Masyarakat Masih Ogah Belanja, Ekonomi Indonesia Bakal Minus 2 Persen

OJK memprediksi pertumbuhan pertumbuhan ekonomi pada kuartal ketiga kembali tumbuh negatif 2 persen.

oleh Liputan6.com diperbarui 07 Sep 2020, 13:10 WIB
Diterbitkan 07 Sep 2020, 13:10 WIB
Pertumbuhan Ekonomi DKI Jakarta Turun 5,6 Persen Akibat Covid-19
Pandangan udara permukiman warga dan gedung pencakar langit di Jakarta, Senin (27/7/2020). Berbagai sektor di Jakarya yang anjlok akibat Covid-19 antara lain listrik dan gas, perdagangan, pendidikan serta industri olahan. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Anggota Dewan Komisioner Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK, Tirta Segara memprediksi pertumbuhan ekonomi pada kuartal ketiga kembali tumbuh negatif 2 persen. Kondisi ini terjadi akibat dampak buruk dari turunnya angka konsumsi masyarakat.

"Kita siap-siap bisa minus 2 persen akibat orang tidak mau membelanjakan uangnya," kata Anggota Dewan Komisioner Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK, Tirta Segara dalam Webinar Indonesia Millenial Financial Summit Jakarta, Senin (7/9/2020).

Dampak lanjutan dari menurunnya pertumbuhan ekonomi ini akan berpengaruh pada menurunnya Pendapatan Domestik Bruto (PDB) tahun 2020. Kontraksi ini juga bisa meningkatkan angka kemiskinan yang ada di Indonesia.

Tirta menyebut akan ada penambahan 4,86 juta orang miskin baru. Hal ini terjadi karena banyak pegawai yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) yakni sebanyak 5,23 juta.

"PDB kita akan terkontraksi, kemiskinan meningkat karena banyak pegawai yang di PHK dan angka pengangguran meningkat hingga 5,23 juta orang," kata Tirta.

Akibatnya, kata Tirta, mayoritas rumah tangga mengalami kesulitan keuangan. Setidaknya menurut data 87 persen pengusaha mengalami kesulitan keuangan dan 65 persen pekerja juga mengalami kesulitan keuangan dalam hal ini.

Sebanyak 22 persen pekerja kepala keluarga juga kehilangan mata pencaharian. Sehingga mereka menggunakan tabungan untuk bertahan hidup. 48 persen pengusaha sudah menggunakan uang tabungannya. Begitu juga dengan pekerja yang 45 persen memakai tabungannya untuk mempertahankan daya beli.

Tidak sedikit juga yang sudah menjual aset. Sebanyak 28 persen pengusaha telah menjual asetnya sedangkan pekerja sudah 15 persen menjual aset. Selain itu, 19 persen pengusaha dan 8 persen pekerja sudah menggadaikan aset yang dimiliki.

"Mereka ini sudah menggunakan uang tabungan, tapi ini kan ada batasnya. Kalau tabungan sudah habis itu biasanya menjual aset atau gadai aset," kata Tirta.

Cara lain yang digunakan masyarakat untuk bertahan hidup yakni dengan melakukan pinjaman kepada koperasi atau bank. Sebanyak 32 persen pengusaha dan 19 persen pekerja telah meminjam dana kepada koperasi. Begitu juga dengan pinjaman melalui perbankan. Masing-masing kelompok pengusaha dan pekerja sudah mengajukan pinjaman ke bank sebanyak 6 persen.

"Ada juga yang sudah mulai pinjam di koperasi dan pinjam ke bank," kata Tirta.

Subsidi Gaji Dinilai Tak Mampu Dongkrak Daya Beli dan Pertumbuhan Ekonomi RI

Suasana Jam Pulang Kantor Pekerja di Jakarta
Sejumlah orang berjalan di trotoar pada saat jam pulang kantor di Kawasan Sudirman, Jakarta, Senin (8/6/2020). Aktivitas perkantoran dimulai kembali pada pekan kedua penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) transisi pandemi COVID-19. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Dalam rangka pemulihan ekonomi nasional imbas covid-19, pemerintah terus mengupayakan peningkatan daya beli di masyarakat. Salah satunya dengan subsidi gaji untuk pegawai swasta yang bergaji di bawah Rp 5 juta per bulan.

Namun demikian, Ekonom senior Faisal Basri menilai pemberian bantuan ini belum mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional dalam waktu dekat.

Menurut dia, bantuan ini akan cenderung untuk disimpan, dan bukan untuk dibelanjakan.

"Kalau saya lihat, kalau istilahnya kita ini punya akar masalah tapi yang kita selesaikan bukan akar masalah, ini ibaratnya Kemenkeu, BI, OJK, LPS, Kemenlu itu sudah bekerja maksimal namun mereka sebagai pemadam kebakaran, akar masalahnya tidak diselesaikan," kata Faisal dalam sebuah diskusi, Sabtu (5/9/2020).

Faisal menambahkan, jika ingin menggerakkan perekonomian nasional, pemerintah harus menyelesaikan permasalahan di sektor kesehatan yang menjadi gerbang awal terjadinya pelemahan ekonomi di dunia.

"Sepanjang pandemi tidak bisa dijinakkan maka kalau masyarakat dikasih uang seperti sekarang, misalnya pekerja yang dapat Rp 600 ribu cenderung di tabung, karena ini tambahan, kalau covid-19nya masih liar maka mereka akan nahan," ujarnya.

Lebih lanjut penanganan covid-19 ini juga berkorelasi dengan tingkat kepercayaan investor pada perekonomian suatu negara. Dimana jika negara dapat menangani pandemi dengan baik, maka pasar modalnya masih tetap baik, pun sebaliknya.

Oleh karena itu, Faisal berharap pemerintah menyelesaikan permasalahan di sektor kesehatan sebagai prioritas utama sebelum benar-benar membenahi sektor ekonomi.

"Jadi kemudian juga kita lihat dalam penanganan virus, kita happy di ekonomi, strateginya jelas berlapis malah, bahkan ada rencana koordinasi yang smooth," kata dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya