Penelitian Ungkap Bahwa Rasa Malas Bisa Menular

Sikap orang lain terhadap rasa malas dan ketidaksabaran dapat menular pada diri Anda.

oleh Camelia diperbarui 06 Jan 2023, 13:04 WIB
Diterbitkan 06 Jan 2023, 13:04 WIB
Ilustrasi sedih, kecewa, malas
Ilustrasi sedih, kecewa, malas. (Photo by Aleksandra Sapozhnikova on Unsplash)

Liputan6.com, Jakarta Rasa malas mungkin dimiliki semua orang, hanya saja ada sebagian orang yang bisa mengatasinya dengan baik meski sebagian lagi sulit melakukannya. Nampaknya kalian harus berhati-hati ketika berinteraksi dengan pemalas. Pasalnya sebuah studi dari Prancis mengungkapkan bahwa rasa malas yang dimiliki seseorang bisa menular kepada orang di sekitarnya. 

Dilansir dari Live Science, para peneliti menemukan bahwa orang tidak hanya menangkap sikap orang lain terhadap tiga karakteristik kepribadian yaitu kemalasan, ketidaksabaran, dan kehati-hatian tetapi mereka bahkan mungkin mulai meniru perilaku ini.

Kehati-hatian, ketidaksabaran, dan kemalasan adalah ciri-ciri kepribadian yang memandu bagaimana orang membuat keputusan yang melibatkan pengambilan risiko, penundaan tindakan, dan upaya, kata Jean Daunizeau, pemimpin tim kelompok motivasi, otak, dan perilaku di Brain and Spine Institute ( ICM) di Paris. 

Kehati-hatian adalah preferensi untuk menghindari risiko, seperti memilih hadiah yang pasti daripada hadiah yang mungkin lebih besar tetapi lebih berisiko untuk dicapai, menurut penelitian tersebut. 

Sementara itu ketidaksabaran adalah preferensi untuk opsi yang melibatkan sedikit penundaan dan keinginan kuat untuk mendapatkan hasil sekarang daripada nanti. 

Orang malas adalah mereka yang menentukan bahwa imbalan potensial tidak sepadan dengan usaha. Biasanya, ketiga ciri kepribadian ini dianggap sebagai sifat yang "berakar", artinya mereka sulit untuk diubah, kata Daunizeau kepada Live Science.

Dalam penelitian tersebut, para peneliti merekrut 56 orang sehat. Untuk mengukur sikap peserta terhadap risiko, keterlambatan, dan usaha, mereka diberi serangkaian tugas di mana mereka diminta untuk memilih di antara dua alternatif. 

Misalnya, peserta diminta untuk memilih antara pembayaran kecil dalam tiga hari atau pembayaran lebih tinggi dalam tiga bulan; atau untuk memilih antara hasil lotre yang aman (peluang 90 persen untuk memenangkan hadiah kecil) atau hasil lotere yang lebih berisiko (peluang lebih rendah untuk hasil yang lebih tinggi).

Sebuah penelitian dilakukan

malas
Ubah kebiasaan buruk/Copyright unsplash.com/Adrian Swancar

Selanjutnya, para peserta diminta untuk menebak keputusan “orang lain” pada tugas yang sama, dan setelah membuat pilihan, mereka kemudian diberi tahu pilihan mana yang dibuat oleh peserta lain ini, menurut penelitian tersebut. 

Tapi "orang lain" itu bukanlah orang sungguhan, melainkan peserta palsu berdasarkan model komputerisasi yang dikembangkan oleh para peneliti. Model ini meramalkan bagaimana orang belajar tentang dan dari sikap orang lain terhadap kemalasan, ketidaksabaran, dan kehati-hatian.

Selama fase akhir percobaan, para peserta mengulangi tugas pertama, di mana mereka diminta membuat keputusan sendiri. Para peneliti menemukan bahwa setelah para peserta mengamati sikap "orang lain" yang hati-hati, tidak sabar, atau malas pada tugas, pilihan mereka sendiri untuk berusaha, menunggu selama penundaan atau mengambil risiko beralih ke pilihan orang lain. Dengan kata lain, para peserta mulai bertindak lebih seperti peserta studi yang dihasilkan komputer.

 

Pengaruh sosial jadi penyebab

Manfaat rasa malas
Rasa malas ternyata bermanfaat untuk memicu produktivitas. (Foto: unsplash.com)

Sikap seperti kehati-hatian, ketidaksabaran dan kemalasan biasanya dianggap sebagai sifat yang dianggap setidaknya sebagian bersifat genetik, kata Daunizeau. Selain itu, para peneliti berpendapat bahwa ketiga sifat ini harus kebal terhadap pengaruh lingkungan, seperti pengaruh sosial, setidaknya di masa dewasa, katanya. 

Tetapi penelitian tersebut menunjukkan bahwa pengaruh sosial dapat mengubah sikap orang tentang menjadi bijaksana, tidak sabar atau malas, meskipun peserta tidak menyadari bahwa pengaruh sosial berdampak pada mereka.

Mengapa ketiga perilaku ini menular secara sosial?

Malas - Vania
Ilustrasi Malas/https://unsplash.com/Chase Yi

Satu penjelasan mungkin bahwa orang meniru perilaku orang lain karena norma sosial, termasuk keinginan untuk merasa seolah-olah menjadi bagian dari suatu kelompok, kata Daunizeau. Orang meniru orang lain sehingga perilaku mereka mungkin sesuai dan menyerupai individu dalam kelompok itu, katanya.

Penjelasan kedua adalah bahwa orang mungkin berpikir orang lain memiliki beberapa bentuk informasi pribadi tentang bagaimana berperilaku terbaik dalam konteks sosial, kata Daunizeau. Dalam hal ini, orang meniru orang lain karena mereka telah belajar bagaimana berperilaku dari orang lain, ujarnya.

Para peneliti menerapkan pekerjaan ini untuk mempelajari apakah penyelarasan sikap yang diamati dalam penelitian ini mungkin berbeda pada orang dengan gangguan neuropsikiatri, seperti gangguan spektrum autisme dan skizofrenia.

Infografis Olahraga Benteng Kedua Cegah Covid-19. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Olahraga Benteng Kedua Cegah Covid-19. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya