Pengusaha Akui Terlalu Berharap Tinggi pada Omnibus Law Cipta Kerja, Apa Hasilnya?

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengakui implementasi Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja membutuhkan waktu. Mengingat ada harapan tinggi yang sebelumnya ditaruh para kalangan pengusaha itu.

oleh Arief Rahman Hakim diperbarui 25 Jun 2024, 16:30 WIB
Diterbitkan 25 Jun 2024, 16:30 WIB
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengakui implementasi Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja membutuhkan waktu.
Ketua Umum Apindo Shinta Kamdani. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengakui implementasi Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja membutuhkan waktu. Mengingat ada harapan tinggi yang sebelumnya ditaruh para kalangan pengusaha itu.

Liputan6.com, Jakarta Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengakui implementasi Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja membutuhkan waktu. Mengingat ada harapan tinggi yang sebelumnya ditaruh para kalangan pengusaha itu.

Ketua Umum Apindo Shinta Kamdani mengatakan awalnya pelaku usaha menaruh harapan adanya penyederhanaan dari berbagai regulasi. Salah satunya dengan hadirnya online single submission (OSS).

"Bayangin saja itu berapa banyak regulasi dan perizinan yang di turunkan. Maksudnya begini, harapan tinggi adalah kita datang dari satu sisi yang over banget kemudian dilakukan perbaikan, tentu saja saat implentasi seperti OSS kan tidak mudah," ucap Shinta saat ditemui di Hotel Le Meridien, Jakarta, Selasa (25/6/2024).

Dia menyadari, implementasi penyederhanaan birokrasi itu ternyata membutuhkan waktu untuk diterapkan secara penuh. Bisa dibilang, pada sisi itu belum bisa diatasi dalam jangka pendek.

"Harapan tinggi mungkin dari awal karena kita begitu ingin menyelesaikan semua masalah, akhirnya kita tahu bahwa ini gakan bisa terselesaikan dalam jangka waktu pendek," ujarnya.

Kendati begitu, Shinta mengapresiasi langkah pemerintah yang mau menyederhanakan peraturan dan proses birokrasi. Itu yang menjadi alasan para pengusaha mengawal pembentukan omnibus law Cipta Kerja sejak awal.

"Omnibus law kita angkat topi karena buat Omnibus law saja diputusin pemerintah luar biasa. Makanya kita dukung dari pertama, karena kita apresiasi sekali, cuman kita katakan bahwa implementasinya butuh waktu. Makanya kita awalnya yang terlalu tinggi harapannya mau semuanya diberesin. Akhirnya tidak bisa terjadi di lapangan," beber Shinta Kamdani.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Barang Impor Rebut Pasar Produk Lokal

20161018-Ekspor Impor RI Melemah di Bulan September-Jakarta
Aktivitas bongkar muat peti kemas di JICT Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (18/10). Penurunan impor yang lebih dalam dibandingkan ekspor menyebabkan surplus neraca dagang pada September 2016 mencapai US$ 1,22 miliar. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Diberitakan sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani mengatakan barang jadi impor menggerus pasar produk lokal. Padahal, secara persentase, jumlah impor bahan jadi tidak terlalu besar.

Shinta menguraikan, porsi paling besar impor adalah bahan baku dan bahan penolong yang ditaksir mencapai sekitar 75 persen. Sementara itu, impor barang jadi atau bahan jadi hanya sekitar 20 persen.

"Kalau kita lihat trennya ini sekarang yang semua lagi heboh adalah masuknya impor bahan jadi. Bahan jadi itu, itu tuh less than 20 persen, cuma 20 persen, sekarang," kata Shinta dalam Kajian Tengah Tahun INDEF 2024 bertajuk 'Presiden Baru, Persoalan Lama', di Hotel Le Meridien, Jakarta, Selasa (25/6/2024).

Dia mengungkap tantangannya datang dari harga jual pada produk impor tersebut. Dengan harga yang lebih murah dan kualitas produk yang hampir setara, membuat produk lokal kalah saing di pasar dalam negeri.

"Cuma yang jadi permasalahan itu harganya dan kualitasnya. Jadi harganya jauh lebih murah dan kualitasnya mungkin lebih baik daripada dalam negeri. Jadi bukan kualitas dalam negeri.. sama lah ya, tapi jelas harganya murah," bebernya.

 


Barang Impor Terlalu Murah

Neraca Perdagangan RI
Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (29/10/2021). Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan neraca perdagangan Indonesia pada September 2021 mengalami surplus US$ 4,37 miliar karena ekspor lebih besar dari nilai impornya. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Dia mengatakan, dengan murahnya barang impor itu, banyak pelanggan beralih. Alhasil, semakin banyak produk impor yang masuk ke Indonesia berdasarkan pada permintaan tadi.

Shinta meminta permasalahan ini perlu menjadi perhatian bersama. Utamanya, pada pemerintah selanjutnya di bawah nakhoda Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.

"Ini yang sesuatu yang menurut saya perlu diperhatikan karena kalau kita lihat apakah kita siap, mungkin industri dalam negeri ktia siap tapi dia tetap perlu produksi dengan bahan baku dari luar. Kita belum bisa nih sendiri," sebutnya.

Infografis Mendag Revisi Aturan Kebijakan Impor Termasuk Barang Kiriman TKI. (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)
Infografis Mendag Revisi Aturan Kebijakan Impor Termasuk Barang Kiriman TKI. (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya