OJK: Banyak Asuransi Gagal Bayar karena Tata Kelola Buruk

GCG menjadi kunci bagi perusahaan asuransi untuk menghindari berbagai risiko permasalahan termasuk gagal bayar.

oleh Liputan6.com diperbarui 10 Sep 2020, 16:50 WIB
Diterbitkan 10 Sep 2020, 16:50 WIB
20160217-Ilustrasi Asuransi-iStockphoto
Ilustrasi Asuransi (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan alasan utama maraknya perusahaan asuransi mengalami gagal bayar. Buruknya penerapan tata kelola perusahaan atau good corporate governance (GCG) yang menjadi biang keroknya.

"Di Industri Asuransi kita, masih belum baik penerapan GCG nya. Sehingga perusahaan asuransi kerap mengalami persoalan gagal bayar," ujar Deputi Komisioner Pengawasan IKNB II OJK M Ihsanuddin dalam webinar bertajuk 'Mendorong Penetrasi Berkesinambungan Melalui Peningkatan GCG', Kamis (10/9/2020).

Ihsan mengatakan untuk perusahaan asuransi besar dengan nilai investasi yang juga besar harus memiliki aturan atau SOP yang harus ditaati oleh para fund manager. Seperti menentukan jenis instrumen atau proporsi investasi di instrumen yang dianggap berisiko.

Sehingga manajemen akan tergerak untuk melakukan proses pemantauan secara ketat terhadap penempatan dana investasi. Imbasnya peluang adanya kesalahan pembelian nilai aset yang anjlok hingga nilai sangat rendah bisa di antisipasi. Ujungnya penerimaan premi bisa terus dijaga secara normal oleh perusahaan.

"Di Indonesia sendiri regulasi terkait kewajiban menerapkan GCG oleh perusahaan asuransi telah tertuang dalam Pojk 43/POJK 05 2019 tentang Tata Kelola Perusahaan Yang Baik Bagi Perusahaan Perasuransian. Aturan ini bertujuan agar perusahaan asuransi mampu melakukan tata kelola dengan baik untuk terhindar dari kasus gagal bayar," sambungnya.

Hal senada juga diungkapkan oleh Ketua Dewan Pengurus AAJI Budi Tampubolon yang mengungkapkan bahwa GCG menjadi kunci bagi perusahaan asuransi untuk menghindari berbagai risiko permasalahan termasuk gagal bayar.

"Misalnya ada perusahaan asuransi yang bermasalah dari sisi investasi sehingga mengakibatkan gagal bayar. Ternyata stategi revenue nya atau kegiatan investasi nya tidak memadai. Sekali lagi kuncinya ada di GCG," tandasnya.

Reporter: Sulaeman

Sumber: Merdeka.com

Saksikan video pilihan berikut ini:

Pengamat Beberkan Penyebab Gagal Bayar yang Kerap Dialami Perusahaan Asuransi

20160217-Ilustrasi Asuransi-iStockphoto
Ilustrasi Asuransi (iStockphoto)

Sebelumnya, pengamat Hukum Bisnis dan Asuransi Budi Kagramanto menilai banyaknya kasus gagal bayar investasi di perusahaan asuransi jiwa karena ada aturan dari regulator yang dilanggar.

Perusahaan asuransi yang seharusnya hanya menjamin jiwa pemegang polis, justru memberikan garansi imbal hasil pasti (fixed return) melalui produk asuransi berbalut investasi.

 

"Bunga yang dijanjikan tidak masuk akal, tinggi sekali, bisa memberatkan perusahaan asuransi. Sekarang kejadian juga kalau perusahaan asuransi itu gagal bayar karena kondisi bursa anjlok," ujar Budi dikutip dari Antara, Selasa (8/9/2020).

Budi menjelaskan, perusahaan memang tidak salah jika berlomba untuk menarik masyarakat membeli produk asuransinya. Namun, justru cara menarik minat masyarakat ini disalahgunakan yaitu dibumbui dengan janji imbal hasil pasti dengan imbal hasil tinggi.

Untuk memenuhi janjinya itu, banyak perusahaan asuransi yang kemudian menempatkan dana nasabahnya di instrumen saham yang sejatinya berisiko tinggi dan fluktuatif, karena tidak memiliki garansi atas imbal hasilnya.

Selain itu, lanjut Budi, banyak perusahaan asuransi yang tidak memberikan informasi secara benar kepada calon nasabah. Padahal beberapa regulasi mewajibkan perusahaan memberikan informasi secara detail. Contohnya Undang-undang (UU) Perlindungan Konsumen, hingga Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD).

"Pasal 251 KUHD secara jelas ditujukan untuk perusahaan asuransi wajib memberikan informasi yang benar kepada tertanggung atau pemegang polis. Jangan yang disampaikan hanya keuntungan saja," ujar Budi.

Konsultan dan trainer perbankan, manajemen dan investasi Kodrat Muis menilai, imbal hasil pasti tidak dikenal dalam dunia asuransi. Hal itu dinilai sudah menyalahi Undang-undang Nomor 40/2014 tentang perasuransian dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 27 Tahun 2018 tentang kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan reasuransi, pembaruan dari POJK Nomor 71 Tahun 2014.

"Kalau ada produk asuransi yang rider-nya, atau pendamping produk itu dikemas dalam bentuk saving, itu sudah menyalahi undang-undang, karena tidak diatur. Yang diatur hanya dalam bentuk investasi (unit link)," ujar Kodrat.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya