Program Pemulihan Ekonomi Nasional Bukan Strategi Cegah Resesi

Sudah banyak pemerintah di belahan dunia lain yang mengeluarkan segala upayanya guna memberikan insentif, namun tetap masuk ke jurang resesi.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 27 Agu 2020, 11:00 WIB
Diterbitkan 27 Agu 2020, 11:00 WIB
Target Pertumbuhan Ekonomi
Gedung bertingkat mendominasi kawasan ibu kota Jakarta pada Selasa (30/7/2019). Badan Anggaran (Banggar) DPR bersama dengan pemerintah menyetujui target pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di kisaran angka 5,2% pada 2019 atau melesat dari target awal 5,3%. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah menilai, berbagai program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) merupakan strategi jangka panjang pemerintah agar ekonomi nasional tidak terlalu lama terpuruk akibat pandemi Covid-19 dan bukan strategi untuk mencegah resesi.

Oleh sebabnya, ia mengatakan, pemberian insentif dan stimulus tersebut memang tidak dapat dijadikan acuan apakah Indonesia nantinya bakal terjerumus resesi atau tidak.

"Efektif untuk mencegah resesi? Kalau ukurannya resesi, maka seluruh program pemerintah di seluruh dunia tidak efektif. Terbukti mereka semua mengalami resesi," kata Piter kepada Liputan6.com, Rabu (26/8/2020).

Menurut dia, strategi dan program bantuan pemerintah lebih ditujukan untuk meningkatkan penanggulangan wabah, membantu masyarakat dan dunia usaha yang terdampak agar tidak kolaps atau bangkrut. Sehingga ketika wabah berlalu mereka bisa segera bangkit.

"Berbagai strategi dan program yang dilakukan pemerintah di berbagai negara kalau menurut saya bukan untuk menghindari resesi. Karena resesi di tengah wabah yang begitu panjang adalah sebuah keniscayaan. Tidak terelakkan," tegas Piter.

Piter pun meminta masyarakat agar tidak menjadikan program PEN sebagai tolak ukur resesi atau tidaknya suatu negara. Sebab, ia menambahkan, sudah banyak pemerintah di belahan dunia lain yang mengeluarkan segala upayanya guna memberikan insentif, namun perekonomian di negaranya tetap tumbuh negatif dua kuartal beruntun.

"Pemerintah sudah banyak melakukan upaya. Tapi sekali lagi upaya-upaya Itu seharusnya tidak diukur dengan resesi. Kalau terjadi resesi bukan berarti upaya-upaya pemerintah gagal dan tidak berguna," ujar Piter.

** Saksikan "Berani Berubah" di Liputan6 Pagi SCTV setiap Senin pukul 05.30 WIB, mulai 10 Agustus 2020

Saksikan video pilihan berikut ini:

Indonesia Akan Resesi hingga 2021?

FOTO: Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Kuartal II 2020 Minus 5,32 Persen
Anak-anak bermain di bantaran Kanal Banjir Barat dengan latar belakang gedung pencakar langit di Jakarta, Kamis (6/8/2020). Badan Pusat Statistik mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia Kuartal II/2020 minus 5,32 persen akibat perlambatan sejak adanya pandemi COVID-19. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Bayang-bayang resesi terus menghantui Indonesia. Terlebih sejak pertumbuhan ekonomi nasional terkontraksi hingga -5,32 persen pada kuartal II 2020. Pertumbuhan negatif diprediksi akan terus berlanjut pada kuartal ketiga tahun ini, sehingga membuat Indonesia terjungkal dalam jurang resesi.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira memperkirakan, tidak mustahil jika pertumbuhan buruk tersebut bakal terus berlanjut hingga 2021 mendatang. 

Penilaian itu diberikannya lantaran pelaksanaan insentif pemulihan ekonomi nasional (PEN) yang dirasa jauh dari optimal karena ada beberapa faktor.

"Pertama, konsep insentif di awal yang terlalu mengandalkan jasa keuangan dalam menyelamatkan UMKM dirasa tidak efektif. UMKM itu kan 90 persen lebih terdiri dari mikro dan ultra-mikro yang sebelumnya masuk dalam kategori unbankable alias tidak dapat pinjaman bank. Ini justru yang distimulus yang mendapat pinjaman bank, artinya jelas tidak bisa menolong umkm yang paling terkena dampak pandemi," tuturnya kepada Liputan6.com, Rabu (26/8/2020).

Berikutnya, ia menambahkan, sebanyak 24 persen stimulus PEN diarahkan untuk korporasi, sementara hanya 12 persen yang masuk ke kesehatan dan realisasinya rendah.

"Akibatnya timpang antara penyelamatan ekonomi dan kesehatan. Pemulihan justru berjalan lebih lama ketika sektor kesehatan tidak mendapatkan porsi yang dominan," cibir dia.

Selanjutnya, Bhima menyatakan pemerintah terlambat untuk melakukan bantuan langsung tunai (BLT) atau cash transfer kepada pekerja dan sektor usaha mikro. Menurut dia, cash transfer semustinya jauh lebih efektif langsung dibelanjakan dibandingkan penyelamatan korporasi. Hal ini juga menjadi faktor indonesia masuk ke jurang resesi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya