Kepala Bappenas: Covid-19 Buktikan Sistem Kesehatan Kita Lemah

Bappenas mencatat, covid-19 membuktikan minimnya fasilitas pelayanan kesehatan yang memadai di tengah masyarakat.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 21 Jan 2021, 15:27 WIB
Diterbitkan 21 Jan 2021, 15:27 WIB
Keynote Speaker selanjutnya dalam web seminar ini adalah Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa (Istimewa)
Keynote Speaker selanjutnya dalam web seminar ini adalah Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa (Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan, wabah pandemi Covid-19 telah menunjukan bahwa Indonesia memiliki sistem kesehatan yang lemah. Hal ini ditandai dengan minimnya fasilitas pelayanan kesehatan yang memadai di tengah masyarakat.

"Pandemi ini mengingatkan kita bahwa ternyata kita punya sistem kesehatan yang tidak adaptif atau tidak kuat kalau kita dihantam oleh pandemi," ujar Suharso secara virtual, Kamis (21/1/2021).

Merujuk pada kondisi ini, Bappenas disebutnya telah menyusun untuk ke depannya melakukan reformasi terhadap sistem kesehatan, sistem perizinan sosial, hingga ketahanan sistem bencana.

Menurut Suharso, lemahnya sistem kesehatan nasional terbukti dari ketersediaan puskesmas yang masih jauh dari fungsi promotif dan preventif terhadap wabah penyakit.

"Sekadar saya informasikan, bahwa puskesmas itu kira-kira hanya 31 persen yang memenuhi syarat. Kita harus naikan pakai syarat Bappenas. Ini yang menjelaskan betapa kita punya kualitas pelayanan kesehatan dalam hal promosi dan preventif itu sangat lemah," ungkapnya.

Suharso juga mendorong pemerintah dan pelaku usaha untuk masuk kepada produksi bahan-bahan obat dan fasilitas pelayanan kesehatan yang sangat diperlukan.

"Untuk paracetamol saja kita masih impor basisnya. Kemudian laboratorium, help security itu harus kita capai. Kemudian pengendalian penyakit dan imunisasi, pembiayaan kesehatan dan teknologi informasi, dan pemberdayaan masyarakat," tuturnya.

"Reformasi sistem kesehatan ini adalah prioritas nasional, meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan, dan major project-nya cukup banyak. Apabila kita bisa memperbaiki keadaan kesehatan kita, itu memberi hal yang positif terhadap output perekonomian dan juga penciptaan lapangan kerja," tandasnya.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Jam Kerja Dipotong 50 Persen, Industri Kehilangan Pendapatan Rp 360 Triliun

Pembatasan Kegiatan di Jawa-Bali
Pekerja kantoran melintasi trotoar di Jalan Sudirman, Jakarta Pusat, Rabu (6/1/2021). Selama pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di wilayah Jawa dan Bali pada 11-25 Januari 2021, aktivitas bekerja di kantor diperketat dengan sistem work from home (WFH) 75 persen. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa menyatakan, sekitar 24 juta tenaga kerja telah kehilangan separuh jam kerjanya selama masa pandemi Covid-19 ini.

Perhitungan itu disebutnya telah mendapatkan konfirmasi dari Badan Pusat Statistik (BPS), bahwa jam kerja untuk 24 pekerja yang bergerak di sektor industri telah berkurang sekitar 50 persen.

BACA JUGA

Antam Berhasil Jual Emas 21.797 Kg Sepanjang 2020 "Ada sekitar 24 juta tenaga kerja yang kehilangan jam kerja. Bukan kehilangan jam kerja secara utuh, tapi jam kerja dan minimal separuh dari waktu kerjanya per minggu," kata Suharso secara virtual, Kamis (21/1/2021).

"Mungkin dia kerja 40 jam per minggu, mungkin dia kehilangan 20 jam per minggu," dia menjelaskan.

Adapun jumlah 24 juta pekerja tersebut mayoritas berasal dari sektor industri manufaktur dan pariwisata. Imbasnya, sekitar Rp 360 triliun pendapatan ikut raib gara-gara adanya pemotongan jam kerja.

"Akibatnya, sektor pariwisata dan industri menurut perhitungan kami sekitar Rp 360 triliun penghasilan yang hilang," tegas Suharso.

Suharso mengatakan, penurunan pendapatan tersebut baik secara langsung dan tak langsung turut berpengaruh terhadap konsumsi daya beli masyarakat, yang menipis di tengah pandemi Covid-19.

"Kalau kita hitung-hitung sampai dengan industri impact dan indirect impact itu sudah mendekati angkat Rp 1.000 triliun. Ini menjelaskan mengapa daya beli itu berkurang. Kita tahu bahwa yang men-drive GDP adalah konsumsi rumah tangga," tuturnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya