Definisi Pajak Karbon dan Penerapannya di Indonesia

Proses perluasan pengenaan pajak karbon sesuai dengan kesiapan sektor terkait dengan memperhatikan antara lain kondisi ekonomi, kesiapan pelaku, dampak dan atau skala.

oleh Liputan6.com diperbarui 24 Okt 2022, 11:10 WIB
Diterbitkan 18 Okt 2022, 19:05 WIB
Ilustrasi Karbon Dioksida (CO2).
Ilustrasi Karbon Dioksida (CO2) Kredit: Gerd Altmann via Pixabay

Liputan6.com, Jakarta Penerapan pajak karbon terus diundur. Terbaru, Pada 2022, pemerintah telah menunda penerapan kebijakan pajak karbon sebanyak dua kali.

Terbaru, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, kebijakan pajak karbon akan mulai diterapkan pada 2025 atau baru tiga tahun ke depan.

Sebenarnya apa definisi pajak karbon?

Pajak karbon sendiri dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan.

Dikutip dari Belasting.id, Selasa (18/10/2022), dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) menyampaikan pajak karbon Indonesia dikenakan dalam rangka mengendalikan emisi gas rumah kaca untuk mendukung pencapaian nationally determined contribution (NDC) Indonesia yang disampaikan dalam Paris Agreement.

Ukuran penghitungan pajak karbon berdasarkan tingkat emisi karbon dioksida ekuivalen (CO2e). Ada 3 kriteria dampak negatif bagi lingkungan hidup sehingga perlu dipungut pajak karbon.

Kriteria dampak negatif antara lain menyebabkan penyusutan sumber daya alam, menyebabkan pencemaran lingkungan hidup dan dampak kerusakan lingkungan hidup.

Sasaran sektor prioritas dari pajak karbon Indonesia adalah target penurunan emisi sektor energi, transportasi dan kehutanan.

Ketiga sektor itu mencakup 97 persen dari total target penurunan emisi NCD Indonesaia. Selajutnya sektor ekonomi lainnya akan mengikuti transformasi industri nasional berbasis energi bersih dan pajak karbon menuju agenda Indonesia Emas 2045 dan mencapai net zero emission (NZE) paling lambat pada 2060.

UU HPP mengamanatkan 3 fase implementasi pajak karbon. Fase pertama pada tahun fiskal 2021 dilakukan pengembangan mekanisme perdagangan karbon.

Fase kedua berlaku pada 2022 hingga 2024. Pada tahap ini diterapkan mekanisme pajak yang mendasarkan pada batas emisi atau cap & tax untuk sektor pembangkit listrik terbatas pada PLTU batu bara.

Fase ketiga, pada tahun fiskal 2025 dan seterusnya dengan implementasi perdagangan karbon secara penuh dan perluasan sektor pemajakan pajak karbon.

Proses perluasan pengenaan pajak karbon sesuai dengan kesiapan sektor terkait dengan memperhatikan antara lain kondisi ekonomi, kesiapan pelaku, dampak dan/atau skala.

Penerapan pajak karbon di Indonesia juga mengutamakan pengaturan atas subjek pajak badan.

Pasar Karbon Indonesia Ditargetkan Aktif Mulai 2025

Hutan Bakau di Pesisir Marunda Memprihatinkan
Kondisi hutan bakau di pesisir kawasan Marunda, Jakarta, Selasa (27/8/2019). Tutupan hutan tersebut berakibat bertambahnya emisi karbon dioksida hingga 4,69 kilo ton. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto menargetkan pasar karbon dan pajak karbon berlaku mulai 2025. Langkah ini setali dengan komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dan target karbon netral (net zero emission/NZE) pada 2060, atau lebih cepat.

"Salah satu yang dapat diterapkan di awal adalah perdagangan karbon maupun pajak karbon yang ditargetkan akan berfungsi di tahun 2025,” kata Airlangga, Kamis (13/10/2022).

