Liputan6.com, Jakarta Ketua Komisi VII DPR RI, Sugeng Suparwoto meminta kebijakan migrasi kompor listrik tidak dijadikan program nasional. Mengingat masih banyak wilayah yang belum mendapatkan aliran listrik secara optimal.
"Jadi jangan jadi kebijakan nasional dulu," kata Sugeng saat ditemui di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (21/9).
Sugeng mengatakan rencana migrasi kompor listrik tersebut masih berupa wacana. Sehingga belum ada pembahasan secara khusus antara pemerintah dengan DPR. Meski begitu dia meminta agar pemerintah melakukan kajian yang komprehensif sebelum benar-benar menerapkan program tersebut.
Advertisement
"Ini masih wacana, belum sampai pembahasan. Makanya kita sarankan dibuat studi komprehensif yang menyangkut beberapa hal," ungkapnya.
Salah satu yang perlu jadi pertimbangan utama ketersediaan listrik di tingkat rumah tangga yang memadai. Kemudian tentang kehandalan listrik sepanjang waktu. Artinya tidak ada lagi pemadam listrik bergilir di berbagai wilayah.
"Apakah dari sisi daya naik turun apa enggak karena ini menyangkut alat elektronik," kata dia.
Tak kalah penting lanjut dia kajian tentang kemampuan masyarakat dalam membayar listrik setelah menggunakan kompor listrik. Selain itu dampaknya terhadap cara memasak masyarakat.
"Dan ingat kompatibel enggak kompor listrik ini dengan alat masak di rumh tangga rata-rata. Ini penting juga, karena kompornya ini ceper, bagaimana dengan wajan, ini bisa apa enggak," kata dia.
Apalagi kata Sugeng penggunaan kompor listrik atau induksi ini menggunakan jenis bahan yang tidak cocok. "Induksi ini dengan logam dengan steel, tapi bagaimana dengan alumunium. Ini seolah-olah sederhana tapi ini penting loh," pungkasnya.
Â
Soal Kompor Listrik, Pengamat Minta Masyarakat Diberi Kebebasan Memilih
Pemerintah kembali menyuarakan migrasi kompor gas ke kompor listrik. Rencananya, tahun ini didorong 300.000 masyarakat menggunakan kompor listrik, diikuti peningkatan di tahun-tahun selanjutnya.
Ekonom dari Institute foe Development of Economic and Finance (Indef) Abra Talattov meminta upaya ini dibarengi dengan kebijakan soal subsidi energi. Misalnya, dengan penerapan subsidi LPG secara tertutup.
Dengan demikian, konversi kompor listrik akan sejalan dengan tepat sasarannya subsidi LPG. Ini juga turut menimbang kondisi subsidi LPG yang membengkak cukup besar dari alokasi pemerintah.
"Saya justru ingin menyampaikan kalau kompor listrik ini jadi strategi pelengkap kebijakan subsidi energi, tapi komplementer, pemerintah ingin dorong penggunaan kompor listrik, sifatnya adalah opsional, diberikan kebebasan apakah ingin beralih ke kompor listrik dengan potensi manfaat dan sebagainya, atau tetap ingin LPG 3kg," terangnya dalam diskusi bertajuk Dampak Kenaikan Harga BBM dan Isu Penghapusan Daya Listrik 450 VA, Rabu (21/9/2022).
Harapannya, masyarakat akan memilih secara rasional antara menggunakan kompor listrik atau tetap bertahan dengan kompor gas. Syaratnya, subsidi LPG 3 kg dilakukan secara tertutup, sehingga mempersempit penerimanya.
"kalau migrasi kompor induksi jalan, dibagikan gratis, kalau LPG (subsidi) terbuka tetap masyarakat bisa beli, volume kuota LPG 3 kg akan tetap berpotensi jebol. Jadi harusnya dilakukan integratif kebijakan antara subsidi energi dan konversi kompor listrik. Dilakukan secara sistemik," terangnya.
Melihat target pemerintah untuk penggunaan 2 juta kompor listrik di tahun depan, harusnya juga turut menekan angka subsidi LPG. Karena, adanya proses migrasi yang direncanakan tersebut. Artinya, ada realokasi anggaran dari subsidi LPG kepada kegiatan akselerasi instalasi kompor listrik.
"Saya tidak ingin kita terjebak di persoalan teknis apakah hemat, karena PLN sudah piloting di solo dan bali, dari piloting ke 2.000 rumah tangga, ada pengehematan suginifkan 15-20 persen, dan bisa bantu kurangi over supply. saya tak ingin terjebak disana," bebernya.
Advertisement
Kepastian Tarif
Menurut Abra, aspek penting lainnya adalah menyoal tarif dasar listrik yang dibebankan ke masyarakat. Pasalnya, dengan penggunaan kompor listrik akan juga meningkatkan kebutuhan daya listrik.
Hal ini, berarti meningkatkan biaya yang harus dibayarkan oleh masyarakat. Jika ada peningkatan itu, khawatirnya migrasi ke kompor listrik malah menjadi lebih mahal ketimbang penghematan.
"Memang pemeintah kita dengar sudah memberikan jaminan bahwa tarif untuk masaknya itulah tarif subsidi, tetapi sampai hari ini kita belum melihat regulasi, payung hukum yang bisa menjamin memastikan bahwa tarif listrik yang nanti mereka bayarkan untuk memasak itu adalah tarif subsidi, dan besaran berapa kita belum tahu, karena sekarang masih di piloting," paparnya.
Ia menerangkan, dari proses uji coba atau piloting tadi, belum jelas apakah tarif yang berlaku itu disubsidi pemerintah atau ditanggung oleh PLN. Ini juga mempengaruhi proses pelaksanaan migrasi kedepannya.
"Tetapi kan kalau ini masif sampai 2 juta rumah tangga tahun depan ya tidak mungkin tanpa adanya regulasi yang jelas. Kalau tarif listrik ternyata tarif listrik subsidi tapi belum ada regulasi, nanti terpaksa mau tidak mau pasti PLN yang akan menanggung selisihnya tadi," pungkasnya.