Ekonom Usul Relaksasi DP 0 Persen Diperpanjang hingga 2022

Kebijakan DP 0 persen tidak bisa dilihat secara parsial. Melainkan satu paket dengan berbagai kebijakan lain.

oleh Andina Librianty diperbarui 07 Apr 2021, 20:30 WIB
Diterbitkan 07 Apr 2021, 20:30 WIB
Peningkatan KPR Bersubsidi
Perumahan bersubsidi di Bukit Rancayamaya Residences, Caringin, Bogor, Minggu (14/02/2021). PT BTN Tbk mengalami lonjakan penyaluran KPR subsidi pada kuartal III dan kuartal IV tahun 2020 setelah sempat mengalami penurunan pada kuartal kedua. (merdeka.com/Arie Basuki)

Liputan6.com, Jakarta - Ekonom Senior Centre of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah, menilai kebijakan uang muka atau down payment (DP) 0 persen baik untuk KPR rumah maupun kendaraan bermotor agar dapat dilakukan dalam jangka panjang. Kebijakan relaksasi ini disebut akan lebih optimal mendorong proses pemulihan ekonomi jika bisa diperpanjang setidaknya sampai 2022.

Menurut Piter, berbagai kebijakan untuk mendorong kredit perbankan yang diluncurkan oleh pemerintah dan otoritas keuangan, termasuk relaksasi rasio loan to value/financing to value (LTV/ FTV) untuk kredit pembiayaan properti maksimal 100 persen, belum akan berdampak maksimal selama pandemi Covid-19. Hal ini dipengaruhi kondisi daya beli masyarakat di tengah pandemi.

"Saya mengusulkan kebijakan (DP 0 persen) ini jangan dilakukan dalam jangka pendek, tapi lebih panjang agar bisa memanfaatkan momentum ketika pandemi berakhir nanti. Kebijakan ini bisa jadi katalis pendorong proses pemulihan ekonomi kita agar pulih lebih cepat," jelas Piter dalam Webinar Relaksasi DP Nol Persen Sebagai Senjata Utama Peningkatan Kredit pada Rabu (7/4/2021).

Masyarakat yang saat ini masih menahan daya beli, kat Piter, akan terdorong untuk membelanjakan uangnya ketika pandemi berakhir.

"Kebijakan seperti ini sebaiknya lebih panjang, dalam jangka panjang tidak hanya tiga sampai enam bulan, kalau perlu sampai 2022," sambungnya.

Menurut Piter, kebijakan DP 0 persen tidak bisa dilihat secara parsial. Melainkan satu paket dengan berbagai kebijakan lain dari pemerintah dan otoritas keuangan agar bisa berdampak pada pertumbuhan kredit bank.

Kendati demikian, katanya, efektivitas kebijakan ini tidak bisa diukur dengan hanya sekadar melihat pertumbuhan kreditnya. Bukan berarti jika kredit perbankan tidak tumbuh, maka kebijakan-kebijakan ini tidak efektif.

"Karena kebijakan-kebijakan ini harus dilihat dari bagian dari kebijakan pemerintah dan otoritas dalam meningkatkan ketahanan ekonomi kita dalam menghadapi pandemi," ungkap Piter.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

BI Klaim DP 0 Persen Bikin Pengajuan KPR Naik hingga 40 Persen

BTN Targetkan 250 Ribu KPR pada 2021
Anak-anak saat bermain di perumahan subsidi Green Citayam City, Ragajaya, Bojong Gede, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Sabtu (13/2/2021). PT BTN Tbk optimis realisasi Kredit Pemilikan Rumah atau KPR mencapai 200-250 ribu unit pada 2021. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) mengklaim relaksasi uang muka atau down payment (DP) rumah 0 persen membantu mendorong pengajuan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) perbankan. Khususnya pengajuan KPR di Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) yang naik hingga 40 persen.

"Khususnya Himbara (Himpunan Bank Milik Negara), menunjukkan peningkatan yang signifikan dari aplikasi kedit KPR-nya antara 6,5 persen sampai 40 persen secara month to month di Maret 2021," ungkap Direktur Departemen Kebijakan Makroprudential BI, Yanti Setiawan, DALAM Webinar Relaksasi DP 0 Persen Sebagai Senjata Utama Peningkatan Kredit, Rabu (7/4/2021).

Berdasarkan data tersebut, Yanti menilai kebijakan relaksasi rasio loan to value/financing to value (LTV/ FTV) untuk kredit pembiayaan properti atau KPR maksimal 100 persen, efektif dalam memulihkan industri properti dan turunannya.

"Ini jadi sinyal positif bahwa kebijakan yang kita keluarkan menjadi stimulus untuk perbankan dalam menyalurkan kredit," sambungnya.

Ia pun berharap industri properti dapat segera tumbuh signifikan di tengah pandemi Covid-19, yang juga menghantam banyak sektor industri lain. Sektor properti di Indonesia saat ini menyerap lebih dari 30 juta tenaga kerja dan melibatkan 174 sektor usaha turunannya.

Kendati demikian, Yenti menilai kebijakan relaksasi KPR ini tidak serta merta cukup untuk membantu pemulihan ekonomi nasional. Menurutnya dibutuhkan sinergi berbagai kebijakan dari pemerintah dan juga otoritas keuangan lain.

"Kami harus mengatakan, tidak ada kebijakan dari otoritas bisa berdiri sendiri. Kebijakan yang dikeluarkan Bank Indonesia merupakan suatu pintu untuk melihat sektor-sektor lain," jelasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya