Sekitar pukul 15.00 sore menjadi detik-detik bersejarah bagi Indonesia. Usai 30 tahun berada dalam genggaman Jepang, PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) yang berlokasi di Sumatera Utara resmi menjadi milik Indonesia.
Kesepakatan tersebut dituangkan dalam penandatanganan Termination Agreement yang dilakukan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa dan Menteri Keuangan M Chatib Basri dengan Chairman PT Nippon Asahan Aluminium (NAA) Yoshimiko Okimoto di Gedung Kemenperin, Senin (9/12/2013).
Turut hadir dalam penandatanganan kesepakatan ini Menteri Perindustrian (Menperin) MS Hidayat, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Mahendra Siregar dan Duta Besar Jepang untuk Indonesia Yoshinori Katori.
Nippon Asahan Aluminium (NAA), perusahaan patungan asal Jepang sebelumnya memang menjadi pemegang saham mayoritas Inalum selama hampir 30 tahun.
Berdasarkan perjanjian Indonesia dan Jepang pada 7 Juli 1975, kepemilikan NAA atas Inalum mencapai 58,87% sementara jatah Indonesia hanya 41,13%. Adapun nilai investasi pembangunan Inalum mencapai US$ 2 miliar.
Selama berdiri, produksi Inalum sebagian besar dipasok untuk memenuhi kebutuhan industri Jepang sesuai kesepakatan dalam kepemilikan. Tak ada peluang bagi industri nasional.
Hingga akhirnya, Indonesia berkesempatan memiliki Inalum setelah kontrak kerja sama pengelolaan perusahaan ini berakhir pada 31 Oktober 2013.
Namun dalam prosesnya, pengambilalihan Inalum melalui jalan berliku. Salah satunya karena Jepang tak menyepakati nilai buku tawaran akuisisi Inalum dari Indonesia. Jalan arbitrase pun sempat dipikirkan Indonesia untuk bisa mengembalikan Inalum ke Bumi Pertiwi.
Akhirnya sebagai jalan keluar muncul angka US$ 556,7 juta tanda pembayaran Indonesia buat Inalum kepada Jepang. Angka ini pun disepakati negara yang pernah menjajah Indonesia tersebut. (Dny/Nrm)
Kesepakatan tersebut dituangkan dalam penandatanganan Termination Agreement yang dilakukan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa dan Menteri Keuangan M Chatib Basri dengan Chairman PT Nippon Asahan Aluminium (NAA) Yoshimiko Okimoto di Gedung Kemenperin, Senin (9/12/2013).
Turut hadir dalam penandatanganan kesepakatan ini Menteri Perindustrian (Menperin) MS Hidayat, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Mahendra Siregar dan Duta Besar Jepang untuk Indonesia Yoshinori Katori.
Nippon Asahan Aluminium (NAA), perusahaan patungan asal Jepang sebelumnya memang menjadi pemegang saham mayoritas Inalum selama hampir 30 tahun.
Berdasarkan perjanjian Indonesia dan Jepang pada 7 Juli 1975, kepemilikan NAA atas Inalum mencapai 58,87% sementara jatah Indonesia hanya 41,13%. Adapun nilai investasi pembangunan Inalum mencapai US$ 2 miliar.
Selama berdiri, produksi Inalum sebagian besar dipasok untuk memenuhi kebutuhan industri Jepang sesuai kesepakatan dalam kepemilikan. Tak ada peluang bagi industri nasional.
Hingga akhirnya, Indonesia berkesempatan memiliki Inalum setelah kontrak kerja sama pengelolaan perusahaan ini berakhir pada 31 Oktober 2013.
Namun dalam prosesnya, pengambilalihan Inalum melalui jalan berliku. Salah satunya karena Jepang tak menyepakati nilai buku tawaran akuisisi Inalum dari Indonesia. Jalan arbitrase pun sempat dipikirkan Indonesia untuk bisa mengembalikan Inalum ke Bumi Pertiwi.
Akhirnya sebagai jalan keluar muncul angka US$ 556,7 juta tanda pembayaran Indonesia buat Inalum kepada Jepang. Angka ini pun disepakati negara yang pernah menjajah Indonesia tersebut. (Dny/Nrm)