Liputan6.com, Jakarta - Ekspor produk kelautan dan perikanan Indonesia ke sejumlah negara salah satunya Amerika Serikat (AS) mengalami perlambatan. Hal ini terjadi karena adanya perlambatan pertumbuhan ekonomi di negara mitra Indonesia sehingga mempengaruhi permintaan.
Direktur Pemasaran Direktorat Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Erwin Dwiyana menjelaskan, pasar ekspor produk kelautan dan perikanan Indonesia adalah Amerika Serikat (AS), China, Jepang, ASEAN dan Uni Eropa.
jika melihat data, selama 2022 negara pasar utama ekspor perikanan Indonesia diantaranya Amerika Serikat sebesar USD 2,32 miliar, China sebesar USD 1,12 miliar, Jepang USD 742,93 juta, ASEAN USD 729,37 juta dan Uni Eropa USD 377,65 juta.
Advertisement
Namun ternyata, terjadi penurunan ekspor ke Amerika Serikat (AS) dengan komoditas yang mengalami penurunan di AS adalah produk udang. Sedangkan di China kebalikannya mengalami peningkatan ekspor, yakni kontribusi terbesar adalah udang dan rumput laut.
"Di pasar utama AS itu mengalami penurunan mungkin kalo diliat di di juni mengalami penurunan dibandingkan di 2021, salah satu penurunan ekpor udang Indonesia, sementara di China jutru kebalikannya ekpor perikanan peningkatan kontribusi terbesar adalah ekspor udang dan rumput laut," ujar Erwin, dalam acara konferensi pers, Jakarta, Selasa (21/2/2023).
Eropa dan Jepang
Sementara di Uni Eropa kontribusi terbesar ekspor terdapat pada produk cumi, sotong dan gurita serta rumput laut. Kemudian di Jepang juga mengalami kenaikan pada produk udang dan tuna.
Adanya tren penurunan tersebut, Erwin menilai Indonesia perlu untuk melirik peluang pasar dalam negeri dan diversifikasi negara tujuan ekspor. Di pasar dalam negeri serapan dari produk ikan tahun 2021 sebesar 12,66 juta ton sedangkan tahun 2022 meningkat sebesar 13,11 juta ton.
"Kita juga harus melirik ke pasar dalam negeri. Kelihatannya perikanan tangkap atau produk perikanan itu masih berkontribusi besar dibandingkan perikanan budidaya. Pulau Jawa menyerap produk ikan paling besar karena jumlah penduduknya terkonsentrasi di pulau Jawa," terang dia.
Resesi Global Mulai Terasa di Indonesia, Ini Tanda-Tandanya
Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengungkapkan kekhawatirannya terkait dampak resesi global yang sudah mulai terasa bagi Indonesia.
Meskipun ekonomi Indonesia sepanjang tahun 2022 berhasil tumbuh 5,31 persen, namun kinerja ekspor yang menjadi penyokong ekonomi tahun lalu mulai melemah.
Bahkan Bahlil menyebut kinerja ekspor kuartal pertama tahun ini mengalami pelemahan jika dibandingkan dengan kinerja pada kuartal IV tahun 2022.
“Ekspor kita di kuartal I-2023 ini rada-rada, tidak sebaik di kuartal IV-2022. Ini tanda-tanda sudah mulai menurun,” ungkap Bahlil dalam konferensi pers di Gedung Kementerian Investasi, Jakarta, Kamis (16/2/2023).
Selain kinerja ekspor, Bahlil juga mengkhawatirkan terganggunya investasi yang masuk di tahun 2023. Apalagi targetnya naik menjadi Rp1.400 triliun. Masuknya investasi asing ke Indonesia di kuartal perdana ini juga tidak lebih baik dari capaian di kuartal IV-2022.
“Saya baru cek, di kuartal I ini agak tidak sebaik dengan kuartal IV-2022 dan beberapa negara sudah menanyakan investasi di negara kita, dan ini masih butuh pergerakan-pergerakan maintenance yang baik,” ungkapnya.
Bahlil menyimpulkan, tahun 2023 menjadi tahun yang sulit selain bertepatan dengan tahun politik. Sebagaimana historisnya, ketika sebuah negara memasuki tahun politik, para investor memilih untuk menahan diri (wait and see) dalam berinvestasi.
“Kita di tahun 2023 menurut saya ini tahun yang tidak main-main,” katanya.
Advertisement
Kondisi Ekonomi Global
Di sisi lain, kondisi ekonomi global yang diperkirakan masih gelap sepanjang tahun. Potensi resesi global sudah tidak bisa dihindari lagi. Bahlil bilang sekarang negara sedang menghitung dalamnya dampak resesi di Tanah Air.
“Potensi resesi tidak dapat kita hindari dan dalamnya resesi sedang kita hitung,” kata dia.
Pemerintah, kata Bahlil sedang berupaya agar dampak resesi ini berakibat pada sikap investor yang makin menahan dananya untuk diinvestasikan.
Untuk itu dia meminta semua pihak tidak mempermasalahkan hal-hal sepele yang bisa berdampak pada kepercayaan para investor.
“Jangan sampai ini berdampak pada sikap wait and see di tahun politik. Jangan yang tidak substantif ini menjadi masalah besar,” pungkasnya.