Liputan6.com, Jakarta Konflik di Sudan terus menuai perhatian masyarakat dunia. Bahkan perang di negara ini dikhawatirkan dapat menimbulkan risiko kredit negatif bagi negara tetangganya dan bank pembangunan multilateral (MDB).
Prediksi dampak Perang Sudan diungkapkan oleh layanan investor dari lembaga pemeringkat asal Amerika Serikat, Moody's Investors Service.
Baca Juga
Mengutip Arab News, Rabu (26/4/2023) Moody's mengingatkan bahwa perang Sudan akan menimbulkan konsekuensi ekonomi yang besar di kawasan Afrika, termasuk dampak negatif pada pinjaman secara keseluruhan.
Advertisement
"Jika konflik berubah menjadi perang saudara yang berkepanjangan, penghancuran infrastruktur sosial dan fisik akan memiliki konsekuensi ekonomi yang bertahan lama, membebani kualitas aset MDB di Sudan, bersama dengan pinjaman dan likuiditas bermasalah secara keseluruhan," kata Moody's dalam sebuah catatan yang dirilis pada Senin (24/4).
Diketahui bahwa pada 15 April lalu, terjadi konflik antara konflik antara militer dan pasukan paramiliter di Khartoum, ibu kota Sudan.
"Pertempuran telah menyebabkan kerusakan signifikan pada infrastruktur utama di Khartoum, seperti bandara internasional, rumah sakit, dan sekolah, dan telah memaksa sebagian besar kegiatan ekonomi dan bisnis pemerintah terhenti karena warga sipil berlindung di rumah mereka," tambah Moody's.
Selain itu, Moody's juga menyoroti kemungkinan konflik meluas ke negara-negara tetangga, memicu kekhawatiran kualitas aset yang lebih luas untuk MDB dengan konsentrasi pinjaman yang lebih tinggi di Chad, Sudan Selatan, Ethiopia, dan Mesir.
Lembaga pemeringkat itu mengungkapkan, Trade and Development Bank memiliki pinjaman senilai USD 931 juta di Sudan pada akhir Desember 2022, dan 95 persen dari eksposur ini adalah dalam bentuk fasilitas pembiayaan perdagangan yang sebelumnya digunakan untuk mendanai impor bahan makanan dan bahan bakar.
Eksposur Sudan
Laporan Moody's juga menambahkan bahwa Islamic Corp. for the Development of the Private Sector memiliki eksposur ke Sudan sebesar 1,3 persen dari total aset pada kuartal pertama tahun 2023.
Namun, eksposur itu telah sepenuhnya diprovisikan dan secara signifikan mengurangi eksposur kredit dan ekuitasnya.
Diketahui, Islamic Development Bank, African Development Bank dan International Development Association memiliki eksposur ke Sudan kurang dari 1 persen dari aset dengan peringkat pembangunan.
Status kreditur preferen berarti bahwa, meskipun eksposur menjadi bermasalah, dengan pinjaman yang tidak akan dihapuskan dan pada akhirnya harus dilunasi.
Advertisement
Dilanda Konflik Militer, Begini Kondisi Ekonomi Sudan Menurut Bank Dunia
Sudan tengah menjadi sorotan di seluruh dunia, menyusul pecahnya konflik antara militer dan pasukan paramiliter.
Sejauh ini, dilaporkan ada sekitar 400 orang yang tewas dalam peristiwa tersebut. Kejadian bermula pada 15 April lalu,
Dilansir dari BBC, Rabu (26/4/2023) pecahnya konflik bermula pada 15 April lalu, ketika aksi penembakan antara militer dengan kelompok paramiliter terjadi di Khartoum, menyusul ketegangan selama berhari-hari.
Menyusul konflik, disepakati gencatan senjata selama 72 jam yang mulai berlaku tengah malam pada Senin (24/4/2023) waktu setempat.
Iini adalah gencatan senjata ketiga yang diumumkan sejak konlik terjadi. Namun, tidak ada satupun yang dijalankan secara penuh.
Dengan konflik yang memicu kekhawatiran di antara masyarakat lokal maupun internasional, bagaimana kondisi ekonomi Sudan?
Bank Dunia melihat, pemisahan Sudan Selatan telah menyebabkan guncangan ekonomi yang cukup bear, termasuk hilangnya pendapatan dari minyak yang menyumbang lebih dari setengah pendapatan pemerintah Sudan dan 95 persen ekspornya.
Hal ini telah mengurangi pertumbuhan ekonomi dan mengakibatkan inflasi konsumen di negara itu mencapai dua digit, yang bersamaan dengan kenaikan harga BBM, memicu protes keras pada September 2013.
Mengutip laporan Bank Dunia Macro Poverty Outlook for Sudan per April 2023, pengambilalihan oleh militer pada Oktober 2021 melemahkan aktivitas domestik di Sudan, memperlambat kemajuan terhadap keringanan utang.
Namun pada tahun 2022, Bank Dunia memperkirakan laju kontraksi PDB Sudan akan melambat menjadi 1 persen, yang didorong oleh produksi pertanian dan peternakan yang stabil dan pertumbuhan moderat dalam ekspor emas.
Untuk tahun 2022, Bank Dunia mencatat, PDB Sudan adalah sebesar USD 51,7 miliar dan PDB per kapita Sudan USD 1102,2.
Sementara untuk tahun 2023, perekonomian Sudan diperkirakan akan pulih pada laju yang lemah sebesar 0,4 persen, hal ini dikarenakan lambannya resolusi krisis politik dan sosial yang meluas, serta kerusuhan dan ketidakamanan yang terus berlanjut.
Bank Dunia memprediksi rata-rata PDB Sudan akan menyentuh 2 persen antara tahun 2023 dan 2025, didorong dengan meningkatnya hasil pertanian dan ekspor peternakan, serta pertambangan dan jasa.
Inflasi di Sudan
Bank Dunia mencatat, inflasi Sudan diperkirakan akan terus menurun, dengan upaya otoritas negara itu untuk menahan defisit fiskal dan membatasi monetisasi.
Inflasi tahunan rata-rata Sudan telah menurun dari 359,7 persen pada 2021 menjadi 164,2 persen pada tahun 2022, didorong oleh perlambatan basis pertumbuhan uang karena berkurangnya monetisasi. Permintaan domestik yang lemah juga berkontribusi terhadap lambatnya inflasi.
Namun, inflasi Sudan diperkirakan akan tetap tinggi mengingat kekurangan pasokan domestik ditambah dengan impor yang tinggi serta harga barang konsumsi dan input produksi.
Advertisement
Kemiskinan di Sudan
Adapun cadangan internasional bruto Sudan yang menurun menjadi sekitar USD1,2 miliar pada tahun 2022 (1,4 bulan impor) dari USD 1,63 miliar pada akhir 2021.
Meskipun statistik kemiskinan resmi tidak tersedia setelah 2014, persentase dari penduduk Sudan yang hidup dengan biaya kurang dari USD 2,15 per hari (PPP 2017) diperkirakan meningkat dari 20,4 persen pada tahun 2018 menjadi 32,9 persen pada tahun 2023, menurut Bank Dunia.
Badan itu mengatakan, krisis yang berlarut-larut berkontribusi pada peningkatan kemiskinan ekstrem di Sudan yang diperkirakan sebesar 12 poin persentase.