Menteri Keuangan Chatib Basri menegaskan usulan skema subsidi tetap hanya akan berlaku pada bahan bakar minyak (BBM) bukan untuk listrik. Namun wacana kebijakan subsidi dalam level tertentu ini pun tidak akan direalisasikan pada tahun ini mengingat inflasi masih cukup tinggi.
"Subsidi tetap tidak akan berlaku untuk listrik, hanya BBM saja. Tapi itu pun belum bisa dilakukan karena saya harus melihat dampak harga dan inflasi yang masih tinggi," tegas dia usai acara Halal Bihalal di kantornya, Jakarta, Senin (12/8/2013).
Chatib mengklaim usul subsidi tetap BBM tak hanya didukung Kementerian Keuangan (Kemenkeu) namun juga sejumlah pihak terkait. Alasannya, subsidi tetap pada BBM nantinya memiliki patokan besaran subsidi yang tidak akan berubah meski harga minyak dunia maupun nilai mata uang rupiah bergejolak.
"Semua memang suka dengan subsidi tetap. Tapi kami harus melihat dampaknya dulu terhadap daya beli masyarakat dan lainnya. Kebijakan ini bagus tapi kami mesti lihat waktu yang tepat," tukasnya.
Terkait realisasi subsidi tetap untuk BBM, menurut dia, belum bisa dilakukan karena ada dampak inflasi akibat kenaikan harga BBM pada 22 Juni lalu. Sehingga imbasnya menganggu stabilitas harga.
"Inflasi di Juli masih akan memuncak dan masalah ini menjadi prioritas jangka pendek yang harus diselesaikan. Tapi saya perkirakan inflasi Agustus sudah mulai lebih rendah dari Juli, lalu September akan kembali normal," tandas Chatib.
Dengan begitu, dia memproyeksikan Indonesia akan mengecap deflasi pada bulan September atau Oktober dengan dorongan dari ketersediaan pasokan bahan pangan yang cukup, baik impor maupun dari dalam negeri.
Seperti diberitakan sebelumnya, Direktur Utama PT PLN (Persero) Nur Pamudji mengatakan mekanisme subsidi tetap semisal pada listrik merupakan cara efektif agar menahan laju anggaran subsidi semakin membengkak akibat pengaruh harga bahan baku di pasar dunia.
"Bagi masyarakat pun tidak akan terasa, karena naik turunnya tarif listrik cuma sedikit contohnya Rp 50 atau Rp 25 per kwh. Masyarakat melihatnya sama seperti fluktuasi harga beras, jadi tidak membingungkan," ucapnya.
Dia mengakui, subsidi tetap listrik pernah diterapkan pemerintah pada masa sebelum krisis moneter (krismon). Sehingga masyarakat Indonesia sudah terbiasa dengan fluktuasi tarif listrik yang naik turun setiap saat.
"Ini pernah dilakukan pada tahun 1994 sampai 1997 sebelum krismon. Jadi turun naik tarif listrik berlaku per tiga bulan sekali. Dan tidak ada masalah buat masyarakat," klaim Nur. (Fik/Shd)
"Subsidi tetap tidak akan berlaku untuk listrik, hanya BBM saja. Tapi itu pun belum bisa dilakukan karena saya harus melihat dampak harga dan inflasi yang masih tinggi," tegas dia usai acara Halal Bihalal di kantornya, Jakarta, Senin (12/8/2013).
Chatib mengklaim usul subsidi tetap BBM tak hanya didukung Kementerian Keuangan (Kemenkeu) namun juga sejumlah pihak terkait. Alasannya, subsidi tetap pada BBM nantinya memiliki patokan besaran subsidi yang tidak akan berubah meski harga minyak dunia maupun nilai mata uang rupiah bergejolak.
"Semua memang suka dengan subsidi tetap. Tapi kami harus melihat dampaknya dulu terhadap daya beli masyarakat dan lainnya. Kebijakan ini bagus tapi kami mesti lihat waktu yang tepat," tukasnya.
Terkait realisasi subsidi tetap untuk BBM, menurut dia, belum bisa dilakukan karena ada dampak inflasi akibat kenaikan harga BBM pada 22 Juni lalu. Sehingga imbasnya menganggu stabilitas harga.
"Inflasi di Juli masih akan memuncak dan masalah ini menjadi prioritas jangka pendek yang harus diselesaikan. Tapi saya perkirakan inflasi Agustus sudah mulai lebih rendah dari Juli, lalu September akan kembali normal," tandas Chatib.
Dengan begitu, dia memproyeksikan Indonesia akan mengecap deflasi pada bulan September atau Oktober dengan dorongan dari ketersediaan pasokan bahan pangan yang cukup, baik impor maupun dari dalam negeri.
Seperti diberitakan sebelumnya, Direktur Utama PT PLN (Persero) Nur Pamudji mengatakan mekanisme subsidi tetap semisal pada listrik merupakan cara efektif agar menahan laju anggaran subsidi semakin membengkak akibat pengaruh harga bahan baku di pasar dunia.
"Bagi masyarakat pun tidak akan terasa, karena naik turunnya tarif listrik cuma sedikit contohnya Rp 50 atau Rp 25 per kwh. Masyarakat melihatnya sama seperti fluktuasi harga beras, jadi tidak membingungkan," ucapnya.
Dia mengakui, subsidi tetap listrik pernah diterapkan pemerintah pada masa sebelum krisis moneter (krismon). Sehingga masyarakat Indonesia sudah terbiasa dengan fluktuasi tarif listrik yang naik turun setiap saat.
"Ini pernah dilakukan pada tahun 1994 sampai 1997 sebelum krismon. Jadi turun naik tarif listrik berlaku per tiga bulan sekali. Dan tidak ada masalah buat masyarakat," klaim Nur. (Fik/Shd)