Liputan6.com, Jakarta - Harga emas naik pada hari Selasa (4/3/3035) didorong oleh melemahnya dolar Amerika Serikat (AS) dan meningkatnya permintaan aset safe haven. Harga emas dunia pada Selasa di pasar spot naik 0,7% menjadi USD 2.914 per ons. Sedangkan harga emas batangan telah naik lebih dari 11% sepanjang tahun ini dan mencapai rekor tertinggi USD 2.956,15 pada tanggal 24 Februari.
Tak berbeda jauh, harga emas Antam juga telah menyentuh rekor tertinggi beberapa kali pada tahun ini. Harga emas produksi PT Aneka Tambang Tbk (Antam) pada Rabu (5/3/3035) dibanderol Rp1.709.000, naik Rp 5.000 dari hari sebelumnya. Kenaikan harga emas Antam ini menorehkan rekor baru, melampaui catatan sebelumnya di level Rp1.708.000 per gram yang terjadi pada 20 Februari 2025.
Baca Juga
Menelisik lebih dalam soal emas, tahukah kamu jika Indonesia berada pada posisi ke-8 Negara Penghasil Emas Terbesar di dunia?
Advertisement
Dikutip dari laman agincourtresources, Jumat (7/3/2025), Indonesia memang kaya akan mineral, salah satunya emas. Penambangan emas di Indonesia bahkan telah dimulai sejak lebih dari seribu tahun lalu saat kedatangan imigran dari Tiongkok.
Di zaman modern, industri pertambangan emas Indonesia mulai berkembang di masa kolonialisme Belanda. Pada 1850, Pemerintah Hindia Belanda mendirikan kantor penyelidikan geologi, manajemen, pengelolaan dan pencarian bahan galian tambang, yaitu Dienst van hen Mijnwezen di Weltevreden, Batavia.
Melalui lembaga inilah, wilayah penyelidikan geologi dan bahan galian tambang akhirnya meluas hingga seluruh pelosok Nusantara. Kemudian, di bulan Oktober 1950, dikeluarkanlah peraturan Pemerintah Kolonial No. 45, yang mengatur tentang larangan memberikan izin penggalian tanah yang mengandung bahan tambang, emas maupun mineral lainnya, kepada pihak selain orang Belanda.
Tambang Emas Modern
Dalam laman PT Agincourt Resources (PTAR), perusahaan pengelola tambang emas Martabe, Indonesia memiliki sejarah panjang dalam industri tambang emas. Tambang emas pertama yang dibuka pada era modern adalah Tambang Lebong Donok di Bengkulu pada 1899, diikuti oleh Tambang Lebong Tandai sekitar 1906-1910.
Setelah itu, sejumlah tambang lain mulai beroperasi, seperti Tambang Simau (1910), Mangani (1913), Salida (1914), Lebong Simpang (1921), dan Tambang Sawah (1923).
Sementara itu, pada era 1930-an, beberapa tambang baru juga mulai beroperasi, seperti tambang di Belimbing dan Gunung Arum pada 1935, serta Bulangsi dan Muara Sipongi pada 1936.
Pada 1939, produksi emas di Indonesia mencapai 2,5 ton, di mana setengahnya berasal dari Tambang Lebong Tandai.
Namun, sebagian besar tambang emas ini harus ditutup selama Perang Dunia II pada 1939-1945. Setelah perang, hanya beberapa tambang yang kembali beroperasi, dan produksi emas hingga pertengahan 1980-an pun tidak mengalami peningkatan signifikan. Pada 1985, produksi emas nasional tercatat hanya sekitar 2,6 ton.
Rehabilitasi Bekas Tambang Sebelum Perang Dunia II
Pada periode 1950 hingga 1970-an, aktivitas pertambangan emas di Indonesia lebih banyak berfokus pada rehabilitasi bekas tambang yang telah ada sebelum Perang Dunia II. Namun, upaya ini menemui berbagai kendala, seperti kerusakan tambang akibat pendudukan Jepang dan revolusi, serta tingginya biaya pemulihan. Selain itu, kebijakan pemerintah terkait industri emas juga dinilai kurang mendukung pengembangan tambang baru pada saat itu.
Sejumlah tambang emas peninggalan era kolonial kemudian direhabilitasi oleh N.V. Perusahaan Pembangunan Pertambangan (PPP), anak usaha Bank Industri Negara. Dua di antaranya adalah Tambang Emas Cikotok di Banten dan Logas di Riau. Sementara itu, tambang-tambang lain yang tidak dikelola perusahaan besar mulai diusahakan oleh masyarakat dalam bentuk tambang rakyat, seperti di Bengkulu, Kalimantan, dan Sulawesi Utara.
Advertisement
Investasi Asing Masuk
Pada 1967, pemerintah Indonesia mulai membuka peluang bagi investasi asing di sektor pertambangan emas melalui skema Kontrak Karya (KK) generasi pertama. Kebijakan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (UU PMA) dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Langkah ini diambil untuk menarik modal besar dalam rangka percepatan pembangunan sektor pertambangan nasional.
Namun, kebijakan terkait kepemilikan tambang mengalami perubahan pada 2020. Presiden Joko Widodo mengeluarkan aturan yang mewajibkan perusahaan tambang dengan kepemilikan asing untuk melakukan divestasi saham sebesar 51 persen.
Saham yang didivestasikan ini kemudian dialihkan ke pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, BUMD, atau Badan Usaha Swasta Nasional. Kebijakan ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020.
Saat ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat bahwa Indonesia memiliki area tambang emas seluas 1.181.071,52 hektar yang tersebar di 25 provinsi.
Beberapa tambang emas terbesar di Indonesia meliputi Tambang Pongkor di Jawa Barat, Tambang Grasberg di Papua, Tambang Martabe di Sumatra Utara, Tambang Gosowong di Maluku, dan Tambang Tondano di Sulawesi Utara. Sebagian besar dari tambang ini masih dikelola oleh perusahaan swasta.
