Jumlah Mahasiswa Minim Jadi Penyebab Universitas RI Belum Unggul

Kementerian Keuangan menyoroti posisi daya saing Perguruan Tinggi di Indonesia yang belum mencapai posisi yang unggul,

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 26 Jul 2024, 21:41 WIB
Diterbitkan 26 Jul 2024, 21:41 WIB
Ilustrasi mahasiswa, anak kuliah, universitas
Ilustrasi mahasiswa, anak kuliah, universitas. (Photo Copyright by Freepik)

Liputan6.com, Jakarta Kementerian Keuangan menyoroti posisi daya saing Perguruan Tinggi di Indonesia yang belum mencapai posisi yang unggul, terutama jika dibandingkan negara-negara tetangga di Asia Tenggara. 

Hal itu disampaikan oleh Kepala Pusat Kebijakan Sektor Keuangan Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu, Adi Budiarso dalam kegiatan diseminasi studi baru yang dirilis oleh Smart City Universitas Indonesia dan Universitas Notre Dame asal Amerika Serikat pada Jumat, 26 Juli 2024.

Kepala Pusat Kebijakan Sektor Keuangan Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu, Adi Budiarso membeberkan bahwa universitas-universitas ternama di Indonesia masih berada di peringkat diatas 200 di antara universitas-universitas dunia, dan jauh dibawah Perguruan Tinggi negara tetangga.

Adi menyebut, hal itu salah satunya disebabkan oleh rendahnya anggaran untuk penelitian dan pendidikan (terendah dibandingkan beberapa negara acuan dalam hal belanja R&D dan pendidikan tinggi). 

Tantangan lainnya, adalah rendahnya kualitas sumber daya manusia (peneliti/ dosen). sistem insentif yang kurang baik, serta manajemen instansi pendidikan tinggi yang terpusat, top-down, dan rigid. Adapun beberapa tantangan dalam melakukan reformasi institusi perguruan tinggi. 

"Inilah faktanya dan ini harus kita jadikan wake up call. Tapi yang juga perlu menjadi fokus adalah bagaimana mendukung anak-anak kita bisa sekolah baik di dalam negeri maupun luar negeri," kata Adi dalam paparan di Fairmont Jakarta, Jumat (26/7/2024).

Pasalnya, Adi mengungkap, populasi Indonesia yang menempuh pendidikan tinggi masih rendah.

"Dari 17,8 juta yang lulus SMA, 10,1 juta tidak melanjutkan ke perguruan tinggi, sedangkan 6,7 juta memilih untuk kuliah, namun yang lulus S1/S2/S3 hanya 1 juta. Makanya tidak salah juga kalau peringkat kompetisi kita belum di angka yang menggembirakan," jelasnya. 

"Juga kalau saya cek data negara-negara anggota OECD, 47%-42% (menempuh pendidikan S1. Sedangkan Indonesia kalau di survey kita di urutan terendah, hanya 17,9% (kuliah)," paparnya.

Adi mengutip data dari QS World University Ranking yang menunjukkan, UGM berada di peringkat 231 universitas terbaik dunia, dan Universitas Indonesia di peringkat 235. Sedangkan National University Singapore di peringkat 11, University Malaya di Malaysia peringkat 70, University Putra peringkat 123, dan University Chulalongkom di Thailand peringkat 224.

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Smart City UI Minta Pemerintah Ringankan Beban Pendanaan dalam Program KIP-Kuliah

kenali kemampuan
Ilustrasi berkuliah di jurusan impian/Copyright unsplash.com/javiertrueba

Studi terbaru yang dibuat oleh Smart City Universitas Indonesia dan University of Notre Dame merekomendasikan Pemerintah agar memberikan keleluasaan lebih bagi Perguruan Tinggi menggunakan penggunaan dana surplus mereka, guna mengurangi beban finansial.

"Responden mengeluhkan bahwa dengan adanya Undang-undang (No. 7/2021), surplus hanya bisa digunakan untuk membiayai investasi pada infrastruktur, jadi mereka tidak bisa menggunakan surplus dana untuk kebutuhan lain," kata Research Specialist di Universitas Indonesia, Nanda Ayu Wijayanti dalam paparan di Fairmont Jakarta, Jumat (26/7/2024).

"Kami merekomendasikan Kementerian Pendidikan dan Kementerian Keuangan untuk menyelenggarakan diskusi kelompok terfokus (FGD) guna menilai dampak dari pemberian izin kepada perguruan tinggi untuk menggunakan dana surplus dalam investasi jangka panjang atau dana abadi dan mengusulkan amandemen terhadap UU No. 7/2021," jelasnya.

Smart City UI membeberkan, finansial Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia masih memiliki ketergantungan yang cukup besar terhadap UKT (Uang Kuliah Tunggal), karena pendanaan berawal dari Satuan Kerja (Satker) pelasanaan APBN atau bergantung sepenuhnya kepada Pemerintah. "Ketika Satker berubah menjadi BLU (Badan Layanan Umum), disini terjadi pengurangan ketergantungan kepada APBN tetapi kemudian shifting dari APBN menjadi bergantung ke UKT," terang Nanda.

Selanjutnya, UI juga menyarankan Pemerintah untuk memberikan dukungan biaya untuk program KIP-Kuliah guna meringankan beban keuangan Perguruan Tinggi. 

"Karena beasiswa KIP yang tidak ditanggung seluruhnya oleh Pemerintah, mungkin mereka bisa memberikan benefit salah satunya dengan times reduction untuk perguruan tinggi yang menerima beasiswa KIP," beber Nanda.

Rekomendasi berikutnya adalah membuat program yang mendukung inklusivitas mahasiswa dan institusi, menyederhanakan perencanaan keuangan perguruan tinggi, dan berkontribusi terhadap pembangunan nasional dengan memastikan akses yang lebih luas ke pendidikan tinggi.

"Menetapkan program penguatan kapasitas dan kampanye kesadaran bagi perguruan tinggi. Program pelatihan dan kampanye dapat mendorong pola pikir kewirausahaan di antara pimpinan dan administrator perguruan tinggi Program-program tersebut harus difokuskan pada peningkatan kemampuan manajemen keuangan staf dan memungkinkan mereka untuk menavigasi lanskap keuangan yang kompleks," tambahnya.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya