Impor Bukan Solusi Tepat untuk Turunkan Harga Gas

Pemerintah memiliki tiga opsi untuk menurunkan harga gas.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 09 Jan 2020, 18:00 WIB
Diterbitkan 09 Jan 2020, 18:00 WIB
Bersama KPK, 3 Menteri Diskusi Bareng Lawan Korupsi
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif menjadi pembicara dalam acara ‘KPK Mendengar’ di Gedung KPK, Jakarta, Senin (9/12/2019). KPK menggelar peringatan Hakordia 2019 dengan tema “Bersama Melawan Korupsi Mewujudkan Indonesia Maju”. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Energi Sumber Daya Minera (ESDM) tidak melirik impor gas sebagai solusi, untuk menurunkan harga gas di tingkat konsumen industri sebesar USD 6 per MMBTU.

Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan, ada tiga pilihan untuk menurunkan harga gas yaitu mengurangi bagian pemerintah dari transaksi penjualan gas, memperioritaskan alokasi gas untuk dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO) dan impor gas dengan harga yang murah. Dari tiga pilihan tersebut, Arifin lebih cenderung memilih pengurangan bagian pemerintah dan DMO gas.

"Dari 3 alternatif tersebut kita ambil poin 1 dan 2 untuk kita evaluasi bagaimana pelaksanaannya bisa gabungan," kata Arifin, di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Kamis (9/1/2020).

 

Arifin mengungkapkn, DMO lebih dipertimbangkan karena akan meminimalisir impor gas. Sementra jika impor gas akan membuat jurang defisi neraca berjalan (Current Account Deficit/CAD) yang berujung pada pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat.

"DMO penting untuk bisa menghambat impor. Karena kalau impor kita akan menghadapi problem lain yaitu CAD," tuturnya.

Untuk menerapkan pegurangan bagian pemerintah dan DMO, Arifin masih melakukan kajian biaya, tatakelola dan pemetaan sumber gasnya.

"Intinya adalah keuntungan yang wajar untuk pengusaha dan Pemerintah bisa dapat gas yang kompetitif, sehingga bisa mendorong produksi industri nasional, sehingga industri nasional ini bisa lebih efisien sehingga bisa bersaing," tandasnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Harga Gas Ditargetkan Turun Dalam 3 Bulan

Menjelang Pengumuman Hasil Pemilu 2019, Menko Luhut Beri Keterangan Pers
Menko Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan memberi keterangan pers menjelang pengumuman hasil Pemilu 2019 di Hotel Akmani Jakarta, Senin (20/5/2019). Kepada pihak yang tidak sepakat dengan hasil Pemilu 2019, dipersilahkan mengadukan ke pihak yang berwenang. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menargetkan, harga gas untuk industri bisa turun menjadi US$ 6 per MMBTU pada Maret 2020.

Luhut mengatakan, saat ini pemerintah sedang mengkaji tiga opsi untuk menurunkan harga gas industri. Yaitu harga gas khusus Dalam Negeri (Domestic Market Obligation/DMO), pengurangan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari proses penjualan gas dan membebaskan industri impor gas.

"Sedang kita exercise (opsi penurunan harga gas)," kata Luhut, di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Jakarta, Selasa (7/1/2020).

Menurut Luhut, harga gas untuk industri ditargetkan bisa turun menjadi USD 6 per MMBTU. Dia pun akan melaporkan hasil evaluasi ke Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada awal Maret 2019.

"Saya janji lapor presiden Maret awal harus selesai," ujarnya.

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia mengungkapkan, harga gas industri diharapkan bisa turun menjadi US$ 6 per MMBTU dalam 3 bulan, agar industri dalam negeri lebih komtitif dalam menghasilkan produknya.

"Kemarin kita sudah rapat sudah jelas arahannya bahwa 3 bulan lagi kita minta harga industri itu gas itu USD 6 per MMBTU supaya produk industri bisa kompetitif. sedang dihitung SDM, PPH Migas untuk bagaimana melakukan penyesuaian migas terhadap cost mereka agar harga jual," tandasnya. 

Harga Gas Masih jadi Masalah Bagi Industri

Agus Gumiwang Kartasasmita
Menperin Agus Gumiwang Kartasasmita (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita, mengakui kelompok bahan baku menjadi permasalahan terbesar sektor Industri nasional. Salah satunya mengenai persoalan harga gas yang saat ini masih terbilang tinggi.

"Bahwa isu yang dihadapi industri nomor satu yaitu langka, kekurangan bahan baku atau mahalnya bahan baku yang salah satunya adalah gas," kata dia di Kantornya, Jakarta, Senin, (6/1).

Agus menyebut nominal yang kompetitif untuk harga gas mestinya bisa sesuai atau lebih rendah dari Perpres Nomor 40/2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi sebesar USD 6 per MMBTU.

Kondisi ini justru berbanding terbalik dengan harga yang terjadi disejumlah daerah misalnya di Medan, harga gas bumi bisa mencapai USD 13 per MMBTU. Sementara di Jawa hanya USD 7 per MMBTU.  

"Ini telah kami bahas berkali kali dalam rapat bersama presiden dan tentu yang paling ideal harga gas masing-masing sektor industri mempunyai harga ideal terhadap harga gas yang bisa memunculkan atau menjadikan mereka sebagai industri yang punya daya saing yang kuat," paparnya.

Menurut Agus, perbedaan penerapan standar harga kerap menimbulkan ketidakadilan energi bagi pelaku industri. Idealnya, penerapan harga gas bisa serupa harga bahan bakar minyak yang dipasok Pertamina yakni merata dan satu harga.

"Rata-rata kalau harga gas bisa paling tinggi USD 6 saya kira industri Indonesia punya daya saing yang cukup dibandingkan dengan industri yang ada di kawasan," tuturnya.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya