Liputan6.com, Jakarta Direktur Tax Research Institute Prianto Budi Saptono menilai rencana pemerintah menyesuaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mulai April 2022 menjadi 11 persen sebagai jalan tengah untuk menaikkan pendapatan negara di tengah situasi pandemi COVID-19 yang berkepanjangan saat ini.
Menurut Prianto, kebijakan pemerintah tersebut juga bagian dari strategi pemerintah untuk mengoptimalkan pendapatan negara akibat terus merosotnya rasio pajak.
Baca Juga
"Kebijakan penyesuaian tarif PPN menjadi 11 persen ini sudah win-win solution, karena dari 10 persen menjadi 11 persen diharapkan kenaikannya tidak terlalu signifikan. Di sisi lain untuk mengandalkan Pajak Penghasilan (PPh) saat ini juga sudah sulit," ujar Prianto dikutip dari Antara, Kamis (3/3/2022).
Advertisement
Melansir data Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, pada 2012 rasio pajak nasional masih sebesar 14 persen, namun angka tersebut terus merosot sampai tahun lalu.
Bahkan sejak 2019 rasio pajak Indonesia selalu berada di bawah 10 persen yaitu sebesar 9,76 persen pada 2019, lalu pada 2020 sebesar 8,33 persen, dan tahun lalu mulai mengalami kenaikan kembali menjadi 9,11 persen.
Rencana penyesuaian PPN sebesar 11 persen sudah diatur dalam Undang-undang Harmonisasi Peraturan Pajak (UU HPP). Penyesuaian PPN akan dilakukan secara bertahap dimana pada 2025 akan menjadi 12 persen. Beleid tersebut juga menentukan bahwa PPN dapat diubah menjadi paling rendah sebesar 5 persen dan paling tinggi 15 persen.
Prianto menambahkan, laju pesat ekonomi digital saat ini sedikit banyak mempengaruhi kebijakan pemerintah memilih intensifikasi PPN. Ia menjelaskan bagaimana perusahaan raksasa teknologi global yang kini gemar melakukan tax planning guna mendapatkan tax treaty alias persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B).
"Untuk sementara tidak bisa lagi mengandalkan PPh, karena di sana ada perilaku agresif tax planning yang marak karena transaksi digital atau pemanfaatan P3B. Sekarang dengan kondisi mengarah digital ekonomi, P3B memang punya banyak kelemahan sehingga untuk sementara tidak bisa mengandalkan PPh," kata Prianto.
Â
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Peningkatan PPh
Sementara peningkatan PPh, dalam UU HPP dijelaskan Prianto, juga belum sepenuhnya rampung. Misalnya terkait benefit income natura alias klasifikasi mana yang merupakan objek pajak dan bukan, namun sampai kini pemerintah belum menentukan hal tersebut.
Prianto juga tidak memungkiri akan ada banyak kritik terhadap kebijakan tersebut, terutama dari masyarakat sebagai konsumen yang akan terdampak akibat penyesuaian PPN 11 persen. Namun menurutnya dengan kondisi keterbatasan ruang fiskal yang terjadi saat ini, implementasi penyesuaian PPN 11 persen memang harus dilakukan pada April 2022.
Sesuai UU HPP, tarif PPN 11 persen juga akan menjangkau barang kebutuhan pokok yaitu makanan dan minuman (mamin). Selain itu terdapat beberapa obyek pajak yang akan terkena kebijakan penyesuaian tarif PPN baru, di antaranya adalah barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, seperti LPG Tertentu dan gas bumi. Khusus LPG subsidi, biaya PPN menjadi tanggungjawab pemerintah.
Ketua Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu akhir Februari lalu dalam Konferensi Pers APBN Kita, menjelaskan bahwa masyarakat tak perlu khawatir terhadap kebijakan tersebut, sebab dari analisis BKF penyesuaian PPN itu tidak akan berdampak besar terhadap inflasi.
Tahun ini BKF menargetkan rasio pajak di kisaran 9,3 persen-9,5 persen dan akan kembali mencapai 10 persen lebih pada 2024 seiring dengan optimisme dan pertumbuhan ekonomi yang mulai pulih.
Target tersebut ditaksir BKF masih bisa diakselerasi dengan dengan sejumlah aksi reformasi perpajakan yang dilakukan pemerintah yang salah satunya dilakukan via UU HPP.
Advertisement