Liputan6.com, Jakarta - Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (Ditjen PKTN) Kementerian Perdagangan mencatat, terdapat 3.692 pengaduan konsumen yang dilayani sepanjang semester I 2022. Dari jumlah tersebut, sebanyak 86,1 persen atau 3.181 pengaduan konsumen berasal dari sektor niaga elektronik (e-commerce).
“Penyelesaian pengaduan konsumen tetap menjadi prioritas Kementerian Perdagangan sebagai wujud tindakan nyata pemerintah dalam melindungi konsumen Indonesia, menciptakan konsumen berdaya serta pelaku usaha yang tertib,” tutur Dirjen PKTN Kemendag Veri Anggrijono dikutip dari keterangan tertulis, Jumat (8/7/2022).
Veri menambahkan, dominasi sektor niaga elektronik tersebut didorong pembatasan sosial yang menjadikan banyak sektor bisnis beralih ke transaksi digital dengan menawarkan produk harga kompetitif dan juga meningkatnya minat belanja daring.
Advertisement
Pengaduan di sektor niaga elektronik meliputi sektor makanan dan minuman, jasa keuangan, jasa transportasi, pariwisata, dan elektonika/kendaraan bermotor.
Adapun jenis pengaduan antara lain pembelian barang yang tidak sesuai dengan perjanjian atau rusak, barang tidak diterima konsumen, pembatalan sepihak oleh pelaku usaha, waktu kedatangan barang tidak sesuai yang dijanjikan, pengembalian dana atau refund, menambah (top up) saldo, serta penggunaan aplikasi platform atau media sosial.
Veri menyebutkan, sejumlah 99,8 persen atau 3.687 pengaduan konsumen telah diselesaikan dan 5 sedang dalam proses. Dengan kata lain, Direktorat Pemberdayaan Konsumen Ditjen PKTN tengah menunggu kelengkapan data, menganalisis dokumen, mengklarifikasi, dan memfasilitasi penyelesaian pengaduan antara konsumen dan pelaku usaha.
Selama Januari—Juni 2022, aplikasi perpesanan WhatsApp menjadi saluran layanan pengaduan konsumen yang paling banyak digunakan, yaitu sebanyak 3.116 pengaduan. Selanjutnya, situs web menerima 307 pengaduan, surat elektronik (e-mail) 228 pengaduan, telepon 34 pengaduan, datang langsung ke Direktorat Pemberdayaan Konsumen 6 pengaduan, dan surat 1 pengaduan.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Literasi Keuangan Digital di Indonesia Sangat Rendah
Sebelumnya, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mencatat dalam 5 tahun terakhir pengaduan terkait keuangan digital mencapai 51 persen. Artinya, masih banyak konsumen yang mengalami kendala dalam mengakses keuangan digital.
Hal itu disampaikan Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi, dalam webinar YLKI bertajuk “Perlindungan Konsumen Digital Finance“, secara virtual, Selasa (15/3/2022).
Dia menjelaskan, berkembangnya keuangan digital atau digital financial merupakan fenomena yang sangat menarik dan bermanfaat bagi perekonomian termasuk bagi masyarakat. Lantaran terdapat kemudahan-kemudahan di sektor finansial berbasis digital.
Tapi kemudian bukan berarti keuangan digital tidak menimbulkan masalah. Karena setelah itu banyak sekali persoalan-persoalan terkait dengan isu keuangan digital ini, baik dari segi hulu dan hilir.
“Ini yang harus kita tuntaskan sehingga betul-betul bahwa digital financial ini menjadi sistem baru yang berkeadilan bagi konsumen khususnya dan bagi regulator dan bagi pertumbuhan ekonomi di sektor ekonomi digital,” ujarnya.
Tulus mengatakan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) selalu membangga-banggakan bahwa sektor keuangan digital ini menjadi salah satu backbone dalam mewujudkan perekonomian digital di Indonesia, yang konon dampaknya sangat signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.
“Tetapi menurut pantauan YLKI Setidaknya di dalam daftar daftar pengaduan YLKI masalah pengaduan ini dalam 5 tahun terakhir, sungguh sangat signifikan karena mencapai 51 persen dari total komoditas pengaduan konsumen yang diadukan di YLKI,” katanya.
Advertisement
Contoh Kasus
Misalnya, kini marak pinjaman online ilegal dan konsumen menjadi korban. Hal itu terjadi lantaran literasi finansial digital di Indonesia masih rendah.
Oleh karena itu, sangat penting untuk mengantisipasi masalah-masalah keuangan digital, sehingga nanti konsumen kita tidak semakin terjerembab dengan persoalan-persoalan finansial digital.
“Lahirlah pinjol ilegal yang notabene merupakan anak haram tanda kutip di dalam sistem perekonomian finansial digital. Literasi digital kita masih rendah, inilah PR terbesar kita untuk meningkatkan literasi digital kita sehingga Konsumen akan menjadi konsumen yang sadar terhadap transaksi-transaksi nya,” pungkasnya.