Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati baru-baru ini merevisi forecast pertumbuhan ekonomi kuartal 3. Ini dinilai menjadi pertanda Indonesia akan resesi ekonomi.
Dalam perhitungannya, pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal 3 diperkirakan minus 2,9 persen hingga minus 1,1 persen. Angka tersebut lebih dalam jika dibandingkan dengan proyeksi semula, yakni sebesar minus 2,1 persen hingga 0 persen.
Sebelumnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal 2 terkontraksi hingga 5,32 persen. Dengan demikian, Indonesia dipastikan resesi karena akan mengalami kontraksi PDB dua kuartal berturut-turut, yakni kuartal 2 dan 3.
Advertisement
Menghadapi kenyataan tersebut, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara menyebutkan kemungkinan terburuknya adalah bertambahnya angka kemiskinan. Sehingga pemerintah harus tanggap dalam memberikan jaring pengaman sosial.
“Persiapan pemerintah mengantisipasi gelombang PHK yang merata di hampir semua sektor. Jika angka pengangguran tidak bisa tertolong dengan jaring pengaman, maka yang ada resiko ke angka kemiskinan yang naik dan ancaman konflik sosial makin tinggi. Jadi segera tambah BLT untuk pengangguran, korban PHK, dan pekerja informal,” kata Bhima kepada Liputan6.com, Rabu (23/9/2020).
Untuk itu, Bhima menekankan kepada pemerintah untuk kembali melakukan kalkulasi terhadap bantuan atau subsidi yang dikucurkan.
“Nominal BLT pun harus lebih besar dari sebelumnya, idealnya Rp 1,2 juta per orang per bulan selama 3-6 bulan. Bantuan berupa sembako juga bisa difokuskan ke daerah daerah yang padat penduduk seperti Jabodetabek,” jelas dia.
Menilik akar dari krisis kali ini, Bhima menyembutkan penanganan wabah covid-19 perlu menjadi fokus utama. Menurutnya, kegiatan ekonomi akan turut bergerak seiring dengan membaiknya penanganan wabah.
“Langkah pemerintah juga penting untuk menjamin pengendalian wabah berjalan optimal dan cepat. Ini kan akar masalahnya karena aktivitas ekonomi macet saat pandemi, maka solusinya adalah tangani masalah kesehatan dengan lebih serius. Semakin cepat pandemi tertangani semakin cepat recovery,” ujar Bhima.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Lonjakan Harga CPO Cs jadi Penyelamat Ekonomi Indonesia?
Di tengah prediksi ekonomi Indonesia terus minus, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan masih ada harapan adanya pemulihan kinerja ekonomi. Terutama kegiatan manufaktur dan adanya perbaikan harga sejumlah komoditas pada kuartal III tahun ini.
Sebelumnya, Menkeu memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal III terkontraksi 2,9 persen.
"Kemenkeu yang tadinya melihat ekonomi kuartal III minus 1,1 persen hingga positif 0,2 persen, dan yang terbaru per September 2020 ini minus 2,9 persen sampai minus 1,0 persen. Negatif teritori pada kuartal III ini akan berlangsung di kuartal IV. Namun kita usahakan dekati nol," kata Sri Mulyani dalam APBN kita, Selasa (22/9/2020).
Adapun harga sejumlah komoditas yang disebut naik, diantaranya minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang menjadi andalan ekspor pemerintah.
Selain itu, Menkeu juga menyinggung soal harga minyak dunia yang masih naik. Bahkan melebihi asumsi pada Perpres 54/2020. Dimana baseline asumsi harga ICP (Indonesia Crude Price) ialah USD 38/barel untuk harga rata-rata sepanjang tahun 2020.
"Ini dilihat dari berbagai harga komoditas, harga minyak di atas USD 40 per barel, lebih tinggi dari asumsi di Perpres yang masih di USD 35, USD 36 dan sekarang sudah ada di atas USD 40 per barel," kata Sri Mulyani.
Lainnya, ada harga emas, yang disebut Sri Mulyani terus naik seiring dengan posisinya sebagai aset safe haven (aman investasi).
"Harga komoditas lain ada perbaikan, emas safe haven dari situasi ketidakpastian makannya melonjak di Agustus dan masih bertahan tinggi di September. LNG turun tajam di September, dari harga tembaga juga mengalami kenaikan,” kata dia.
Menkeu menjelaskan, harga CPO merangkak naik setelah tertekan luar biasa di Mei dan Juni sehingga sudah terlihat pulih di Agustus dan September. Sementara untuk batu bara belum menunjukkan adanya pemulihan.
"Batu bara belum ada pemulihan, masih shock, sejak Mei dan belum ada tanda pemulihan, harga stabil. Jadi dalam hal ini RI, komoditas batu bara masih tertekan, CPO membaik, LNG ada perbaikan meski masih labil,” jelas Sri Mulyani.
Advertisement
Siap-Siap Resesi, Sri Mulyani Prediksi Ekonomi Indonesia Kuartal III Minus 2,9 Persen
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III 2020 mencapai minus 2,9 hingga minus 1,0 persen. Ini artinya Indonesia siap-siap menuju jurang resesi.
Sementara secara keseluruhan di 2020, Kemenkeu memprediksi pertumbuhan ekonomi akan mencapai minus 1,7 sampai minus 0,6 persen.
“Kementerian Keuangan melakukan revisi forecast pada bulan September ini, yang sebelumnya kita memperkirakan untuk tahun ini adalah minus 1,1 hingga positif 0,2 persen. Forkes terbaru kita pada bulan September tahun 2020 adalah pada kisaran minus 1,7 hingga minus 0,6,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam APBN Kita, Rabu (23/9/2020).
Sementara perkiraan berbagai institusi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia belum banyak mengalami revisi. Dimana pertumbuhan ekonomi Indonesia 2020 diprediksi minus.
“Kalau kita lihat berbagai institusi yang melakukan forkes terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia belum ada update, namun kira-kira mereka rata-rata sekarang memproyeksikan ekonomi Indonesia tahun 2020 semuanya pada zona negatif kecuali bank dunia yang masih pada posisi nol,” kata Menkeu.
Rinciannya, OECD memperkirakan -3,3 persen. Ini lebih baik dari yang tadinya diperkirakan OECD antara 3,93 hingga minus 2,8 persen (yoy). ADB memperkirakan Indonesia mengalami kontraksi 1 persen (yoy), Bloomberg - 1 persen (yoy), IMF di - 0,3 persen (yoy), dan Bank Dunia 0 persen (yoy).
“Ini artinya negatif teritori kemungkinan akan terjadi pada Kuartal ke-3. Dan mungkin juga masih akan berlangsung untuk kuartal ke-4 yang kita upayakan untuk bisa mendekati nol atau positif,” tutur Menkeu.
Sementara untuk tahun 2021, pemerintah tetap menggunakan perkiraan sesuai dengan yang dibahas dalam RUU APBN 2021, yaitu antara 4,5 hingga 5,5 persen (yoy) dengan forecast titiknya 5,0 persen (yoy).
OECD tahun depan memperkirakan Indonesia tumbuh di 5,3 persen, ADB juga pada kisaran 5,3 persen, Bloomberg median di 5,4 persen, IMF 6,1 persen, dan World Bank di 4,8 persen.
“Semua forecast ini semuanya subject to, atau sangat tergantung kepada bagaimana perkembangan kasus covid-19 dan bagaimana ini akan mempengaruhi aktivitas ekonomi,” pungkas Menkeu.