Liputan6.com, Jakarta - Ombudsman Republik Indonesia menemukan 12 temuan maladministrasi dalam tata kelola cadangan beras pemerintah (CBP) yang dikelola Perum Bulog. Temuan ini bermuka dari indikasi mutu beras pemerintah yang turun mutu dan polemik importasi beras.
"Kami menemukan 12 temuan, intinya indikasi awalnya dimulai adanya beras yang turun mutu, polemik impor. Oleh karena itu kami memasuki kajian ini dan akhirnya kami temukan beberapa hal," kata Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika dalam konferensi pers, Jakarta, Senin (18/10).
Baca Juga
Dari 12 temuan tersebut terangkum dalam 5 ruang lingkup. Pertama ruang lingkup perencanaan dan penetapan CBP yang terdapat dua temuan, yakni tidak adanya perencanaan pangan nasional dan terkait tata kelolanya.
Advertisement
"Ternyata kita tidak ada perencanaan pangan nasional dan tidak ada jumlah penetapan CBP," kata Yeka.
Kedua, pada ruang lingkup pengadaan CBP, Ombudsman mencatat tiga temuan. Antara lain tidak memadainya teknologi pendukung pasca panen, tidak optimalnya pengadaan beras dalam negeri dan tidak adanya standar terkait indikator dalam pengambilan keputusan dalam importasi beras.
Ketiga, pada ruang lingkup perawatan dan penyimpanan CBP terdapat dua temuan. Dalam hal ini Ombudsman menemukan tidak cermatnya pencatatan perawatan dan tidak teraturnya penyimpangan CBD di gudang Perum Bulog.
Yeka mengatakan kondisi ini terjadi karena ternyata gudang yang digunakan Perum Bulog bukan gudang khusus untuk penyimpanan beras atau bahan pangan, melainkan gudang biasa seperti pada umumnya.
"Tadi ini sudah disampaikan alasannya ini karena gudang yang digunakan bukan gudang beras tapi gudang pada umumnya," kata dia.
Keempat, pada ruang lingkup pelepasan CBP terdapat empat temuan, yakni tidak efektifnya kebijakan HET dan tidak adanya target market yang jelas dari pasar CBP. Yeka mengatakan target pasar Perum Bulog saat ini semakin kecil karena pemerintah saat ini telah mengganti program pembagian beras kepada masyarakat dengan bantuan langsung tunai dan bahan sembako yang lain. Padahal ini merupakan target sirkulasi beras bulog terbesar.
"Tidak ada target dalam CBP ini Bulog jadi kehilangan pasar, KPHS ini tidak efektif," kata dia.
Â
Pengajuan Disposal
Lalu, Ombudsman menemukan sulitnya proses pengajuan disposal dari beras yang kualitasnya turun dan tidak efektifnya penggantian CBP stok yang menggantung.
"Bayangkan 200 ribu ton yang diajukan dari 2019 sampai sekarang belum selesai. Ini yang menjadi fokus, tapi bukan berarti kami meniadakan kerja-kerja cerdas dan cepat dari para instansi terkait," kata dia.
Kelima, pada ruang lingkup pembiayaan CBP, Ombudsman mencatat permasalahan kebijakan pembiayaan tidak pengelolaan tata kelolanya. Perum Bulog menanggung bunga tinggi ditengah mekanisme pencairan atau pembayaran yang dilakukan pemerintah yang prosesnya panjang. Masalah tata kelola CBP ini harus segera dilakukan.
Yeka mengatakan hasil temuan ini telah disampaikan kepada pemerintah melalui pihak-pihak terkait. Untuk itu dalam 30 hari kerja ke depan, Ombudsman meminta pemerintah segera menindaklanjutinya. Minimal dalam bentuk rencana kerja pemerintah dalam menanggulangi 12 temuan tersebut.
"Secara undang-undang selama 30 hari kerja setelah diterbitkan LHP ini harus ada upaya perbaikan meskipun itu dalam bentuk rencana kerja," kata dia mengakhiri.
Reporter: Anisyah Al Faqir
Sumber: Merdeka.com
Advertisement