Liputan6.com, Jakarta Serikat Pekerja PLN mendukung keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan skema Power Wheeling dari daftar inventaris masalah (DIM) dari Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET).
Ketua Serikat Pekerja PT PLN (Persero) Pusat, Abrar Ali menyatakan, haram hukumnya kembali memasukkan power wheeling dalam RUU tersebut, karena sebelumnya Presiden RI telah mengeluarkan skema tersebut dari daftar inventaris masalah (DIM).
Baca Juga
“Haram hukumnya kembali memasukkan power wheeling dalam RUU EBET tersebut. Presiden RI Joko Widodo telah mengeluarkannya dari DIM, karena skema ini dinilai sangat membebani pemerintah dari sisi keuangan. Itu sebabnya Presiden Joko Widodo mengeluarkannya,” kata Abrar dalam siaran pers, di Jakarta, Rabu (25/1/2023).
Advertisement
Adapun skema power wheeling merupakan pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik milik PLN. Skema ini diklaim memudahkan transfer energi listrik dari sumber energi terbarukan atau pembangkit non-PLN ke fasilitas operasi perusahaan dengan memanfaatkan jaringan transmisi yang dimiliki dan dioperasikan oleh PLN
Abrar juga meminta kepada seluruh stake holder PLN, untuk terus mengawal pembahasan RUU EBET tersebut. Pasalnya, dalam hal pengadaan energi listrik, konsep multi buyer-single seller (MBSS) yang diberlakukan saat ini, juga dinilai sangat merugikan negara.
Menurut Abrar konsep ini sesungguhnya merupakan pola unbundling, padahal pola unbundling itu sendiri sudah dibatalkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) karena bertentangan dengan UUD Pasal 33. Kemudian UU tersebut diganti dengan UU No.30/2009 tentang ketenagalistrikan, dengan menghilangkan unbundling.
Abrar menilai, sikap Presiden RI Joko Widodo menolak memasukkan power wheeling dalam DIM RUU EBET, sudah sangat tepat. Dia pun mengapresiasi sikap pemerintah ini. Pasalnya, di negara lain power wheeling itu ada yang sukses penerapannya. Tapi tidak dapat langsung diimplementasikan di negara ini, karena jelas berbeda karakter dalam segala hal, termasuk sejarah keberadaan perusahaan listrik nasional di tanah air.
"Kita harus ingat juga bahwa perusahaan ini (PLN) adalah salah satu aset bangsa yang terbesar, sehingga pengelolaannya harus murni dilakukan putra putri bangsa ini juga,” tandas Abrar.
Konsumsi Listrik 2022 Naik 6,15 Persen, Sinyal Pertumbuhan Ekonomi Membaik
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memandang, peningkatan konsumsi listrik pada 2022 lalu jadi sinyal bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun lalu semakin membaik.
Plt Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan, konsumsi listrik yang disediakan PT PLN (Persero) pada 2022 silam meningkat sekitar 6,15 persen.
"Pertumbuhan listrik sudah sangat baik, sebagai respon bahwa ekonomi kita tumbuh dengan baik. Tahun 2022 angkanya 6,15 persen pertumbuhan listrik. Ini angka konsolidasi lewat PLN," ujar Dadan, Selasa (24/1/2023).
Dadan pun meyakini, angka konsumsi listrik di luar yang disediakan PLN pun sama. Pemerintah disebutnya berkomitmen untuk terus memperluas penyediaan layanan listrik, dengan memastikan harga tetap terjangkau.
"Pertumbuhan ekonomi pun kita lihat sama-sama, menghadapi kondisi menantang. Memastikan penyediaan listrik tetap handal, dan harga listrik tetap terjangkau di masyarakat.
Menurut dia, itu jadi salah satu background untuk mendesain pengaturan perdagangan karbon pada sektor ketenagalistrikan. Dengan tujuan, untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sembari memastikan penyediaan listrik dan pertumbuhan ekonomi tetap berjalan lancar.
Advertisement
Target Emisi Karbon
Seperti diketahui, pemerintah telah merevisi target emisi karbon menjadi 31,89 persen pada 2030 mendatang. Angka ini naik sekitar 2 persen dari target sebelumnya, 29 persen.
Ketentuan ini tertuang dalam Nationally Determined Contribution (NDC). Itu kemudian diturunkan melalui Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 16 Tahun 2022, tentang penyelenggaraan nilai ekonomi karbon (perdagangan karbon) pada PLTU berbasis batubara.
"Tentunya (target penurunan emisi GRK) naik itu dilatarbelakangi adanya keyakinan bahwa kita ini bisa memenuhi. Kan tidak mungkin juga, kita tambah naik tapi di sisi lain sebetulnya kondisi terbalik," sebut Dadan.
"Itu jadi salah satu kontributor kita mampu memenuhi target dari 29 jadi 31,8 persen itu. Kita sudah sampai situ dari sisi pengaturan. Permennya sudah ada. Bagaimana kaitannya nanti dengan pengelolaan nilai ekonomi karbon secara nasional," tuturnya.