Liputan6.com, Jakarta - Kekhawatiran menghantui para pengusaha dalam Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DKI Jakarta. Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen dinilai bisa meningkatkan beban operasional perusahaan.
Rencana itu dipastikan akan dijalankan oleh pemerintah mulai 1 Januari 2025, tinggal menghitung hari. Ketua PHRI DKI Jakarta, Sutrisno Iwanoto menyampaikan kenaikan PPN cukup berat menghantam pelaku industri pariwisata.
Advertisement
Baca Juga
"Soal kenaikan PPN, PPN untuk sektor pariwisata ini cukup berat, apalagi di Jakarta ini karena hotel ya, hotel itu UMP-nya 9 persen naiknya, bukan 6,5 persen ya," ucap Sutrisno saat ditemui Liputan6.com, dikutip Kamis (26/12/2024).
Advertisement
Dia menerangkan, saat ini hotel-hotel dan restoran belum sepenuhnya pulih dari pandemi Covid-19. Bahkan tingkat okupansi atau keterisian masih berkisar 50 persen dari total kapasitas.Â
Dia khawatir adanya PPN 12 persen hingga kenaikan upah pekerja menambah beban operasional perusahaan. Alhasil, ada opsi efisiensi hingga pemutusan hubungan kerja (PHK).
"Nah nanti implikasinya apa? Implikasinya adalah pasti melakukan efisiensi. Efisiensi yang utama itu adalah pasti tenaga kerja," ujar dia.
Jumlah Hotel di Jakarta
Dia menerangkan ada sekitar 900 hotel di kawasan DKI Jakarta. Ancaman PHK bisa terjadi di setiap hotel tersebut.
Hitungan kasarnya, jika ada 100 pegawai yang di PHK dari setiap hotel, maka akan berdampak besar terhadap pengurangan jumlah tenaga kerja. Padahal, kata Sutrisno, hotel biasanya menjadi industri yang padat karya, yang memerlukan banyak tenaga kerja.
"Hotel di Jakarta itu sekarang kira-kira hotel saja, hotelnya itu kira-kira 900 lebih. Kalau kemudian itu rata-rata 100 saja, segitu banyak," ucapnya.
"Terus kalau kemudian itu ada layoff kan berapa yang kehilangan tenaga kerja. Padahal kita ingin memberikan lapangan kerjaan, bukan malah terjadi pelepasan," sambung dia.
PHRI Minta Pemerintah Kerek Daya Beli
Sebelumnya, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) meminta pemerintah menstimulasi pariwisata di Indonesia. Langkah itu perlu dilakukan untuk menjaga bisnis hotel dan restoran yang disinyalir terdampak kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) jadi 12 persen.
Ketua PHRI DKI Jakarta, Sutrisno Iwantono menerangkan dampak kenaikan PPN itu bisa merembet ke berbagai hal, termasuk adanya ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK). Untuk itu, dia meminta pemerintah mengambil kebijakan yang tepat bagi pelaku usaha di sektor pariwisata.
Dia memandang, insentif dalam bentuk suku bunga yang ditawarkan tidaklah menarik. Lantaran, hotel hingga restoran membutuhkan peningkatan daya beli, bukan kredit.
"Pemerintah itu mesti hati-hati. Karena apa? Karena tadi dikasih insentif dalam bentuk suku bunga tadi sebenarnya itu tidak menarik karena memang kita tidak lagi butuh kredit," kata Sutrisno saat ditemui Liputan6.com di Jakarta, dikutip Kamis (26/12/2024).
"Yang dibutuhkan oleh sektor pariwisata, khususnya hotel dan restoran itu adalah pembeli, demand, yang dibutuhkan adalah daya beli gitu loh," ia menambahkan.Â
Â
Advertisement
Tak Manjakan Investor Asing
Pada saat yang sama, dia meminta pemerintah tidak memanjakan investor asing yang masuk ke sektor pariwisata, termasuk hotel. Menurutnya, penyerapan tenaga kerja dari investor asing itu tidak lebih banyak dari pengusaha lokal.
"Ini saya kira penting bagi pemerintah. Ini kaitan tadi ya, saya juga ingin mengatakan investasi tadi, masalah investasi. Investasi itu jangan terus asing saja yang diidolakan. Asing itu masuk ke sini dengan capital intensive. Tidak mungkin dia menciptakan lapangan kerja, karena sekarang teknologi AI," tuturnya.
Menurut dia, investor lokal bisa lebih padat karya dan menyerap tenaga kerja lebih banyak. Dia berharap pemerintah tidak mempersulit upaya pengusaha lokal menanamkan investasi.
"Jangan orientasinya kepada asing dulu, dalam negeri harus. Itu cincin syaratnya, kemudahan untuk berinvestasi itu yang harus dilakukan. Pajak, kemudian regulasi, infrastruktur, kepastian hukum, dan biaya yang berasal dari tenaga kerja yang wajar. Itu saja sebenarnya yang diinginkan," pungkasnya.
Â
Biaya Operasional Hotel Diprediksi Naik
Sebelumnya, Pemerintah sepakat menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 Persen mulai 1 Januari 2025. Kenaikan PPN ini bisa meningkatkan biaya operasional sektor pariwisata, termasik hotel.
Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menghitung kenaikan PPN bisa mengerek beban perusahaan hotel dan pariwisata lebih tinggi. Pasalnya, kenaikan terjadi di setiap bahan yang dibutuhkan.
"Kenaikan ini memicu juga untuk cost dari perhotelan juga meningkat mengingat banyak fasilitas perhotelan yang kena PPN mulai dari sabun mandi hingga jasa laundry," ujar Huda kepada Liputan6.com, Kamis (26/12/2024).
Dengan demikian, harga sewa hotel menjadi semakin mahal. Tingginya harga sewa hotel dikhawatirkan akan berpengaruh pada permintaan masyarakat.
Huda melihat, dampak kenaikan PPN jadi 12 persen ini merembet ke berbagai aspek pariwisata. Tak cuma hotel, tapi juga hingga jasa perjalanan dan tiket pesawat.
"Tentu memicu harga hotel semakin mahal, permintaan agregat akan turun. Maka dari itu, kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen ini menimbulkan multiplied effect yang negatif terhadap sektor pariwisata," tuturnya.
Huda juga menghitung, kenaikan biaya operasional perusahaan hotel dan sejenisnya bisa meningkat minimal 15 persen. Padahal, PPN hanya naik 1 persen dari 11 persen ke 12 persen.
"Biaya operasional bisa meningkat minimal 15 persen mengingat perhotelan yang mempunyai cost terkait PPN cukup banyak," ujarnya.
Â
Â
Advertisement
Daya Beli Masyarakat Turun
Huda menuturkan, kenaikan PPN yang berdampak ke banyak aspek itu membuat perekonomian Indonesia melambat.Â
"Yang membuat perekonomian bisa melambat dan menyebabkan PHK adalah kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen," ucapnya.Â
Kenaikan harga secara masif membuat masyarakat lebih memilih dalam melakukan belanja. Dengan begitu, daya beli masyarakat disebut akan menurun.
"Kenaikan tersebut menggerus daya beli masyarakat sehingga permintaan agregat bisa turun, termasuk yang berhubungan dengan pariwisata, mulai dari pemesanan tiket pesawat dan hotel," pungkas Nailul Huda.