piter Abdullah, mengaku tak sependapat apabila Sri Mulyani Indrawati kembali dipilih sebagai Menteri Keuangan (Menkeu) di Kabinet Jokowi Jilid II.

Menurutnya, dengan kembalinya Sri Mulyani diposisi yang sama pada periode sebelumnya tidak akan membawa pertumbuhan ekonomi lebih baik.

"Kembalinya SMI sebagi Menteri Keuangan itu artinya kita tidak akan mengalami lompatan pertumbuhan ekonomi selama lima tahun kedepan," kata Piter saat dihubungi merdeka.com, Selasa (22/10).

Piter menyebut dengan masuknya Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu perekonomian nasional akan terjebak dipertumbuhan sekitar 5 persen. Dengan demikian, mimpi menjadi negara besar di tahun 2045 perlu dipikirkan kembali.

"Kecuali jika Ibu Sri Mulyani mengubah pola kebijakannya dalam menghadapi perlambatan ekonomi global," jelas dia.

Karena menurut dia yang dibutuhkan itu adalah kebijakan countercyclical baik di moneter, fiskal maupun di sektor riil. Artinya kebijakan moneter yang sudah pro terhadap pertumbuha hendaknya diimbangi dengan kebijakan fiskal yang penuh dengan stimulus terhadap perekonomian.

"Jangan takut untuk melebarkan defisit, harus berani menghadapi kritik atas terus bertambahnya utang pemerintah. Fokus kepada pertumbuhan ekonomi," jelas dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya