Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah merilis aturan baru mengenai perhitungan tarif efektif pemotongan pajak penghasilan (PPh) Pasal 21. Aturan ini mulai berlaku efektif pada 1 Januari 2024.
Aturan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2023 tentang Tarif Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Wajib Pajak Orang Pribadi.
Baca Juga
Penerbitan aturan baru perpajakan ini untuk memudahkan dam nenyederhanakan pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakan kepada Wajib Pajak atas pemotongan PPh 21.
Advertisement
Penetapan tarif efektif pemotongan PPh Pasal 21 dilakukan dengan telah memperhatikan adanya pengurang penghasilan bruto berupa biaya jabatan atau biaya pensiun, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan Dwi Astuti menjelaskan, tarif efektif untuk penghitungan PPh Pasal 21 tidak memberikan beban pajak baru.
“Tidak ada tambahan beban pajak baru sehubungan dengan penerapan tarif efektif,” kata dia dikutip dari Antara, Senin (1/1/2024).
Tujuan diterbitkannya PP tersebut untuk memberikan kemudahan dalam penghitungan pajak terutang. Menurut Dwi, kemudahan itu tercermin pada kesederhanaan cara penghitungan pajak terutang.
Sebelumnya, untuk menentukan pajak terutang, pemberi kerja harus mengurangkan biaya jabatan, biaya pensiun, iuran pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari penghasilan bruto. Hasilnya baru dikalikan dengan tarif Pasal 17 UU PPh.
Siapkan Alat Bantu
Dengan PP itu, penghitungan pajak terutang cukup dilakukan dengan cara mengalikan penghasilan bruto dengan tarif efektif.
“Penerapan tarif efektif bulanan bagi Pegawai Tetap hanya digunakan dalam melakukan penghitungan PPh Pasal 21 untuk masa pajak selain Masa Pajak Terakhir, sedangkan penghitungan PPh Pasal 21 setahun di Masa Pajak Terakhir tetap menggunakan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh seperti ketentuan saat ini,” jelas Dwi.
Dwi mengatakan DJP saat ini menyiapkan alat bantu yang akan membantu dalam memudahkan penghitungan PPh pasal 21. Alat itu ditargetkan dapat diakses melalui DJPOnline mulai Januari 2024.
“Selanjutnya pemerintah akan mengatur ketentuan lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan yang saat ini dalam proses penyusunan tahap akhir,” ujar Dwi.
59,557 Juta NIK Sudah Sah Jadi NPWP
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengungkapkan implementasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) orang pribadi saat ini sudah mencapai 59,557 juta NIK telah dipadankan.
Direktur Jenderal Pajak, Suryo Utomo mengatakan secara prinsip bahwa NIK akan menjadi NPWP sebagai basis sistem administrasi, kemudian akan diimplementasikan pada wakktu implementasi Coretax Administration System (CATS) pada pertengahan tahun 2024 mendatang.
"Untuk update sampai ssat ini sudah 59.557 juta NIK telah dipadankan dengan NPWP dari total expected yang akan dipadankan 72.174 juta wajib pajak orang pribadi dalam negeri," ujar Suryo dalam acara Konferensi Pers APBN KiTa Edisi Desember, dikutip Sabtu (16/12/2023).
Suryo menjelaskan saat ini sudah ada 55,7 juta NIK yang dipadankan dengan sistem DJP. Sisanya, sekitar 3,7 juta NIK wajib pajak melakukan pemadanan secara mandiri.
"Jadi yg kami padankan seraca sistem, kami memiliki data dan informasi. Kaminpadankan secara sistem sekitar 55,7 juta yg sudah dipadankan. Saat ini yang telah dipadankan oleg wajib pajak sekitar 3,7 juta," ungkapnya.
Advertisement
Ingatkan Wajib Pajak
Sebagai informasi, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengingatkan kepada wajib pajak (WP) orang pribadi yang belum melakukan pemadanan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) berpotensi terkendala akses layanan perpajakan.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2 Humas) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu, Dwi Astuti menyebutkan, kendala yang akan didapat wajib pajak yakni pada saat implementasi penuh Sistem Inti Administrasi Perpajakan (SIAP) alias core tax.
"Kendala yang akan dihadapi termasuk pada layanan administrasi pihak lain yang mensyaratkan NPWP, karena seluruh layanan tersebut akan menggunakan NIK sebagai NPWP," ucap Dwi saat dihubungi di Jakarta, Jumat.