APTI: Serapan Tembakau ke Petani Rendah jika Tarif Cukai Naik

Rencana kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT) untuk 2021 menjadi 17 persen sangat memberatkan petani tembakau di Pulau Jawa.

oleh Liputan6.com diperbarui 26 Okt 2020, 21:17 WIB
Diterbitkan 26 Okt 2020, 16:45 WIB
(Foto: Liputan6.com/Dian Kurniawan)
Petani Tembakau (Foto:Liputan6.com/Dian Kurniawan)

Liputan6.com, Jakarta - Rencana pemerintah menaikkan cukai rokok atau Cukai Hasil Tembakau (CHT) untuk 2021 menjadi 17 persen sangat memberatkan petani tembakau di Pulau Jawa.

Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Jawa Tengah, Muh. Rifai mengatakan, pada intinya para petani tembakau di Jawa Tengah sangat keberatan jika pemerintah menaikkan CHT sebesar 17 persen.

“Efek dari kenaikan CHT berimbas pada serapan tembakau petani oleh pabrikan rokok. Jika CHT naik, harga jual rokok ke konsumen pasti meningkat, saat ini daya beli konsumen rokok mengalami penurunan dan pabrikan rokok pasti menurunkan produksi,” katanya, Senin (26/10/2020).

Menurut Rifai, petani tembakau jangan dibebani untuk memulihkan perekonomian negara dengan kenaikan CHT.

“Dengan kenaikan CHT tahun lalu, serapan tembakau petani oleh pabrikan semakin menurun. Ketika panen tembakau, harga jualnya sangat rendah,” paparnya.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Samukrah mengungkapkan, kenaikan cukaisebesar 17 persen pada tahun 2021 akan merugikan petani tembakau.

“Jika CHT naik, produksi rokok tidak akan berjalan karena bahan bakunya dibeli murah. Hal ini sangat memberatkan petani tembakau,” ujar Samukrah.

Lebih lanjut, pemerintah harus membuat regulasi yang jelas bagi petani tembakau di beberapa wilayah karena setiap tahun selalu mengalami masalah saat panen, sehingga selalu dirugikan terkait harga.

"Petani tembakau di Sumenep dan beberapa wilayah Madura selalu mempunyai masalah yang tidak pernah selesai, karena tidak adanya regulasi soal harga, sehingga selalu dirugikan, ditambah lagi kenaikan CHT,” tutur Samukrah.

Senada dengan Samukrah, Ketua DPC Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Lamongan, Mudi menambahkan, bagi petani tembakau, dampak kenaikan CHT pada tahun lalu menyebabkan tembakau di wilayah Jawa Timur tidak terserap 35 persen hingga 45 persen.

“Akibat kenaikan CHT, serapan ke pabrikan menurun dan harga tembakau juga anjlok. Kami menolak Kenaikan CHT karena memberatkan petani tembakau,” tegasnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Cukai Rokok Dikabarkan Naik, Petani Tembakau Makin Menderita

Melihat Perkebunan Tembakau Terbaik di Kuba
Seorang petani mendorong gerobak yang berisi daun tembakau yang sudah dipetik di perkebunan tembakau di San Juan y Martinez, Provinsi Pinar del Rio, Kuba (24/2). Perkebunan tembakau ini merupakan yang terbaik di Kuba. (AFP Photo/Yamil Lage)

Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) menolak keras rencana kenaikan cukai rokok atau cukai hasil tembakau (CHT) 2021. Asosiasi menilai kenaikan CHT merupakan bentuk penyiksaan pemerintah terhadap rakyat, terlebih petani tembakau.

“Kami sangat tidak setuju, kalau naik 19 persen itu sudah dua kali memberatkan karena tahun ini sudah naik 23 persen, salah satu faktor penghancur dan melemahnya penyerapan industri adalah dampak kenaikan cukai,” ujar Ketua umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI) Agus Parmuji kepada wartawan, Rabu (21/10/2020).

Dia mengatakan tahun ini saja perekonomian petani tembakau sudah hancur akibat harga jual tembakau yang rendah. Jika benar akan ada kenaikan harga cukai, dia memastikan kehidupan ekonomi rakyat pertembakauan Tanah Air akan makin parah.

“Hasil kami merugi, jangankan untuk melanjutkan pertanian lagi, untuk hidup saja susah. Seharusnya ini jadi kajian pemerintah, rakyatnya sudah menderita kok malah dinaikkan lagi?. Apalagi di masa pandemi COVID-19, petani tembakau juga perlu bertahan hidup," tambahnya.

Menurutnya, pemerintah hanya sepihak dalam mengambil kebijakan cukai. Agus mengaku pihaknya tidak pernah dilibatkan dalam wacana kenaikan cukai rokok ini. Padahal, seharusnya pemerintah mengajak semua pihak untuk duduk bersama.

“Lalu kalau penyerapan industri tembakau melemah apa pemerintah mau beli hasil tembakau kami? Jangan hanya beri kebijakan tapi tidak ada solusi,” tambahnya.

Lebih lanjut, Agus mengatakan kenaikan cukai rokok sebenarnya sah-sah saja, asalkan pemerintah mempertimbangkan adanya komponen kecil yang harus diperhatikan seperti petani dan buruh tani tembakau.

“Ya kalau misal naik maksimal 5 persen mungkin itu angka wajar. Pemerintah masih untung, petani tidak bingung,” ungkapnya.

Tak hanya itu, dia juga menyoroti agar pemerintah juga melindungi sektor sigaret kretek tangan (SKT) yang juga terdampak kenaikan cukai. “Teman-teman pelinting atau buruh SKT itu terdampak kenaikan cukai, padahal negara dibuatkan lapangan kerja oleh SKT. Buruh SKT dan buruh tani tembakau harus dipertimbangkan, jangan dilibas dengan kenaikan cukai,” ujarnya.

Apalagi, sebagian besar pelinting SKT ini merupakan rakyat kecil dan kebanyakan dari mereka adalah perempuan yang telah menahun bekerja sebagai pelinting rokok dan menjadi tulang punggung keluarga. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya