Liputan6.com, Jakarta - Sebuah tanda bisa datang kapan saja, termasuk di sebuah pertandingan sepak bola. Seperti di Levi's Stadium dalam final Piala Emas, Kamis (26/7/2017) lalu. Baru 19 menit berjalan, kiper Jamaika, Andre Blake, cedera. Tangannya harus mendapatkan beberap jahitan. Man of The Match semifinal saat The Reggae Boyz mengandaskan Meksiko itu pun akhirnya harus digantikan sang cadangan, Dwayne Miller. Ah, sebuah tanda.
Itu memang tanda-tanda kekalahan sang tim kejutan. Kehilangan pemain terbaik di posisi yang biasanya relatif aman dari cedera sungguhlah berat adanya. Dan Jamaika pun akhirnya memang kalah. Dua kali gawang Miller dijebol penggawa Amerika Serikat, sementara sekali saja gol balasan mampu dibuat.
Baca Juga
Cedera Blake adalah isyarat nyata. Tak perlu heran bila ada orang yang berkata, hasil laga bisa saja berbeda andai Blake tak cedera. Anggapan itu tak bisa disanggah karena faktanya, Blake-lah yang dinobatkan sebagai kiper terbaik di turnamen itu. Bukankah sebelum dipaksa keluar saja, dia sempat membuat penyelamatan ganda dari serbuan Jozy Altidore dan Kellyn Acosta?
Kehilangan Blake tak ubahnya akhir dunia bagi Jamaika. Di mata pelatih Theodore Whitmore, dia adalah sosok istimewa. "Andre adalah sosok yang mendatangkan keyakinan di dalam tim. Ketika dia ada di belakang sana, kami lebih tenang karena kami tahu, ketika kami berada dalam risiko, ada yang akan menyelamatkan," ungkap sang pelatih.
Di sepak bola, sering kali orang berkata bahwa lini tengah adalah penentu. Padahal, sejatinya kiperlah aktor paling penting. Dialah sang penentu hasil pertandingan. Kiper adalah seseorang yang dituntut tampil laiknya malaikat yang tak pernah salah. Sekali saja kesalahan dibuat kiper, kekalahan berada di depan mata.
Advertisement
Bila tak perlu kiper bagus, rasanya Pep Guardiola di Manchester City akan cukup puas punya Joe Hart dan Willy Caballero. Tapi, buktinya, dia tak henti mendatangkan kiper baru. Musim lalu, Claudio Bravo diboyong dari Barcelona. Kini, giliran Ederson dari Benfica.
Tengok juga Juergen Klopp di Liverpool. Walau mengaku punya tiga kiper sama hebatnya, dia sebenarnya pusing tujuh keliling. Bagaimana tidak pusing bila Simon Mignolet dan Loris Karius selalu saja tak mampu mempertahankan performa? Tak jarang, mereka malah melakukan kebodohan luar biasa.
Simak video menarik di bawah ini:
Keteguhan Leipzig
Sebuah tanda juga tiba di markas RasenBallsport Leipzig. Bentuknya adalah ketertarikan klub-klub besar terhadap Naby Keita dan Emil Forsberg. Minat itu wajar saja karena keduanya benderang sepanjang musim lalu. Namun, di mata Ralf Rangnick dan Dietrich Mateschitz, ketertarikan itu adalah tanda bahaya.
Andai keduanya pergi, hampir pasti Leipzig tak sakti lagi. Menjual Keita dan Forsberg memang akan membuat Die Roten Bullen kaya-raya. Namun, melepas keduanya sama saja membuat Leipzig bak kapal tanpa layar dan mesin penggerak.
Keita adalah engine utama di tim asuhan Ralp Hasenhuettl. Sementara Forsberg adalah sang pelayan dan penentu arah. Apalah artinya Timo Werner di depan andai tak ada lagi umpan-umpan memanjakan dari sang superstar dari Swedia?
Boleh-boleh saja klub-klub besar memadang klub-klub kecil sebagai satelit. Sah-sah juga bila klub-klub Inggris menganggap klub-klub di belahan lain dunia sebagai breeder. Tapi, adalah hak setiap klub merenda mimpinya, menentukan nasibnya.
Itu pula yang ditunjukkan Leipzig yang teguh memagari Keita dan Forsberg. Rangnick jadi orang terdepan dalam mengadang klub-klub yang coba mencuri kedua berlian. Dia tahu betul, Leipzig bukanlah breeder klub-klub besar. Leipzig juga tak perlu uang. Dengan keunikannya, walau membuat mereka dibenci seantero Jerman, Leipzig adalah klub dengan kondisi keuangan yang baik. Lagi pula, tak ada kewajiban Leipzig melepas bintangnya yang masih terikat kontrak panjang.
Leipzig adalah sebuah proyek besar. Leipzig tak ubahnya muara bagi klub-klub milik perusahaan minuman berenergi, Red Bull. Semua pemain terbaik Red Bull, terutama di Eropa, pasti akan berlabuh di Leipzig. Salzburg hanyalah persinggahan sementara.
Simak saja kata-kata Martin Hinteregger, bek Salzburg yang memilih Augsburg ketimbang Leipzig. "Tak perlu ada dua klub bila segalanya diarahkan ke Leipzig," sindirnya. "Leipzig bisa mendapatkan apa saja yang diinginkan, sementara Salzburg diabaikan."
Faktanya, musim lalu saja Leipzig memboyong empat penggawa Salzburg. Selain Keita, ada Benno Schmitz, Bernardo, dan Dayot Upamecano. Sebagai sesama "perampok", Leipzig tahu betul cara menghadapi klub-klub yang coba merampok aset mereka. Jika pada akhirnya menyerah, Rangnick tahu, seberapa pekat awan yang ada di haluan kapal musim depan.
Advertisement
Melawan Uang
Bicara soal tanda-tanda di kancah sepak bola saat ini, sesungguhnya tanda terbesar datang bagi Inggris. Musim panas ini, ketika kompetisi berhenti, dua prestasi ditorehkan para singa muda. Inggris juara Piala Dunia U-20 dan Piala Eropa U-19. Inilah kali pertama The Three Lions juara di kedua ajang tersebut secara bersamaan.
Sejatinya ini sinyal positif bagi The Three Lions. Bayangan menghentikan periode nirtrofi selama setengah abad mulai muncul. Setidaknya, dua gelar itu membuktikan pembinaan di Negeri Pangeran Charles itu sudah berada di jalan yang benar. Itu juga menunjukkan mereka punya talenta-talenta istimewa yang bisa diandalkan pada masa datang.
Masalahnya kemudian, adakah sinyal ini ditangkap dengan baik oleh insan-insan sepak bola Inggris? Bisakah tanda yang datang itu dimaknai dengan benar oleh klub-klub di negeri itu? Adakah Dominic Solanke cs. sanggup menyadarkan klub-klub Premier League untuk berpaling kepada mereka?
Sayangnya, sejauh ini, sepertinya anak-anak muda itu belum mampu menampar mereka yang masih terlena dalam buaian uang berlimpah. Tengok saja klub-klub Premier League yang makin rakus saja memburu pemain dari segala penjuru Eropa. Lihat, 200-an juta euro sudah digelontorkan Man. City untuk enam pemain yang hanya satu saja lokal Inggris. Klub-klub besar lain pun setali tiga uang.
Jikapun ada harapan, itu datang dari Tottenham Hotspur dan Everton. Bos Spurs, Daniel Levy, sudah mengakui nilai penting akademi bagi klub. Apalagi The Lilywhites memang rajin mengorbitkan talenta muda dari tim junior. Harry Winks dan Kyle Walker-Peters adalah orbitan terbaru klub asuhan Mauricio Pochettino tersebut.
Di Everton, manajer Ronald Koeman menerapkan prinsip, jika cukup baik, seorang pemain cukup umur untuk bermain. Tom Davies, Ademola Lookman, dan Dominic Calvert-Lewin adalah bukti bahwa omongan Koeman bukan tong kosong. Davies bahkan sudah menjadi andalan di lini tengah The Toffees.
Bagaimanapun, kesempatan bermain di level tertinggi adalah hal yang dibutuhkan para anggota skuat U-19 dan U-20 Inggris yang baru saja merebut trofi. Bila klub-klub, terutama para raksasa, masih terbuai uang, tentu tetap sulit bagi Inggris untuk mengakhiri penantian panjang meraih trofi bergengsi. Bukan apa-apa, anak-anak muda itu sulit untuk mencari tempat di luar Inggris karena mereka terlalu mahal bagi klub-klub di belahan lain Eropa.
*Penulis adalah jurnalis, penulis buku dan komentator sepak bola. Tanggapi kolom ini @seppginz.