Transformasi Terbentuknya BUMN dalam Kontroversi dengan Belanda

Pada awal 1957, Indonesia menghadapi kompleksitas tantangan ekonomi, dan Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja merespons dengan menasionalisasi ratusan perusahaan Belanda untuk mengatasi kekacauan ekonomi. Kolonel Soeprayogi, diangkat sebagai menteri urusan stabilisasi ekonomi oleh Presiden Sukarno, memainkan peran kunci dalam merumuskan peraturan untuk pengambilalihan dan pengelolaan perusahaan-perusahaan tersebut.

oleh Azmi Muharrika diperbarui 22 Des 2023, 16:24 WIB
Diterbitkan 22 Des 2023, 16:14 WIB
Transformasi Terbentuknya BUMN dalam Kontroversi dengan Belanda
(Sumber: Historia.id)

Liputan6.com, Jakarta Pada awal tahun 1957, Indonesia menghadapi tantangan ekonomi yang kompleks, dan Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja mengambil langkah penting dengan menasionalisasi ratusan perusahaan yang sebelumnya dimiliki oleh Belanda.

Langkah tersebut diambil sebagai langkah untuk mengatasi ketidakstabilan ekonomi yang sedang terjadi. Tindakan nasionalisasi ini kemudian menjadi awal terbentuknya Badan Usaha Milik Negara (BUMN), sebuah lembaga yang memegang peran sentral dalam mengelola perusahaan-perusahaan yang telah dinasionalisasi.

Dalam penanganan isu nasionalisasi, Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja meminta bantuan dari Kolonel Soeprayogi, yang pada saat itu ditunjuk sebagai formatur kabinet.

Soeprayogi kemudian diangkat oleh Presiden Sukarno sebagai Menteri Urusan Stabilisasi Ekonomi. Tugas utama Soeprayogi adalah merumuskan regulasi untuk pengambilalihan dan pengelolaan perusahaan-perusahaan Belanda yang telah dinasionalisasi. Ini menjadi langkah strategis dalam restrukturisasi sektor ekonomi Indonesia.

Dalam proses nasionalisasi, Soeprayogi menyoroti dua isu utama yang perlu diselesaikan, yakni nasionalisasi perusahaan yang vital dan kategorisasi perusahaan Belanda menjadi vital, setengah vital, biasa, dan tidak vital.

Keputusan untuk menjual perusahaan-perusahaan yang tidak vital kepada pengusaha swasta menjadi opsi yang diambil. Langkah ini membentuk dasar hukum untuk pengelolaan BUMN dan memperkuat peran pemerintah dalam mengelola sumber daya ekonomi negara.

1. Awal Mula Cikal Bakal BUMN

Awal Mula Cikal Bakal BUMN
Soeprayogi (tengah) (Repro biografi M.F Siregar Matahari Olahraga Indonesia)

Pada awal tahun 1957, Indonesia dihadapkan pada krisis ekonomi yang memerlukan penanganan serius, dan Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja berusaha mengatasi kekacauan ekonomi dengan meminta bantuan dari Kolonel Soeprayogi, yang saat itu aktif di Panitia Finek Angkatan Darat. Soeprayogi, yang sedang ditawari jabatan sebagai sekretaris jenderal Kementerian Perdagangan, akhirnya diangkat oleh Presiden Soekarno sebagai Menteri Urusan Stabilisasi Ekonomi.

Dalam perannya sebagai Menteri Urusan Stabilisasi Ekonomi, Soeprayogi memainkan peran kunci dalam menangani proses nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda. Djuanda membentuk Dewan Nasional untuk merumuskan dasar hukum pengambilalihan dan pengelolaan perusahaan-perusahaan tersebut.

Menariknya, proses pengambilalihan perusahaan terjadi lebih dulu sebelum peraturan resmi dibuat. Soeprayogi membentuk panitia ad hoc untuk merumuskan kebijakan nasionalisasi, dengan menggambarkan kategorisasi perusahaan Belanda menjadi vital, setengah vital, biasa, dan tidak vital, dengan perusahaan yang tidak vital dapat dijual kepada pengusaha swasta.

Dalam sejarah nasionalisasi BUMN, Soeprayogi menekankan dua isu utama: nasionalisasi perusahaan vital dan kategorisasi perusahaan Belanda. Menteri Kehakiman menegaskan bahwa nasionalisasi biasanya terjadi pada perusahaan vital, sementara nasionalisasi perusahaan biasa harus didasarkan pada alasan yang jelas. Ganti rugi kepada perusahaan yang dinasionalisasi juga menjadi aspek penting yang harus diatur secara tegas dalam undang-undang nasionalisasi.

