HIPMI Sebut Program Kartu Prakerja Tak Tepat Sasaran

Pemerintah dinilai tidak memiliki alat ukur relevan yang dibangun untuk peningkatan produktivitas masyarakat lewat Kartu Prakerja.

oleh Liputan6.com diperbarui 27 Apr 2020, 15:00 WIB
Diterbitkan 27 Apr 2020, 15:00 WIB
Job Fair
Sejumlah pencari kerja memadati arena Job Fair di kawasan Jakarta, Rabu (27/11/2019). Job Fair tersebut digelar dengan menawarkan lowongan berbagai sektor untuk mengurangi angka pengangguran. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), menyoroti beberapa permasalahan dalam program kartu prakerja yang telah diimplementasikan pemerintah. Salah satunya adalah tidak adanya alat ukur relevan yang dibangun untuk peningkatan produktivitas masyarakat.

Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan BPP HIPMI, Ajib Hamdani, mengatakan lahirnya program kartu prakerja ini berangkat dari Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 36 Tahun 2020 untum peningkatan kerja dengan produktivitas dan daya saing.

Namun, dalam kenyataannya, tidak ada peningkatan produktivitas dalam program kartu prakerja.

"Pertama, tidak ada alat ukur relevan dengan semangat yang dibangun yakni peningkatan produktivitas. Ada yang bisa dan tidak, dengan ada ukuran jelas yang tidak bisa masuk (mendaftar)," kata dia dalam video conference di Jakarta, Senin (27/4).

Ajib menilai penjaringan peserta program kartu prakerja tidak semuanya tepat sasaran. Sebab ada beberapa yang masuk sebagai peserta yang memang tidak membutuhkan, dan masih memiliki kecukupan uang namun punya kesempatan masuk kartu prakerja.

"Jadi tinggal gimana orang ini butuh atau tidak," imbuh dia.

 

Cara Mengukur Efektivitas

Kartu Prakerja
Kartu Prakerja

Kemudian permasalahan yang kedua, bagaimana caranya bisa mengukur ini efektif atau tidak. Misalnya berapa persen yang bisa mendapatkan kerja setelah diberikan pelatihan melalui program kartu prakerja ini, berapa banyak yang bisa bisnis dan berapa yang jadi karyawan lagi setelah di PHK.

"Alat ukur ini harus disampaikan. Jadi kita tidak bisa debat perdebatan dengan debat juga, tapi harus diselesaikan dengan tampilkan angka," kata dia.

"Problemnya ketika Kemenko Perekonomian gandeng platform diital, alat ukur ini tidak bisa mandatory. Platform tunggu dari peserta," kata dia

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya