Liputan6.com, Moskow - Seorang mantan pelayan kebersihan dan mantan teknisi listrik hotel akan saling berhadapan saat Maroko menantang Portugal dalam laga kedua Grup B Piala Dunia 2018. Laga ini akan berlangusng di Stadion Luzhnik, Moskow, Rabu (20/6/2018).
Pelatih Maroko Herve Renard dan rekannya dari Portugal, Fernando Santos, pernah menjalani suatu profesi sebelum keduanya menjadi nakhoda tim nasional negara masing-masing. Mereka menikmati sukses besar, meski masih jauh dari gemerlap liga-liga besar di Eropa.
Advertisement
Baca Juga
Renard, yang timnya dikalahkan Iran pada laga pembuka Piala Dunia dengan skor 1-0, mengalami sisi pahit sepak bola sebelum melakoni peran di tim senior pertamanya sebagai pelatih Zambia 10 tahun lalu. Saat berusia 15 tahun, dia menjalani uji coba di Cannes untuk mewujudkan mimpinya menjadi pemain profesional papan atas.
"Saat saya dihadapkan oleh pemain top, saya menyadari bahwa saya tidak sebaik itu," ujar Renard.
Setelah hanya menjadi pemain lapis ketiga, Renard lantas mendirikan bisnis kebersihan yang bertugas mengumpulkan sampah pada tengah malam. "Saya sering mengingat tahun-tahun ketika saya bangun jam tiga pagi untuk pergi dan membersihkan ruangan," tuturnya.
Menolak menyerah sepenuhnya pada sepak bola, ia mulai melatih tim amatir dan mendapat terobosan ketika rekan senegaranya yang melatih tim sepak bola dengan skala lebih besar, Claude Le Roy, melihat Renard. Dia diundang dan dijadikan asistennya.
Selalu mengenakan kemeja putih olahraga keberuntungan, Renard mengantarkan Zambia meraih gelar juara Piala Afrika untuk pertama kalinya pada 2012. Ia mengulangi prestasi itu bersama Pantai Gading tiga tahun kemudian, sebelum membawa Maroko ke Piala Dunia pertama mereka selama 20 tahun terakhir.
Insinyur Berkualitas
Sementara itu, Santos mengaku berutang karier kepada seorang kenalannya di sebuah hotel di tepi pantai. Pada tahun-tahun terakhir karier bermain yang solid tetapi biasa-biasa saja, insinyur listrik berkualitas itu mulai bekerja di sebuah hotel sebagai kepala teknisi dan akhirnya mengambil peran penuh waktu.
Dia tidak berniat untuk melanjutkan kariernya di sepak bola sampai majikannya, yang juga presiden klub lapis kedua Estoril, mengundang Santos untuk melatih tim tersebut sementara waktu.
"Awalnya hanya untuk enam bulan, tapi saya justru tinggal selama enam tahun dan kami naik ke divisi pertama," dia bercerita.
Ketika Santos dipecat, dia mulai menginjakkan kakinya di pintu klub-klub besar dan melanjutkan kariernya melatih tiga klub utama Portugal, yaitu Benfica, Sporting dan Porto -- sebelum membawa Yunani ke Piala Dunia terakhirnya.
Puncaknya, dia sukses saat memimpin Portugal meraih gelar juara Piala Eropa 2016 di Prancis.
Advertisement
Tidak Takut Tekanan
Santos mengaku tidak merasakan tekanan selama melatih Timnas Portugal. Hasil imbang 3-3 melawan Spanyol di laga perdana Piala Dunia 2018 dipuji sebagai salah satu hasil terbaik dalam sejarah 88 tahun kompetisi.
"Saya tidak pernah merasakan tekanan dari seseorang yang sumber penghasilannya hanya sepak bola," ucapnya. "Tekanan itu hanya untuk alat memasak. Saya terlalu tua untuk mengkhawatirkan tentang itu." (Ant)