Harga Obat Azitromisin dan Favipiravir Mahal dan Langka di Pasaran, Ini Kata Menkes

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengakui obat Azitromisin dan Favipiravir sulit didapatkan di pasaran sehingga menyebabkan harga melambung.

oleh Tira Santia diperbarui 09 Jul 2021, 19:00 WIB
Diterbitkan 09 Jul 2021, 19:00 WIB
Avigan atau Favipiravir, obat yang disebut bisa menyembuhkan pasien Virus Corona COVID-19. (Xinhua)
Avigan atau Favipiravir, obat yang disebut bisa menyembuhkan pasien Virus Corona COVID-19. (Xinhua)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengakui obat Azitromisin dan Favipiravir sulit didapatkan di pasaran sehingga menyebabkan kedua harga obat tersebut melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET). Namun sebenarnya stok kedua obat tersebut ada.

“Kita sudah amati bahwa jumlah obat seperti favipiravir, azitromisin yang memang sulit didapatkan sebenarnya stoknya ada. Ada sedikit isu didistribus. Kami sudah bicara juga dengan GP Farmasi kita sudah menghimbau tolong dibantu, karena masyarakat sangat membutuhkan,” kata Menkes Budi dalam konferensi pers PPKM Darurat Luar Jawa-Bali, disiarkan di Youtube PerekonomianRI, Jumat (9/7/2021).

Menurutnya, yang paling penting saat ini adalah untuk membantu masyarakat yang sangat membutuhkan obat-obat tersebut dengan memperlancar distribusi dan menjaga harga obat di level yang terjangkau oleh masyarakat.

Dia menjelaskan, HET yang terpasang di kemasan obat adalah harga yang telah ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan dengan beberapa produsen. Kedua harga obat itu adalah harga yang terpasang di sistem e-katalog pembelian pemerintah ketika melakukan transaksi pembelian obat.

“Jadi harga-harga yang ditentukan di harga eceran tertinggi adalah harga transaksi yang  benar-benar terjadi sebelumnya, antara pemerintah dengan produsen, antara LKPP Lembaga pembelian pemerintah dengan produsen dan juga dengan BPJS produsen,” ujarnya.

Menkes mengakui memang keuntungan yang diperoleh kecil, namun dia berharap industri-industri Farmasi bisa membantu masyarakat yang kekurangan dan membutuhkan obat, dengan menyediakan harga obat yang terjangkau sesuai HET yang telah ditentukan bersama.

“Memang untungnya mungkin akan lebih kecil tapi kita berharap bahwa teman-teman di industri Farmasi bisa membantu rakyat kita yang sekarang kekurangan obat. Kita perlu bersama-sama bergotong-royong menciptakan suasana dimana rakyat bisa tenang mengakses obat,”  pungkasnya. 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Jadi Obat Covid-19 di Indonesia, Bahan Baku Favipiravir Nyaris 100 Persen Impor

Mengonsumsi Obat Tertentu
Ilustrasi Obat-Obatan Credit: pexels.com/pixabay

PT Kimia Farma mulai memproduksi Favipiravir, obat pasien Covid-19 yang pertama kali dipakai di China. Meski mulai diproduksi di dalam negeri, bahan baku obat ini hampir seluruhnya menggunakan bahan baku impor.

"Favipiravir, bahan baku impor, hampir semua impor," ujar Direktur Utama Kimia Farma Verdi Budidarmo dalam rapat bersama DPR, Jakarta, Rabu (7/7).

Kimia Farma sendiri merupakan satu-satunya perusahaan dalam negeri yang bisa mengembangkan obat Covid-19 ini. Secara bertahap, uji terus dilakukan untuk menghasilkan produk yang sama dengan China.

"Salah satu produk Kimia Farma related Covid-19 adalah pengembangan produk baru Favipiravir. Favipiravir merupakan produksi pertama di Indonesia yang diproduksi sendiri oleh holding BUMN Farmasi," katanya.

Obat ini, kata Verdi, sudah didistribusikan ke berbagai rumah sakit di Indonesia. Sebab, telah mengantongi izin edar serta izin pakai dari Badan POM.

"Ini sudah didistribusikan ke rumah sakit-rumah sakit. Kimia Farma sudah memperoleh Emergency Used Authorization (EUA) dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)," katanya.

Reporter: Anggun P. Situmorang

Sumber: Merdeka.com 

BPOM Izinkan Penggunaan Darurat Remdesivir dan Favipiravir untuk Pengobatan Pasien COVID-19

Ilustrasi obat kanker/dok. Unsplash Myriam
Ilustrasi obat kanker/dok. Unsplash Myriam

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia menyatakan bahwa mereka telah mengeluarkan izin dua obat untuk digunakan dalam penanganan pasien COVID-19.

Kedua obat tersebut adalah Favipiravir untuk pasien COVID-19 derajat ringan dan sedang yang dirawat di rumah sakit, serta Remdesivir untuk pasien derajat berat yang dirawat di rumah sakit.

Dikutip dari siaran pers di laman resminya pada Selasa (6/10/2020), BPOM telah menerbitkan izin penggunaan dalam kondisi darurat (Emergency Use Authorization/EUA) Favipiravir sejak 3 September 2020 dan untuk Remdesivir sejak 19 September yang lalu.

"Penerbitan EUA diiharapkan dapat memberikan percepatan akses obat-obat yang dibutuhkan dalam penanganan COVID-19 oleh para dokter sehingga mempunyai pilihan pengobatan yang sudah terbukti khasiat dan keamanannya dari uji klinik," kata Kepala BPOM Penny K. Lukito.

"Dengan tersedianya obat-obat tersebut diharapkan dapat meningkatkan angka kesembuhan dan menurunkan angka kematian pasien COVID-19 yang menjadi target pemerintah dalam percepatan penanganan COVID-19," tambahnya. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya