Liputan6.com, Jakarta - Direktur Yayasan Bambu Lestari Arief Rabik, bekerjasama dengan Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop), untuk perkuat program 1000 desa bambu di level koperasinya.
"Sekarang dengan Kementerian UMKM kita mau memperkuat di level koperasinya, supaya kita bisa benar-benar dorong lembaganya, supaya dananya pasti dan SOP-nya benar-benar didukung dan ada penyuluhannya," kata Arief setelah acara pertemuan terkait program 1000 desa bambu, di Ruang Kerja Kementerian Koperasi dan UKM, Jakarta, Jumat (17/1/2020).
Program 1000 desa bambu, diharapkan bisa menjadi salah satu penggerak industri di masyarakat, dengan memanfaatkan dan menghidupkan kembali lahan kritis di Indonesia, yang bekerja sama dengan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), kemudian dilanjutkan dengan Kemenkop.
Advertisement
Tujuan dari kerjasama program 1000 desa bambu ini, yakni untuk mengubah pola pikir terkait petani. Supaya petani bambu bisa memperoleh penghasilan yang berkelanjutan.
Selanjutnya, mengenai konsep dari program itu adalah mendorong proses industri bambu rakyat, untuk mendapatkan pengganti kayu yang berkelanjutan dan lestari.
"Nantinya pabrik-pabrik industri besar seperti meubel dan kontruksi, dan sebagainya, panennya dari pabrik level desa. Berarti pabrik-pabrik besar tidak boleh panen kayunya lagi. Dia harus panen dari pabriknya masyarakatnya, jadi mereka harus beli dari masyarakat," jelasnya.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Skema Lingkungan Hidup
Selain itu terdapat beberapa skema LHK, yakni hutan kemasyarakatan, hutan desa, hutan tanaman rakyat, dan ada juga hutan kemitraan.
Secara bagiannya, dibagi berdasarkan administratif. Sistem tersebut sudah diterapkan di Tiongkok, China, dan pihaknya mengadopsi sistem itu untuk Indonesia.
Sebenarnya, program ini sudah berlangsung sejak tahun 2015, dan kini ditargetkan 1000 desa.
"Satu desa bambu, satu sistem, artinya satu desa bambu bisa terdiri dari 10 desa administratif," jelasnya.
Terkait pendanaan, Arief menyebutkan perlu dana sebesar 1 juta dollar atau Rp 13,6 miliar per sistem, yang di dalamnya termasuk untuk pembangunan pabrik.
Kemudian, dilihat dari potensi daerahnya, seperti Jawa Barat, Jawa tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Timur (NTT), sudah memiliki peraturan daerah tentang bambu.
"Sebenarnya ini adalah upaya 20 tahun yang lalu, berarti kita tinggal tancap gas dan bergandengan tangan, untuk kembangkan bambu di masyarakat," pungkasnya.
Advertisement