Liputan6.com, Jakarta - Indonesia semakin mantap dalam mempersiapkan diri untuk memulai perdagangan karbon internasional, yang akan dimulai pada 20 Januari mendatang.
Langkah awal yang signifikan ditunjukkan dengan diselenggarakannya Pre-Sessional Meeting, sebuah pertemuan antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLH), Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), Bursa Efek Indonesia (BEI), serta Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Advertisement
Baca Juga
Pertemuan ini menjadi langkah konkret dalam menyambut perdagangan karbon internasional di Indonesia, yang diharapkan dapat mempercepat upaya pengurangan emisi dan mendukung pencapaian target perubahan iklim global.
Advertisement
Deputi Pengendalian Perubahan Iklim dan Tata Kelola Nilai Ekonomi Karbon KLH/BPLH, Ary Sudijanto, menegaskan bahwa Indonesia akan berada di garis depan dalam mempercepat implementasi perdagangan karbon internasional untuk mendukung pemenuhan target Nationally Determined Contribution (NDC).
Perdagangan karbon internasional akan segera diluncurkan oleh Pemerintah Indonesia mengingat isu terkait otorisasi telah disepakati pada COP 29 UNFCCC, sebagai implementasi dari artikel 6.2 dan 6.4 Paris Agreement.
"Langkah strategis ini semakin memperkuat posisi Indonesia di pasar karbon global, kami mengajak semua pihak untuk berkolaborasi mewujudkan keberhasilan yang akan mendukung pengurangan emisi secara signifikan,” ujar Ary, dalam keterangannya, Jumat (17/1/2025).
Sementara itu, Direktur Utama BPDLH, Joko Tri Haryanto, menyatakan bahwa langkah ini merupakan momentum bagi Indonesia untuk memainkan peran kunci pengurangan emisi global.
"Ini adalah langkah besar bagi Indonesia untuk memperkuat posisi di pasar karbon global. Dengan dukungan semua pihak, Indonesia akan terus bergerak maju dalam mencapai target NDC dan memainkan peran kunci dalam pengurangan emisi global dan memanfaatkan potensi ekonomi karbon," ungkap Joko.
Strategi dan Infrastruktur Mendukung Perdagangan Karbon
Pertemuan ini menyajikan diskusi dengan perwakilan KLH/BPLH, BEI, dan OJK sebagai narasumber. Pada sesi pemaparan, Direktur Tata Kelola Nilai Ekonomi Karbon KLH/BPLH, Wahyu Marjaka, menjelaskan Indonesia akan membuat regulasi dan kerangka kerja infrastruktur NEK dalam mendukung implementasi perdagangan karbon internasional.
"Indonesia membuka gerbang menuju perdagangan karbon internasional melalui artikel 6 dari Paris Agreement dan memastikan akuntabilitas melalui Robust System SRN," kata Wahyu.
Ia juga menyoroti pentingnya membangun hubungan secara aktif antara pasar karbon domestik dan internasional, termasuk menjalin perjanjian bilateral melalui Mutual Recognition Agreement (MRA), termasuk kolaborasi (MRA) dengan organisasi seperti Verra, Plan Vivo, dan Gold Standard.
Dari sisi infrastruktur Monitoring, Reporting, and Verification (MRV), Direktur Inventarisasi Gas Rumah Kaca dan MRV KLH/BPLH, Hari Wibowo, menerangkan fungsi infrastruktur MRV yang telah dibangun untuk menjamin transparansi dan kualitas SPE-GRK kepada pasar karbon internasional.
Menurutnya, kunci keberhasilan adalah melacak kemajuan melalui mekanisme transparansi yang ditingkatkan melalui SRN dan Skema SPEI yang telah dikembangkan.
"Melalui mekanisme dan kerangka kerja SRN saat ini, memungkinkan konversi kredit karbon yang telah diverifikasi menjadi unit yang dapat diperdagangkan sesuai dengan standar internasional untuk menciptakan peluang yang luas terhadap akses perdagangan domestik maupun internasional," jelas Hari.
Advertisement
Bursa Karbon Indonesia Siap Menjadi Fasilitator Utama
Penguatan bursa karbon dan ketentuan terkait transaksi karbon yang berintegritas, transparan, dan akuntabel juga menjadi perhatian Pemerintah. Kepala Divisi Pengembangan Bisnis 2 BEI, Ignatius Denny Witjaksono, menjelaskan peran BEI melalui platform IDXCarbon dalam memfasilitasi perdagangan karbon.
BEI bertujuan menjadikan perdagangan karbon lebih mudah dengan adanya pertukaran karbon yang diatur, bukan dengan perdagangan secara langsung.
"Unit perdagangan yang terdaftar di SRN memberikan transparansi harga dan daya saing. Sementara itu, OJK juga menekankan terkait fungsi untuk menjaga agar perdagangan karbon melalui bursa harus sesuai dengan koridor hukum yang berlaku," ungkap Ignatius.
Dalam diskusi yang berlangsung, banyak pihak, baik dari regulator maupun sektor swasta, menekankan pentingnya kerangka regulasi yang mendukung perdagangan karbon. Fokus utama adalah pada mekanisme pasar, otorisasi perdagangan, serta keseimbangan antara penawaran dan permintaan karbon domestik dan internasional.
Terkait hal ini, Wahyu Marjaka menambahkan bahwa indikator penentuan jumlah kuota akan didasarkan roadmap perdagangan karbon yang merujuk pada roadmap NDC.
“Kami ingin membuktikan bahwa tidak hanya di pasar domestik, dimungkinkan juga untuk melaksanakan perdagangan di pasar karbon internasional”, tekannya.
Pertemuan ini diharapkan dapat menjadi momentum bagi Indonesia sebagai salah satu penghasil unit karbon terbesar dalam menyongsong perdagangan karbon internasional.
Hal ini akan membuka kesempatan bagi Indonesia untuk berkontribusi lebih besar dalam mengatasi perubahan iklim global, sekaligus meningkatkan perekonomian melalui ekosistem perdagangan karbon.