2. Banas

Pada tanggal 27 Desember 1958, pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-Undang No. 86/1958 mengenai Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan Belanda, mengakhiri kepemilikan perusahaan tersebut dan menempatkannya di bawah pemerintah secara permanen. Badan Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan Belanda (Banas) didirikan pada tanggal 23 Februari 1959, yang dipimpin oleh Perdana Menteri Djuanda, dengan dukungan dari dua deputi, yaitu Soetikno Slamet dari Bank Indonesia dan Kolonel Soeprayogi.

Banas memegang peran penting dalam mengawasi sekitar 700 perusahaan Belanda yang kini menjadi aset negara Indonesia. Organisasi ini memiliki wewenang untuk menentukan apakah perusahaan-perusahaan tersebut akan dikelola oleh lembaga pemerintah, pemerintah provinsi, atau diserahkan kepada sektor swasta. Anggota Banas terdiri dari menteri yang bertanggung jawab dalam urusan ekonomi, gubernur Bank Indonesia, dan menteri kesehatan yang memantau perusahaan farmasi.

Tugas Banas tidak hanya terbatas pada pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan yang telah dinasionalisasi, melainkan juga melibatkan koordinasi dengan perusahaan negara lain seperti Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni), Bank Indonesia, dan Garuda Indonesia Airways (GIA). Akan tetapi, pada bulan September 1961, tugas Banas diambil alih oleh Menteri Pertama dan dibantu oleh Badan Pembantu Menteri Pertama Urusan Koordinasi Perusahaan Negara. Pada akhirnya, Banas secara resmi dibubarkan pada bulan Mei 1963, dan tanggung jawabnya sepenuhnya dialihkan kepada Menteri Pertama dan Biro II (Ekonomi dan Keuangan) Sekretariat Negara.

3. Ganti Rugi

Pengambilalihan dan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda oleh pemerintah Indonesia pada awal tahun 1957 memicu respons tegas dari pemerintah Belanda. Awalnya, Belanda menolak transfer kepemilikan tersebut, tetapi setelah pemerintah Indonesia menawarkan pembayaran ganti rugi, usaha mediasi dilakukan untuk mencapai kesepakatan yang memuaskan.

Undang-Undang Nasionalisasi menegaskan kewajiban pembayaran ganti rugi kepada pemilik perusahaan-perusahaan tersebut. Pada bulan April 1959, Panitia Penetapan Ganti Kerugian dibentuk untuk menilai jumlah ganti rugi yang pantas.

Panitia tersebut melakukan audit terhadap perusahaan-perusahaan yang dinasionalisasi dan menetapkan besaran ganti rugi yang wajar. Mereka juga memiliki kewenangan untuk mengusulkan alokasi pendapatan dari perusahaan yang dinasionalisasi guna membayar ganti rugi.

Sejumlah perusahaan, seperti KPM yang menuntut 120 juta gulden sebagai kompensasi, terlibat dalam proses tawar-menawar yang rumit. Meskipun awalnya menolak klaim tersebut, pemerintah Indonesia akhirnya membayar ganti rugi secara bertahap setelah melalui proses perundingan dengan pemilik perusahaan.

Proses pembayaran ganti rugi berlanjut hingga terjadi Gerakan 30 September 1965. Meskipun sebagian besar klaim belum terselesaikan, setelah Soeharto berkuasa, dia memilih untuk menghormati kewajiban tersebut demi menjaga kehormatan bangsa.

Ganti rugi akhirnya dibayarkan secara bertahap dengan menggunakan dana pinjaman, dan proses pembayaran diselesaikan pada tahun 2002. Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda berhasil mengubah struktur ekonomi kolonial, membawa Indonesia menuju transisi ekonomi nasional yang selesai pada akhir 1965. Perusahaan-perusahaan tersebut kemudian bermetamorfosis menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang masih aktif hingga saat ini.

Question and Answer

1. Mengapa pemerintah perlu membentuk BUMN?

Pendirian BUMN oleh pemerintah memiliki tujuan utama yakni memberikan kontribusi bagi perekonomian nasional. Sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003, selain sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi, motivasi pemerintah dalam mendirikan BUMN melibatkan upaya mencapai keuntungan dan penyelenggaraan kemanfaatan umum.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya