KOLOM: Arsenal Butuh Lebih Banyak Alexis

Arsenal dan Alexis sedang tidak harmonis, haruskah The Gunners jual bintang asal Cile ini?

oleh Liputan6 diperbarui 10 Mar 2017, 08:00 WIB
Diterbitkan 10 Mar 2017, 08:00 WIB
 Kolom Bola Asep Ginanjar
Kolom Bola Asep Ginanjar (Liputan6.com/Abdillah)

Liputan6.com, Jakarta Dalam hidup, selalu ada hal yang sepertinya menjadi takdir dan berulang kali terjadi. Bagi Arsenal, itu adalah finis di 4 besar Premier League dan tersingkir di babak 16 besar Liga Champions. Sampai-sampai ada anekdot, hanya ada tiga hal yang pasti di dunia ini, yakni kematian, pajak, dan Arsenal finis di 4 besar. Usai kekalahan 1-5 dari Bayern Muenchen di kandang lawan, poin terakhir jadi berbunyi: Arsenal tersingkir di babak 16-besar Liga Champions.

Untuk ketujuh kalinya secara beruntun, The Gunners tak mampu lolos ke perempat final Liga Champions. Kekalahan 1-5 di Stadion Emirates, Rabu (8/3/2016) dinihari memastikan hal itu. Hal yang menyesakkan, agregat 2-10 adalah kekalahan terbesar bagi klub Inggris di ajang antarklub terelite di Eropa tersebut. Tak heran bila banyak fans The Gunners tak bisa menahan kekecewaan. Sebagian bangku di Stadion Emirates sudah kosong sebelum wasit Anastasios Sidiropiulos dari Yunani meniup peluit akhir laga.

Setelah pertandingan, reaksi publik pun begitu keras. Para pengamat dengan tegas mengatakan, Arsenal benar-benar buruk dan Bayern berada di level yang berbeda. Sementara itu, sebagian fans mengeluhkan manajer Arsene Wenger yang seolah kehabisan ide dan para pemain yang terlihat berlarian tanpa jiwa.

Gelandang Arsenal, Alex Oxlade-Chamberlain tertunduk lesu usai pertandingan melawan Bayern Muenchen pada leg kedua 16 besar Liga Champions di Stadion Emirates, Inggris (8/3). Arsenal kalah dari Bayern 5-1. (AP Photo / Frank Augstein)

Sebagian fans lain justru berdiri bersama Wenger, menuding wasit sebagai faktor yang membuat mereka kalah telak di Emirates. Mereka ramai-ramai menunjuk kartu merah Laurent Koscielny sebagai hal yang berlebihan. Mereka berdalih, pelanggaran Koscielny tidaklah keras. Lagi pula, International Football Association Board (IFAB) pada Mei 2016 resmi meniadakan "triple punishment". Pemain yang melakukan pelanggaran di kotak penalti tak serta-merta mendapatkan kartu merah, terkena skors, dan timnya dihukum penalti. Dalam insiden di Emirates, Sidiropoulos pun secara spontan mengeluarkan kartu kuning dari sakunya. Namun, atas informasi dari salah satu asistennya, dia lantas mencabut kartu merah.

Mereka yang mengkritik Sidiropoulos itu rupanya lupa. Meski meniadakan "triple punishment", IFAB menegaskan bahwa pemain yang melakukan pelanggaran di dalam kotak penalti tanpa bermaksud merebut bola, tetap harus diusir dari lapangan. Itulah yang dilakukan Koscielny kepada Robert Lewandowski. Dia sengaja mendorong striker asal Polandia itu dari belakang tanpa bermaksud merebut bola. Bahkan, dari posisinya, bek asal Prancis tersebut tak berpeluang merebut bola dari kaki Lewandowski.

Berbagai dalih itu hanyalah upaya untuk menenteramkan hati. Ketika mendapatkan kekecewaan, sudah kebiasaan kita untuk mencari penawar, alasan-alasan yang menjadi penghiburan. Tak jarang, pada akhirnya, sang penawar adalah kambing hitam.

Hector Bellerin dan Shkodran Mustafi terlihat kecewa setelah pemain Bayern Muenchen mencetok gol ke tiga pada leg kedua 16 besar Liga Champions di Stadion Emirates, Inggris (8/3). Arsenal kalah dari Bayern 5-1. (AFP PHOTO / IKIMAGES / Ian Kington)

Sejatinya kekalahan di babak 16 besar bukanlah hal yang mengejutkan. Seperti kata para pengamat bola di Eropa sana, Arsenal simply not good enough and Bayern are on a different level. Buktinya, dalam dua pertemuan, sebenarnya Bayern tidaklah tampil sempurna. Sepanjang babak pertama, gir mereka seperti kemasukan pasir. Namun, tetap saja Arsenal tak mampu melawan. Ketika Koscielny harus keluar dari lapangan dan lawan mencetak gol, mereka perlahan roboh dan sirna seperti istana pasir yang tersapu ombak.

Jelang laga leg II di Emirates, aroma kekalahan sudah jelas tercium. Faktornya, mereka datang tanpa harmoni. Disharmoni terjadi karena ulah Alexis Sanchez. Sebelum laga melawan Liverpool di Premier League pada akhir pekan lalu, Alexis dikabarkan meninggalkan sesi latihan. Ini membuat para penggawa Arsenal lain tersinggung. Wenger pun demikian. Sebagai hukuman, Alexis tak dipasang sebagai starter di Anfield.

Manajer Arsenal Arsene Wenger mendampingi timnya saat menghadapi Manchester United di Old Trafford, Manchester, Sabtu (19/11/2016). (AFP/Paul Ellis)

Bagi Arsenal, disharmoni yang ditimbulkan Alexis adalah ancaman besar. Arsenal selalu mengedepankan harmoni di antara seluruh elemen, terutama para pemain. Sesuai moto Victoria Concordia Crescit, harmoni adalah syarat mutlak untuk meraih kemenangan. Harmoni itu pula yang membuat The Gunners juara tanpa terkalahkan pada musim 2003-04.

"Ketika mencetak gol, kami merayakannya dengan meneriakkan kata 'together' secara berulang-ulang kepada satu sama lain," kenang Robert Pires, bintang Arsenal di era 1990-an.. "Kami tahu bahwa kami tetap bersatu dan bersama, apa pun yang terjadi."

Bentuk Protes

Arsenal-Bayern-Muenchen-Liga-Champions
Ekspresi Alexis Sanchez saat ditarik keluar oleh pelatih Arsene Wenger saat bertanding melawan Bayern Muenchen pada leg kedua 16 besar Liga Champions di Stadion Emirates, Inggris (8/3). Arsenal kalah dari Bayern 5-1. (AFP PHOTO / IKIMAGES / Ian Kington)

Alexis sepertinya memang tak lagi nyaman berada di Emirates. Berkali-kali, dia menunjukkan kekesalan luar biasa ketika para penggawa Arsenal lain tak memberikan bola saat dia berada di posisi yang lebih baik. Kala Arsenal ditahan 3-3 oleh Bournemouth, eks penggawa Udinese tersebut dengan emosional membanting kaus tangannya. Dia pun sempat terekam kamera tengah tersenyum di bangku cadangan saat The Gunners tertinggal dari Liverpool. Saat Bayern mencetak gol kelima, Rabu lalu, gestur yang hampir sama juga terekam kamera. Namun, kali ini, sepertinya Alexis tersadar. Dia lantas menutup mulutnya.

Tingkah Alexis yang menimbulkan disharmoni tidak pantas dibela. Itu kesalahan besar yang tak boleh dilakukan siapa pun, sehebat dan sebintang apa pun dia. Ulahnya patutlah dikecam. Namun, bukankah disharmoni juga sudah tercipta di antara manajemen klub, manajer, dan para fans jauh sebelum Alexis berulah, bahkan sebelum pemain Cile itu mendarat di Emirates? Disharmoni antara klub dan fans malah begitu terlihat nyata.

Alexis Sanchez (AFP/Ian Kington)

Sangat mudah menuding Alexis sok bintang. Namun, bila dipahami dari sudut pandang lain, ulahnya tak lebih dari  bentuk protes. Seperti dituturkan Radamel Falcao, penyerang Kolombia yang sempat bermain bersama Alexis di River Plate, Alexis selalu menjadi anak-anak dan pesepak bola jalanan saat di lapangan. Dia bukan sosok yang angkuh, memandang diri paling hebat. Hal yang paling penting baginya adalah bermain dan menang.

Sangat pantas Alexis melancarkan protes karena The Gunners tak menunjukkan tekad nyata untuk juara. Padahal, Alexis hengkang dari Barcelona demi membawa The Gunners merebut piala. Dia menunjukkan hal itu dengan totalitas di lapangan. Tengoklah ke skuat Arsenal saat ini. Siapakah pemain yang paling bersemangat dan seolah tak henti berlari saat di lapangan? Siapa pula pemain paling subur sekaligus pembuat assist terbanyak? Dialah Alexis. Sejak tiba, Alexis adalah penggawa terbaik The Gunners.

Tentu bisa dipahami ketika Alexis kesal dan kecewa saat merasa para pemain lain tak memiliki orientasi yang sama. Sangat wajar pula bila dia uring-uringan kala merasa para pemain lain seperti tak total di lapangan. Dia seolah dikhianati oleh rekan-rekan setimnya. Jiwa pemenangnya berontak ketika menyadari dirinya berada di tengah para pemain yang seperti justru tak punya motivasi untuk menang.

Para pemain Barcelona merayakan kemenangan usai pertandingan melawan PSG pada leg kedua babak 16 besar Liga Champions di stadion Camp Nou, Spanyol (9/3). Barcelona menang 6-1 (agregat 6-5). (AP Photo/Emilio Morenatti)

Rabu lalu di Emirates, mereka langsung ambruk begitu Bayern mencetak gol. Beda halnya dengan Barcelona sehari kemudian. Saat Edinson Cavani membuat gol balasan bagi Paris Saint-Germain dan menjadikan skor 1-3 pada menit ke-62, mereka tak surut. Keharusan menambah tiga gol untuk lolos justru membuat Lionel Messi cs. terlecut. Hasilnya, tiga gol berhasil dibuat dan El Barca lolos dengan keunggulan agregat 6-5. Ini menunjukkan, andai ada kemauan dan tekad kuat, hal mustahil pun bisa diwujudkan. Tekad dan kemauan kuat itulah yang tak lagi dimiliki Arsenal.

Bisa jadi Alexis frustrasi karena merasa telah keliru menjatuhkan pilihan. Saat meninggalkan Barcelona, dia sebetulnya juga dibidik Liverpool. Pada akhirnya, dia memilih Arsenal karena dinilai memiliki banyak pemain muda dengan hasrat tinggi meraih sesuatu. Namun, kenyataannya, dia justru dikelilingi para pemain yang cukup puas bila Arsenal finis di 4 besar Premier League dan lolos dari fase grup Liga Champions. Inilah yang sangat mungkin membuat Alexis kecewa. Bukankah kekecewaan hadir ketika harapan tak sesuai kenyataan, saat das Sollen tak selaras dengan das Sein?

Langkah Mundur

Pencetak Gol Terbanyak Liga Inggris 2016-2017 hingga Pekan ke-20
Penyerang Arsenal, Alexis Sanchez, merayakan gol yang dicetaknya ke gawang West Ham pada laga Liga Inggris di Stadion London, Inggris, Sabtu (3/12/2016). (AFP/Justin Tallis)

Terlepas dari kondisi saat ini, akan jadi blunder besar bila Arsenal melepas Alexis pada akhir musim hanya karena friksi yang terjadi saat ini. Apalagi jika itu disertai penjualan Mesut Ozil. Ulah miring Alexis bukanlah hal yang tak bisa dimaafkan. Disharmoni yang dia ciptakan pun bukan tak bisa diperbaiki. Wenger tentu tahu betul, menempatkan di daftar jual bukanlah satu-satunya opsi untuk "menghukum" Alexis. Sebaliknya, dari karakternya, Alexis justru sosok yang perlu dipertahankan Arsenal. Kalau bisa, Wenger bahkan perlu mengkloning Nino Maravilla (bocah fenomenal) dari Cile ini.

Harmoni memang hal utama bagi Arsenal. Ikatan kuat sebagai sahabat memang dibutuhkan semua tim. Tapi, Arsenal saat ini bukan hanya butuh sebelas sahabat, melainkan sebelas petarung. The Gunners butuh sebelas prajurit yang siap mati di lapangan demi merebut kemenangan dan menaklukkan lawan. Karakter itulah yang ditunjukkan Alexis. Banyak pemain mengaku benci kekalahan. Alexis tak hanya mengatakannya. Di lapangan, dia menunjukkan hal itu. Dia bermain untuk menang, tidak kalah dari lawan.

Pemain Arsenal, Alexis Sanchez menjadi bintang lapangan pada laga ini dengan mencetak dua gol ke gawang Hull City pada lanjutan Premier League di Emirates Stadium, London, (11/2/2017). Arsenal menang 2-0.  (AP/Matt Dunham)

Berada di tim yang tanpa figur pemimpin, Alexis dengan karakternya bisa mengambil alih komando. Saat ini, para penggawa The Gunners bukan hanya perlu ditegur, tapi harus dilecut dan ditendang dari belakang. Sialnya, mungkin karena sudah tua, Wenger seperti tak mau melakukan hal itu. Dia terlalu lunak kepada para pemainnya. Kekalahan sebesar apa pun dan permainan seburuk apa pun tak lantas membuat dia murka hingga menendang sesuatu di ruang ganti, hal yang biasa dilakukan Sir Alex Ferguson, bahkan dilakukan juga oleh Carlo Ancelotti yang dikenal kalem.

Sebuah tim bukan hanya butuh pemain-pemain ber-skill mumpuni. Untuk jadi pemenang, diperlukan pula sosok yang mau dan mampu memperingatkan rekan-rekannya. Di San Paolo, bersamaan dengan saat Arsenal dibantai Bayern, saat jeda pertandingan, Cristiano Ronaldo mengkritik para pemain Real Madrid, terutama Marcelo, karena dinilai tak melakukan pressing saat Napoli menyerang. Hasilnya, Madrid bangkit dan menang 3-1. Respons seperti inilah yang sepatutnya ditunjukkan Arsenal terhadap sikap Alexis.

Mendepak Alexis, jika itu dilakukan Arsenal, akan berdampak besar. Saat ini, Alexis adalah bintang utama. Bukan hanya peluru paling tajam, Alexis juga pengumpan genius, dan patriot hebat. Tapi, hal yang paling besar, The Gunners akan kehilangan jiwa pemenang. Itu akan jadi langkah mundur yang membawa Arsenal kembali memasuki masa kegelapan. Masa-masa sonder prestasi dan nirtrofi.

Sebaliknya, akan mudah bagi Alexis menemukan rumah baru. Seperti kata Marcelo Bielsa yang sempat menangani timnas Cile, Alexis adalah sosok pemain yang akan cocok bagi klub dan tim mana pun. "Dia bisa bermain di kanan, kiri, dan tengah. Dia mampu menggiring bola dan mencetak banyak gol. Dia bisa bermain untuk tim mana pun, di liga mana pun, karena kondisinya yang tak biasa, hampir unik. Dia juga orang yang menyenangkan," tutur Bielsa.

Selebrasi Alexis Sanchez usai mencetak gol untuk membantu Barcelona menggulung Villarreal 5-0 di Nou Camp, Barcelona, 29 Agustus 2011. AFP PHOTO/JOSEP LAGO

Di rumah barunya nanti, peluang Alexis merebut banyak trofi justru lebih terbuka lebar. Pasalnya, sangat mungkin dia berlabuh di klub yang punya tradisi dan etos lebih kuat dari Arsenal. Saat ini saja, sederet klub besar sudah mulai meliriknya. Bukankah trofi juara akan lebih mungkin diraih Alexis bersama Juventus, PSG atau Bayern?

Arsenal dan Wenger tak boleh gegabah, kecuali mereka mau melakukan revolusi besar pada musim depan dan merombak total skuat yang ada saat ini. Andai hanya melanjutkan evolusi, mempertahankan Alexis adalah sebaik-baiknya opsi.

*Penulis adalah komentator dan pengamat sepak bola. Tanggapi kolom ini @seppginz.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya