Indonesia Tak Bisa Tentukan Harga CPO Global Meski Produsen Sawit Terbesar, Ini Penjelasannya

Malaysia yang memiliki bursa CPO juga tidak bisa mengendalikan harga CPO secara global karena bursa CPO hanya mempertemukan supply dan demand.

oleh Gagas Yoga Pratomo diperbarui 28 Agu 2024, 21:45 WIB
Diterbitkan 28 Agu 2024, 21:45 WIB
Sawit atau Crude Palm Oil (CPO). Foto: Freepik/9images
Sawit atau Crude Palm Oil (CPO). Foto: Freepik/9images

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia menjadi negara produsen sawit terbesar di dunia. Berdasarkan data yang Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) menunjukkan Indonesia mampu memproduksi minyak sawit hingga 45,4 juta ton per tahunnya. Indonesia menyumbang sekitar 59% jumlah minyak dunia pada 2022-2023.

Meskipun menjadi produsen sawit terbesar di dunia, mengapa Indonesia tidak bisa menetapkan harga internasional untuk Crude Palm Oil (CPO)? Terkait hal ini, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono menjelaskan ada beberapa penyebab Indonesia tidak bisa menentukan harga CPO secara global.

Pertama adalah pangsa pasar minyak sawit hanya 33 persen dari seluruh minyak nabati. Persentase ini paling besar dibandingkan minyak nabati yang lain, tetapi menurut Eddy ini belum cukup.

“Kalau pangsa pasar sawit lebih dari 50 persen baru kita bisa lead, tetapi bukan untuk menentukan harga, melainkan mempengaruhi harga,” kata Eddy dalam acara Press Tour Belitung 2024, Kontribusi Sawit untuk APBN dan Perekonomian, Selasa (27/8/2024).

Eddy mencontohkan Malaysia yang memiliki bursa CPO juga tidak bisa mengendalikan harga CPO secara global karena bursa CPO hanya mempertemukan supply dan demand. Ini tidak membuat Malaysia dapat menentukan harga secara global.

Penyebab lainnya adalah harga CPO juga dipengaruhi sentimen geopolitik. Salah satunya terjadi pada 2022 ketika perang Rusia dan Ukraina pecah yang mendorong harga CPO melambung tinggi.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Industri Sawit Sumbang Devisa USD 9,78 Miliar per Mei 2024

Potret Pekerja Perkebunan Kelapa Sawit di Aceh
Seorang pekerja sedang menebang pohon di perkebunan kelapa sawit di Sampoiniet, provinsi Aceh (7/3/2021). Kelapa sawit merupakan tanaman perkebunan yang memiliki produksi terbesar di Kabupaten Aceh. (AFP Photo/Chaideer Mahyuddin)

Kontribusi industri sawit untuk devisa negara mencapai USD 9,78 miliar hingga Mei 2024 atau setara 10,01 persen dari ekspor non migas Indonesia. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono mengungkapkan saat ini kinerja ekspor sawit cenderung menurun. 

“Sebelumnya 2021, industri sawit sempat menyumbang devisa sebesar USD 34,9 miliar dan naik menjadi USD 37,7 miliar di 2022. Kemudian, penurunan terjadi di terjadi di 2023 menjadi USD 29,54 miliar,” kata Eddy dalam acara Press Tour Belitung 2024, Kontribusi Sawit untuk APBN dan Perekonomian, Selasa (27/8/2024). 

Tak hanya itu, Eddy menyebut produksi sawit juga mengalami stagnan dalam 5 tahun terakhir yang disebabkan beberapa faktor beberapa di antaranya cuaca dan telatnya peremajaan.

“Untuk perusahaan faktornya cuaca karena untuk peremajaan mereka rutin melakukan, tetapi untuk perkebunan rakyat yang perlu peremajaan,” jelas Eddy.

 


Tantangan Lain

Tandan buah segar di pabrik pengolahan kelapa sawit (Foto: PT Austindo Nusantara Jaya Tbk/ANJT)
Tandan buah segar di pabrik pengolahan kelapa sawit (Foto: PT Austindo Nusantara Jaya Tbk/ANJT)

Kemudian tantangan lain yang dihadapi industri sawit adalah penurunan ekspor ke China. Hal ini karena adanya penurunan permintaan dari China yang menjadi salah satu importir terbesar Crude Palm Oil (CPO) dari Indonesia. 

Menurunnya permintaan ini diakibatkan China yang melirik minyak bunga matahari yang harganya lebih murah dibandingkan minyak sawit. Eddy menambahkan harga yang lebih murah membuat China banyak melakukan pembelian dan ada pengurangan import dari Indonesia. China menjadi importir CPO terbesar dari Indonesia dengan jumlah 7,7 juta ton pada tahun lalu.

“Saya sampaikan bahwa kalau seperti ini terus mencapai 5 juta ton saja cukup berat. Jadi saya minta saran dari mereka apa yang harus kita lakukan,” jelas Eddy.

Eddy menyebut, perlu ada kebijakan pemerintah, yang paling tidak dapat memainkan instrumen fiskal. Artinya pada waktu harga tidak kompetitif bisa turunkan sementara, kemudian setelah menjadi kompetitif kembali, harga bisa dinaikkan lagi. 

  

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya