Liputan6.com, Jakarta - Eks wasit Indonesia, Nasiruddin divonis Biro Investigasi dan Praktik Korupsi (CPIB) Singapura pada Selasa (21/7/2015) dengan tuduhan praktik pengaturan skor di ajang SEA Games 2015 Singapura.
Nasiruddin menyuap direktur teknik timnas sepakbola Timor Leste, Orlando Marques Henriques Mendes, agar timnya kalah dari Malaysia. Mendes disuap dengan uang sebesar 11 ribu US$, atau setara dengan Rp 147 juta. Tuduhan tersebut membuat Nasiruddin mendekam di penjara selama 30 bulan.
Ini bukanlah kali pertama Nasiruddin terjerat virus mafia match fixing. Sebelumnya, di ajang SEA Games 1997 Jakarta, dia bersama 10 wasit lainnya juga mengatur skor pertandingan. Kasus SEA Games 1997 juga menyeret Djafar Umar yang saat itu menjabat sebagai Ketua Komite Wasit PSSI.
Semua yang terlibat dalam kasus match fixing 1997 mendapat hukuman berupa larangan aktif di dunia sepak bola selama 20 hingga 25 tahun.
Tertangkapnya Nasiruddin jelas mencoreng nama baik wasit Indonesia. Mungkinkah gaji wasit di Indonesia sangat kecil yang bisa memicu para pengadil lapangan di Tanah Air melakukan aksi suap-menyuap?
Sepertinya tidak, sebab gaji wasit di Indonesia sangat mencukupi. Salah satu anggota Komite Wasit PSSI, Jimmy Napitupulu menjelaskan, gaji yang memimpin pertandingan Liga Super Indonesia (ISL) sebesar Rp 5 juta, hakim garis Rp 3 juta dan asisten wasit sebesar Rp 1,5 juta.
Sedangkan wasit yang memimpin pertandingan di Divisi Utama mendapat bayaran Rp 3 juta, hakim garis Rp 2,5 juta dan asisten wasit sebesar Rp 1 juta. Itu merupakan upah wasit setiap memimpin satu pertandingan.
Bersambung ke halaman selanjutnya --->
Next
Namun, wasit Indonesia bisa saja tergoda match fixing karena cara pembayaran upahnya tidak diulur-ulur. Jimmy Napitupulu mengatakan, PT Liga Indonesia selaku operator kompetisi sepak bola harus secepat mungkin membayar upah wasit.
"Bagi saya yang merupakan mantan wasit ISL, bayaran sebesar Rp 5 juta itu cukup besar. Mereka tidak akan tergoda dengan itu (virus match fixing) jika saja upah kerjanya dibayar setelah pertandingan. Biasanya, upah wasit itu dibayarkan satu atau dua bulan kemudian," imbuh Jimmy kepada Liputan6.com, Selasa (21/7/2015).
"Pembayaran upah secara langsung sangat penting. Karena, seorang wasit yang memimpin pertandingan itu butuh uang untuk ongkos jalan. Misalnya, saya memimpin pertandingan di Pekanbaru, saya harus mengeluarkan uang untuk bayar taksi ke bandara," Jimmy menambahkan.
"PT Liga tidak memberikan uang jalan ke bandara. Mereka hanya menyediakan tiket pesawat saja. Kalau penginapan (hotel)Â ditanggung oleh tim tamu," dia menjelaskan.
Lebih jauh, Jimmy menceritakan, nasib paling miris dialami wasit yang memimpin pertandingan di ajang Divisi Utama. Biasanya, wasit Divisi Utama kurang dihargai.
"Yang kasihan itu wasit Divisi Utama, terlebih lagi wasit cadangan (asisten wasit). Mereka hanya dibayar Rp 1 juta, tapi upahnya saja baru diberikan satu atau dua bulan kemudian," jelas pria berusia 48 tahun tersebut.
"Seorang wasit cadangan Divisi Utama biasanya pulang dengan rasa lelah tanpa membawa uang sepeser pun untuk anak dan istrinya. Kasihan sekali nasibnya," dia menambahkan.
Jamuan dari tim tuan rumah untuk wasit Divisi Utama biasanya kurang memuaskan. Jimmy menceritakan, wasit Divisi Utama bisa menginap di rumah penduduk bukan di hotel karena finansial kekuangan tim tamu buruk.
"Sudah tinggal di rumah penduduk, wasit Divisi Utama biasanya diberi makan nasi kotak saja. Tim tamu Divisi Utama itu kesulitan keuangan, mereka (tim tamu) saja bisa menunggak gaji pemain hingga enam bulan," Jimmy mengakhiri. (Cak/Tho)
Baca juga:
Bukan Pertama Kali Nasiruddin Atur Skor SEA Games
2 Pebalap Superbike Tewas Mengenaskan di Laguna Seca
Advertisement