Apa Itu Greenflation, Disinggung Gibran dalam Debat Cawapres 2024

Green inflation atau inflasi hijau menjadi salah satu topik yang dibahas dalam Debat Calon Wakil Presiden (Cawapres) 2024 pada Minggu (21/1).

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 21 Jan 2024, 22:31 WIB
Diterbitkan 21 Jan 2024, 21:47 WIB
Calon Wakil Presiden (Cawapres) Gibran Rakabuming pada Debat Cawapres 2024.
Calon Wakil Presiden (Cawapres) Gibran Rakabuming pada Debat Cawapres 2024. Green inflation atau inflasi hijau menjadi salah satu topik yang dibahas dalam Debat Calon Wakil Presiden (Cawapres) 2024 pada Minggu (21/1).

 

Liputan6.com, Jakarta Green inflation atau inflasi hijau menjadi salah satu topik yang dibahas dalam Debat Calon Wakil Presiden (Cawapres) 2024 pada Minggu (21/1).

Pembahasan inflasi hijau terjadi ketika Calon Wakil Presiden Nomor Urut 2 Gibran Rakabuming Raka bertanya kepada Calon Wakil Presiden Nomor Urut 3 Mahfud MD mengenai cara mengatasi greenflation.

Mahfud MD pun menjawab bahwa menangani greenflation sama dengan menjalankan ekonomi hijau dimana proses pemanfaatan produk ekonomi dan dimanfaatkan didaur ulang dan bukan dibuang.

Mengutip laman COBS Insights, Senin (21/1/2024) inflasi hijau merupakan kenaikan harga barang dan jasa (inflasi) sebagai konsekuensi transisi perekonomian saat ini, ke perekonomian yang lebih ramah lingkungan atau ekonomi net-zero

Atau menurut Philonomist, Inflasi hijau mengacu pada kenaikan harga bahan mentah dan energi sebagai akibat dari transisi hijau.

Meski demikian, penting juga untuk diingat bahwa tidak semua kenaikan harga disebabkan oleh inflasi hijau.

Dikutip dari Philonomist, salah satu contoh adalah kebijakan pajak karbon, yang masuk akal dari sudut pandang lingkungan hidup, namun di sisi lain menyebabkan harga bahan bakar naik. 

Hal itu yang memicu gerakan protes Rompi Kuning di Prancis pada tahun 2018. 

Kemudian dari segi logam strategis, harga litium yang digunakan untuk membuat baterai mobil listrik meningkat sebesar 400 persen pada tahun 2021. Tren ini diperkirakan akan terus berlanjut, sementara permintaan litium global diperkirakan meningkat hingga 40 kali lipat pada tahun 2040.

Hal yang sama berlaku untuk aluminium, yang digunakan untuk menghasilkan energi surya dan angin, yang harganya naik dua kali lipat antara tahun 2021 dan 2022, dan mencapai titik tertinggi sepanjang masa. 

Tren ini juga diperkirakan akan bertahan lama, karena China, yang memproduksi 60 persen dari seluruh aluminium, telah memutuskan untuk membatasi produksi pabrik baru yang berpolusi tinggi, untuk mencapai netralitas karbon. 

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya