Liputan6.com, Jakarta Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tengah menggelar acara seminar terkait pembiayaan dan asuransi risiko bencana pada Senin, 10 Juli 2023 di Yogyakarta.
Dalam seminar bertajuk Disaster Risk Financing & Insurance & Adaptive Social Protection Implementation in Indonesia, Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Ekonomi Makro dan Keuangan Internasional, Parjiono mengatakan, seminar ini diadakan menyusul bencana gempa magnitudo 6,4 di Yogyakarta beberapa waktu lalu, menyebabkan kerusakan sekitar 137 rumah dan 35 fasilitas umum.
Baca Juga
Ia menjelaskan, meskipun kerusakan yang dialami relatif lebih ringan dari gempa lainnya yang terjadi belum lama ini, peristiwa Yogyakarta belum lama ini tentunya mengingatkan kembali akan terjadinya gempa besar yang pernah terjadi di 2006. Ketika gempa saat itu menyebabkan kerugian sekitar Rp 29 triliun.
Advertisement
"Sayangnya, Indonesia saat itu belum memiliki strategi kebijakan untuk pembiayaan dan asuransi risiko bencana. Kerugian yang ditransfer ke sektor asuransi hanya senilai kurang lebih Rp 300 miliar, yang kalau kita hitung itu hanya 1 persen dari total kerugian dan kerusakan," jelas Parjiono dalam pidatonya dalam acara seminar yang disiarkan secara daring oleh Kemenkeu, Senin (10/7/2023).
Sehingga hampir semua biaya rehabilitasi dan rekonstruksi bencana saat itu harus ditanggung oleh APBN atau APBD. 12 tahun kemudian, serangkaian bencana berskala besar masih terus terjadi di Indonesia, di antaranya gempa dan likuifaksi di Sulawesi Tengah, gempa di Lombok, serta tsunami di Selat Sunda pada tahun 2018.
Parjiono pun menyoroti catatan dari BNPB yang menunjukkan bahwa Indonesia secara keseluruhan mengalami lebih dari 2.500 bencana yang menyebabkan lebih dari 3.300 orang meninggal dunia, 10 juta orang mengungsi, serta kerusakan lebih dari 300.000 rumah, dengan kerugian yang ditaksir Rp. 100 triliun.
"Rentetan bencana yang terjadi dengan besarnya kerugian ekonomi tentunya memicu pemerintah Indonesia untuk menyusun strategi pembiayaan dan asuransi risiko bencana yang kita sebut sebagai PARB, bertujuan meningkatkan kemampuan pembiayaan untuk penanggulangan bencana dan membangun resiliensi di ekonomi, di tengah terjadinya bencana di Indonesia," kata Parjiono.
Â
Alternatif Sumber Pembiayaan
Melalui strategi ini, kapasitas pendanaan penanggulangan bencana dapat disalurkan dan ditingkatkan dengan pencarian alternatif sumber pembiayaan baru di luar APBN, lanjutnya.
"Strategi penanggulangan bencana ini telah juga mendapat pengakuan dari berbagai organisasi internasional sebagai pencapaian yang signifikan dalam langkah memperkuat pendanaan risiko bencana, terutama karena Indonesia merupakan satu dari sejumah negara yang telah memiliki strategi nasional terkait dengan disaster risk finance and insurance," bebernya.
"Sebagai bagian krusial dari strategi ini, Pemerintah membentuk cooling fund bencana atau disaster cooling fund. instrumen ini merupakan pengumpulan dana pertama di dunia yang dikhususkan untuk mengumpulkan, mengembangkan, dan menyalurkan dana dalam penanggulangan bencana. Karena pendanaan ini juga bersifat fleksibel, responsif, berkelanjutan, serta lengkap dari APBN atau budget sebagai sumber pembiayaan bencana yang dapat diandalkan dalam jangka panjang," paparnya.
Parjiono menambahkan bahwa, dengan risiko bencana yang cukup tinggi, Indonesia memahami perlindungan sosial tidak bisa dipisahkan dari bencana dan dampak dari perubahan iklim, serta kekeringan, banjir, kenaikan air laut, dan dampak iklim lainnya berdampak terhadap produktivitas masyarakat Indonesia.
Advertisement
Gempa Bantul 2023 Tambah Daftar Deretan Gempa Yogyakarta Sejak 1840, Ini Rinciannya
Sebelumnya, gempa berkekuatan magnitudo 6,4 telah mengguncang wilayah Bantul, Yogyakarta, Jumat (30/6/2023) malam. Gempa Yogyakarta tersebut menambah sederet peristiwa gempa yang pernah terjadi di Kota Pelajar ini.
Dari beberapa sumber tercatat, Yogyakarta telah mengalami 13 kali bencana gempa bumi yang merusak. Mengutip dari ugm.ac.id, secara tektonik, Yogyakarta memang memiliki tingkat aktivitas kegempaan yang cukup tinggi karena berdekatan dengan zona tumbukan lempeng di Samudera Indonesia.
Selain itu, Yogyakarta juga memiliki aktivitas sesar-sesar lokal di daratan. Kondisi tersebutlah yang menyebabkan Yogyakarta sebagai kawasan seismik aktif dan kompleks.
Gempa di Yogyakarta pertama kali terjadi pada 1840. Gempa tersebut disertai dengan bencana tsunami. Selanjutnya, gempa dan tsunami di Yogyakarta juga terjadi pada 1859.
Pada 1867, kembali terjadi gempa di Yogyakarta. Gempa ini tidak disertai tsunami, tetapi mengakibatkan 5 orang tewas dan 327 rumah roboh.
Bencana gempa bumi di Yogyakarta pun kembali terjadi pada 1875. Setelah lama berselang, Yogyakarta kembali dilanda gempa pada 1937 yang mengakibatkan 2.200 rumah roboh.
Pada 1943, gempa bumi kembali terjadi di Yogyakarta dan mengakibatkan 250 orang tewas serta 28 ribu rumah roboh. Pada tahun-tahun berikutnya, yaitu pada 1957, 1981, 1992, 2001, dan 2004, Yogyakarta kembali dilanda bencana gempa bumi.
Gempa 2006
Dua tahun berselang, tepatnya pada 27 Mei 2006, gempa berkekuatan 5,9 SR mengguncang Yogyakarta sekitar pukul 05.53 WIB. Getaran selama 57 detik itu menyebabkan ratusan ribu rumah hancur dan ribuan orang meninggal dunia.
Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPDB) Bantul mencatat, gempa tersebut menyebabkan 4.143 orang meninggal dunia dengan jumlah kerusakan mencapai 71.763 rumah.
Gempa tersebut sempat membuat warga panik karena adanya isu tsunami, sehingga banyak menyebabkan korban luka-luka. Namun, isu tsunami tersebut tak terbukti.
Setelah 17 tahun berselang, Yogyakarta kembali dilanda gempa pada 2023. Gempa tersebut mengguncang 86 kilometer Barat Daya Bantul, Yogyakarta.
Gempa yang terjadi pada 19.57 WIB ini terasa hingga Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menginformasikan, pusat gempa berada di kedalaman 25 kilometer.
Usai gempa tersebut, BMKG menginfokan telah terjadi hingga 48 kali gempa susulan. Gempa tersebut mengakibatkan satu orang meninggal dunia dan ratusan rumah rusak.
Advertisement