Di sektor energi, pemerintah terus melakukan percepatan pengembangan energi terbarukan untuk penyediaan tenaga listrik. Upaya ini diharapkan bisa mendorong pengembangan green energy ataupun green industry.

Seiring dengan jumlah investor pasar modal yang meningkat, Airlangga berharap investasi berkelanjutan berbasis ESG juga dapat ditingkatkan. Menurut dia, investasi berkelanjutan perlu didorong oleh seluruh stakeholder, baik itu investor maupun dari korporasi.

Airlangga juga mengapresiasi langkah Bursa Efek Indonesia (BEI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan SRO yang terus aktif dalam penerbitan investasi ataupun instrumen berbasis ESG, seperti green bond, reksa dana juga penerbitan indeks ESG. Bahkan OJK juga membuat roadmap tentang keuangan berkelanjutan berbasis taksonomi hijau Indonesia.

“Saya harap arah positif ini terus kita jaga dan bagi korporasi juga mempertimbangkan faktor ESG dan beberapa standar daripada pelaporan itu sudah dimintakan untuk memasukkan komponen ESG di dalamnya,” ujar dia.

 

OJK Siap Dukung Penyelenggaraan Bursa Karbon

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus menyiapkan penyelenggaraan bursa karbon untuk mendukung inisiatif Pemerintah menetapkan harga karbon dalam upaya mengatasi perubahan iklim.

"OJK bersama industri jasa keuangan siap mendukung inisiatif ini," ujar Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar dalam seminar internasional “Carbon Trading: The Journey to Net Zero” sebagai rangkaian kegiatan peringatan 45 tahun diaktifkannya kembali Pasar Modal Indonesia di Jakarta, Selasa, 27 September 2022, dikutip dari keterangan tertulis, Kamis (29/9/2022).

Mahendra menuturkan, penetapan harga karbon yang diinisiasi oleh Pemerintah dapat memberikan insentif untuk mengurangi emisi dan disinsentif bagi perusahaan yang memproduksi lebih dari batas yang ditoleransi.

Mahendra juga mengatakan dengan kondisi geografis Indonesia yang memiliki hutan tropis terbesar ketiga di dunia, Indonesia bisa memiliki banyak keuntungan dari perdagangan emisi karbon global.

"Di sinilah Indonesia dapat melangkah dan memanfaatkan keunggulannya sebagai pemimpin untuk menggunakan inisiatif bursa karbon dalam memberikan alternatif pembiayaan bagi sektor riil,” ujar Mahendra.

Dia menuturkan, dengan hutan tropis seluas 125 juta hektar, Indonesia diperkirakan mampu menyerap 25 miliar ton karbon, belum termasuk hutan bakau dan gambut, sehingga diperkirakan bisa menghasilkan pendapatan senilai 565,9 miliar dolar AS dari perdagangan karbon. 

Butuh Kerangka Regulasi

Untuk mendukung peluang itu, menurut Mahendra dibutuhkan kerangka regulasi yang jelas mengatur mengenai kewenangan dan pengoperasian bursa karbon, baik untuk perdagangan dalam negeri maupun luar negeri.

"Kita juga harus memastikan perangkat infrastruktur tidak hanya fit tetapi juga lengkap mulai dari infrastruktur primer, sekunder dan pasar sehingga dapat mendukung beroperasinya bursa karbon, serta mekanisme pengawasan yang sesuai untuk pasar karbon agar selaras dengan target nasional yang ditetapkan dalam Nationally Determined Contribution (NDC),” tutur Mahendra.

OJK berharap regulasi terkait payung hukum mengenai otoritas penyelenggaraan dan operasional perdagangan karbon khususnya melalui bursa karbon dapat segera diterbitkan sehingga dapat mempercepat tujuan pencapaian NDC Indonesia serta target implementasi net zero emission pada 2060.

Selain Mahendra, hadir sebagai pembicara adalah Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Laksmi Dewanti dan Direktur Eksekutif Abu Dhabi Global Market’s Financial Services Regulatory Authority Simon O’Brien.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya