Liputan6.com, Jakarta - Menteri Perencanaan Pembangunan Nasiona/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa mengungkap aa sekitar 3 miliar penduduk dunia terdampak perubahan iklim. Angka ini hampir sekitar setengah dari total populasi dunia.
Dengan begitu, isu keberlanjutan di berbagai aspek menjadi hal penting, termasuk ekonomi berkelanjutan. Caranya dengan menerapkan konsep ekonomi hijau dan ekonomi biru.
Baca Juga
"Tentunya kita tidaklah asing dengan ancaman perubahan iklim yang dapat merenggut masa depan anak-anak kita dari kehidupan yang layak. Menurut laporan Intergovernmental Panel on Climate Change atau IPCC, lebih dari tiga milyar penduduk dunia – atau hampir setengah dari populasi dunia – hidup di daerah yang sangat rentan terhadap perubahan iklim," terang dia dihadapan 31 delegasi negara dan organisasi internasional di Development Ministerial Meeting G20, Belitung, Kamis (8/9/2022).
Advertisement
Adanya tantantan perubahan iklim ini, menurutnya diperlukan kerja sama dalam lingkup global. Tak hanya itu, kerja sama antar negara dan organisasi internasional juga perlu diperkuat.
"Kita harus menyadari bahwa banyak negara berkembang yang tidak memiliki sumber dana yang cukup untuk meningkatkan upaya mencapai Agenda 2030," kata dia.
Agenda yang dimaksud adalah penurunan emisi karbon sebesar 29 persen dengan upaya sendiri atau 41 persen dengan bantuan internasional. Negara berkembang, jadi satu aspek penting yang menurut Suharso perlu dibantu upaya penekanan emisi karbonnya.
"Perlambatan ekonomi yang ada dan dampak jangka panjang COVID-19 mengharuskan kita untuk memobilisasi pembiayaan tambahan dari sumber-sumber inovatif," tambah dia.
Â
Butuh USD 3,7 Triliun
Guna mengembangkan dua konsep ekonomi ini tentunya membutuhkan biaya. Namun, Suharso mengungkap hal itu bisa ditambal dari alokasi sedikit saja dari aset investor institusional yang ada di tingkat global.
"Kabar baiknya, hanya dengan mengalihkan 3,7 persen dari USD 100 triliun total aset investor institusional yang tersedia di tingkat global, kita dapat menutup kebutuhan pembiayaan kita," ungkapnya.
Mengacu hitungan itu, berarti hanya butuh sekitar USD 3,7 triliun untuk membiayai pengembangan ekonomi berkelanjutan. Jumlah ini merupakan angka yang sedikit jika mengacu ke perbandingan yang diutarakan Suharso.
"Kerangka Pembiayaan Pembangunan Berkelanjutan G20 yang telah disepakati saat Presidensi Saudi Arabia tahun 2020, memberi momentum bagi kita, sebagai Menteri Pembangunan G20, untuk meningkatkan komitmen politik kita mengenai isu pembiayaan pembangunan," paparnya.
Â
Advertisement
Blended Finance
Modal kerangka pembiayaan itu jadi acuan dalam Presidensi G20 Indonesia untuk mengusung isu blended finance atau skema pembiayaan campuran. Artinya pendekatan ini menggunakan pembiayaan sektor swasta dan dana filantropi serta donor untuk mengurangi risiko investasi.
"Hal ini kita lakukan dengan merumuskan prinsip-prinsip blended finance yang merefleksikan perspektif dan konteks penerima, yaitu negara berkembang, LDCs, dan SIDS," kata Suharso.
"Keprihatinan kita bersama terhadap dampak jangka panjang pandemi COVID-19, mengharuskan kita untuk mengakhiri pandemi secepatnya. Bahkan setelah memasuki tahun kedua pandemi, beberapa negara masih kesulitan untuk menjalani pemulihan dan mengejar ketertinggalan pencapaian SDGs," imbuhnya.
Â
Buka Development Ministerial Meeting G20
Sebelumnya, Menteri Suharso menyambut secara langsung 31 delegasi dari negara dan organisasi internasional di Sheraton Resort sebagai lokasl DMM G20. Setiap delegasi secara bergantian masuk ke area gedung setelah bercengkerama dengan Suharso.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa membuka gelaran Development Ministerial Meeting G20 di Belitung, Kamis (8/9/2022). Ini merupakan forum tingkat menteri pembangunan dari negara G20.
Pada pembukaan forum tersebut, Suharso mewanti-wanti negara anggota G20 untuk turut serta memberikan dukungan terhadap UMKM. Pasalnya, sektor ini mampu menjadi motor pertumbuhan di negara berkembang.
Dalam konteks ini, Suharso menilai perhatian tersebut mampu memberikan dampak kepada ekonomi berkembang. Sehingga pemulihan menjadi lebih kuat dan inklusif.
"Saya ingin menekankan bahwa menjalankan business as usual tidak lagi memungkinkan, dan bukan juga sesuatu yang kita inginkan," kata dia dalam DMM G20, Belitung, Kamis (8/9/2022).
"Kita telah menyaksikan bahwa di negara berkembang, Usaha Mikro Kecil Menengah atau UMKM akan menjadi tumpuan penting untuk menciptakan 600 juta lebih pekerjaan yang akan dibutuhkan untuk 15 tahun ke depan dalam menyerap tenaga kerja global yang terus mengalami peningkatan," bebernya.
Â
Advertisement
Prioritaskan Dukungan ke UMKM
Harapannya, negara anggota G20 bisa memprioritaskan dukungan terhadap UMKM sehingga bisa bertahan sekuat mungkin dari guncangan atau krisis mendatang. Upayanya bisa berupa adopsi praktik bisnis berkelanjutan dan manajemen risiko.
UMKM, menurut dia sebagai salah satu motor penggerak ekonomi, dimana sejalan dengan forum tingkat menteri pembangunan. Ia mengisahkan kalau Development Working Group yang terbentuk 1 dekade lalu memmiliki peran penting dalam mendukung pembangunan negara berkembang.
"Forum yang kita visikan dapat menyatukan ekonomi-ekonomi terbesar dunia untuk bersama-sama menutup kesenjangan pembangunan dan membantu negara berkembang. Perjalanan kita tidak selalu mudah – namun, kuatnya kolaborasi kita selama ini telah membuktikan bahwa kita tidak pernah sendirian," paparnya.