Liputan6.com, Jakarta Ombudsman Republik Indonesia berhasil merampungkan 57 laporan terhadap maladministrasi. Dari jumlah itu, akumulasi kerugian yang dialami masyarakat senilai Rp 11,6 miliar berhasil diselamatkan.
Ketua Ombudsman RI Mokhammad Najih menerangkan, sejak 2016-2023, ada 283 laporan yang terdiri dari 93 laporan masih dalam proses resolusi monitoring dan 198 laporan telah diselesaikan dengan persentase capaian 68 persen selesai. Sedangkan yang sedang dalam proses 32 persen.
Baca Juga
Khusus pada tahun 2023, ada 57 laporan yang berhasil diselesaikan terkait dengan maladministrasi. Ini lebih tinggi dari target 2023 penyelesaian sebanyak 54 laporan.
Advertisement
"Dengan demikian, penyelesaian laproan dalam tahapan resolusi monitoring pada tahun 2023 ini dapa tdiselesaikan melampaui target yang seharusnya hanya 54 laporan menjadi 57 laporan. Yaitu sebanyak 105,56 persen," ujar Najih dalam Konferensi Pers, di Kantor Ombudsman RI, Jakarta, Jumat (19/1/2024).
Banyak Laporan
Sepanjang 2023, pada tahap resolusi dan monitoring, Ombudsman RI menangani cukup banyak jenis susbtansi laporan masyarakat kurang lebih sebanyak 27 jenis, dengan empat jenis substansi terbanyak yaitu Pertanahan sebesar 23 persen, Kepegawaian 22 persen, perizinan 10 persen, dan Desa 10 persen.
"Adapun bentuk maladministrasi terbanyak adalah penyimpangan prosedur dan penundaan berlarut," tegasnya.
"Tentu yang masuk resolusi dan monitoring merupakan hasil pemeriksaan dimana didalamnya ada termasuk tindakan korektif kepada terlapor atau penyelenggara pelayanan publik yang telah dituangkan didalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP). Seperti juga kita sebut tindakan korektif itu pasti ditemukan maladministrasi," imbuhnya.
Â
Selamatkan Rp 11,6 Miliar
Lebih lanjut, Najih mengatakan dampak dari penyelesaian laporan itu berhasil mengembalikan potensi kerugian yang dialami masyarakat. Akumulasi nilainya mencapai Rp 11,6 miliar.
"Selama tahun 2023, penyelesaian laporan masyarakat tahap resolusi dan monitoring berjalan efektif yang memberi manfaat langsung kepada masyarakat, yaitu terdapat pengembalian kerugian masyarakat dalam bentuk nilai uang berjumlah kurang lebih Rp11.685.100.000," jelasnya.
Di sisi lain, terdapat sejumlah manfaat berupa perolehan ijin, pembangunan pasar dan penempatan pedagang, perbaikan kebijakan, perbaikan sistem serta manfaat lainnya yang diperoleh masyarakat pelapor.
"Pada Tahun 2023, Instansi Pemerintah/Penyelenggara Negara yang menjadi Terlapor belum sepenuhnya melaksanakan Laporan Hasil Pemeriksaan dan Rekomendasi Ombudsman Republik Indonesia dan/atau lamban dalam proses penyelesaian, sehingga perlu komitmen ke depannya bagi Instansi penyelenggara negara untuk pelayanan publik yang prima bagi masyarakat," pungkas Najih.
Â
Advertisement
Penyusunan Data Penerima Bansos Maladministrasi
Sebelumnya, Ombudsman Republik Indonesia menemukan sejumlah titik maladministrasi pada penyusunan data penerima bantuan sosial (bansos). Ketidaksesuaian ini terjadi dari tahapan awal hingga akhir terkait penyaluran bansos Program Keluarga Harapan (PKH).
Tim Keasistenan Utama VI Ombudsman RI, Sobirin mengatakan maladministrasi terjadi mulai dari pengusulan data untuk disuplai ke Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
"Ombudsman menyimpulkan pada proses verifikasi dan validasi pemutakhiran data, penyaluran bantuan dan transformasi kepesertaan ini terjadi tindakan maladministrasi," ujar Sobirin dalam Diskusi Publik Bansos PKH: Tata Kelola dan Perbaikan ke Depan, di Kantor Ombudsman RI, Jakarta, Kamis (18/1/2024).
Sedikitnya, ada tiga poin penting dalam temuan Ombudsman tadi. Pertama, penyimpangan prosedur pada tahapan pengusulan data ke DTKS antara lain tidak melalui tahapan musyawarah kelurahan/desa dimana merupakan kewenangan pemerintah daerah melalui desa/kelurahan untuk mengakomodasi dan melakukan pembaharuan data DTKS masyarakat yang ada di wilayahnya.
Tidak Kompeten
Kedua, tindakan tidak kompeten oleh petugas Dinas Sosial Kabupaten/Kota pada tahap verifikasi dan validasi data, dimana tidak memastikan data yang telah dikumpulkan atau diperbaiki dengan fakta di lapangan.
"Jadi mereka tidak melakukan verifikasi dan validasi di lapangan," ungkapnya.
Ketiga, tindakan tidak kompeten oleh verifikator pada setiap tingkatan dalam penetapan graduasi, pembaruan data, dan pemadanan data yang menyebabkan exclusion error.
"Dan ini cukup banyak dan lumayan banyak terjadi di setiap daerah," sambungnya.
Â