Rajin Ekspor Bahan Mentah, RI Bisa Jadi Negara Gagal

Indonesia harus menjadi negara industri yang memperoleh nilai tambah dari setiap kegiatan ekspor mineral dan batu bara.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 25 Nov 2013, 10:02 WIB
Diterbitkan 25 Nov 2013, 10:02 WIB
pertambangan-mangan-131110-b.jpg

Meski mendapat tentangan dari sejumlah pihak, pemerintah Indonesia akan terus melaju dengan kebijakan pelarangan ekspor bahan mineral mentah dan kewajiban membangun pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter)  mineral mulai tahun depan. Sebab Indonesia harus menjadi negara industri yang memperoleh nilai tambah dari setiap kegiatan ekspor minerba.

"Walaupun kontroversial, hilirisasi merupakan ide masa depan. Kalau cuma ekspor nikel atau bahan mentah, kita cuma jadi negara tambang. Padahal kita ingin jadi negara industri berbasis pertambangan, pertanian dan lainnya," terang Wakil Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro di Subang, seperti ditulis Senin (25/11/2013).

Dia menceritakan kebijakan ini sempat mendapat serangan argumen dari dunia internasional. Beberapa pihak, termasuk investor mempertanyakan langkah Indonesia masuk dalam ranah bisnis yang belum dipahami.

"Ternyata dengan kebijakan ini, mereka khawatir ada pabrik-pabrik (pengolahan) yang tutup dan ini sangat berat bagi Jepang dan China. Bisa terjadi lay off atau pengangguran besar," tutur dia.

Hilirisasi, tambah Bambang, akan memacu perusahaan-perusahaan di Indonesia untuk melakukan inovasi tinggi supaya menciptakan produk bernilai tambah yang akan menguntungkan bangsa ini.

"Kalau ekspor bahan mentah terus, kita hanya akan menjadi negara gagal. Sukses jalankan inovasi produk bernilai tambah akan berdampak luar biasa bagi Indonesia, makanya kita ingin ambil Inalum salah satunya karena kita tidak punya industri aluminium sama sekali," paparnya.

Ekspor bahan mentah, diakuinya, hanya bisa menyelamatkan neraca perdagangan dalam jangka pendek. Namun ketika harga komoditas anjlok seperti tahun lalu, Indonesia terkena dampak karena penerimaan pajak mengalami penurunan.

"Makanya dari pada kita kasih nikel ke China yang kemudian diolah lagi sama negara itu lebih baik kita olah sendiri menjadi feronikel dan mengekspornya karena nilainya bisa 10 kali lipat. China pasti mau beli juga (feronikel produksi Indonesia)," lanjut dia.

Indonesia, kata Bambang, harus mengejar produksi barang-barang turunan yang memberi nilai tambah. Contohnya, minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang bisa diolah menjadi biofuel dan produk turunannya seperti minyak goreng atau barang konsumsi lainnya.

Bauksit yang dapat diproses kembali menjadi alumina, lalu aluminium dan akhirnya bisa menjadi metal untuk industri dasar. Atau jangan lagi ekspor kakao, dan mulai memproduksi produk coklat yang nilainya berkali-kali lipat dari bahan mentah. (Fik/Ndw)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya