Liputan6.com, Jakarta Seorang jemaah Al Bahjah pernah berbagi kisah dengan KH Yahya Zainul Ma’arif, atau yang dikenal sebagai Buya Yahya, mengenai kondisi rumah tangganya. Jemaah yang berasal dari Jakarta itu merasa sedih karena nafkah yang diberikan kepada istri dan anak-anaknya sering kali dirasa kurang.
Ia pun bertanya kepada Buya Yahya, apakah hal tersebut termasuk dosa. Menanggapi hal itu, Buya Yahya menjelaskan bahwa yang terpenting adalah usaha dalam menafkahi keluarga. Jika seorang suami telah berikhtiar semaksimal mungkin namun tetap belum mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari, maka ia tidak berdosa.
Baca Juga
“Jadi yang wajib bagi Anda berusaha. Asalkan sudah berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan akal dan tenaganya, kok ternyata gak dapat duit, tidak dosa jika istrinya kelaparan,” kata Buya Yahya dikutip dari YouTube Al Bahjah TV.
Advertisement
Berbeda halnya dengan suami yang tidak bisa mencukupi nafkah rumah tangganya tapi tidak berusaha sama sekali. Misalnya, suami tersebut lebih sibuk ibadah ketimbang mencari nafkah. Menurut Buya Yahya, suami seperti ini kurang ajar.
“Yang gak benar itu orang ongkang-ongkang (sementara) istrinya suruh kerja. Dianya i'tikaf di masjid. Kurang ajar dia itu. Dianya ikut pengajian ustadz, misalnya, tapi gak pernah ngasih nafkah. Keblinger,” imbuh Buya Yahya.
Menurut Buya Yahya, orang yang malas mencari nafkah telah berbuat dzalim terhadap anak dan istrinya. Hukumnya adalah dosa.
“Tapi Anda sebagai seorang suami (jika) sudah berusaha semaksimal mungkin, kalau gak dapat gak dosa, karena Anda sudah maksimal. Nanti peran istri membantu setelah itu,” Buya Yahya menekankan.
Penjelasan Menurut Buya Yahya
Buya Yahya teringat dengan salah satu cerita gurunya yang selalu memberi nafkah kepada istrinya tidak terlalu banyak. Akan tetapi, nafkah tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, bahkan bisa menabung.
“Makanya kalau ada orang menemukan dalam dirinya kayak kurang terus, bahkan bisa jadi kurang beneran, (mungkin) kurang pandai mengatur pengeluaran. Kadang beli sesuatu yang gak (dibutuhkan),” kata Buya Yahya.
Jika suami tidak mampu memberi banyak nafkah, Buya Yahya meminta istri tidak memaksa. Sebaiknya, sang istri menolong suami atau paling tidak memahami dan mendukung suami yang sedang mencari nafkah.
“Kadang bisa saja dicukup-cukupkan cara hidup yang benar. Cara hidup mungkin belanjanya harus yang banyak sekalian biar murah. Cara masaknya seperti apa,” katanya.
Buya Yahya menyimpulkan bahwa seorang suami harus terus berusaha untuk mencari nafkah. Jika sudah usaha semaksimal mungkin tapi belum juga cukup nafkahnya, suami tersebut tidak akan mendapat dosa. Selain itu, suami dan istri juga harus pandai mengatur pengeluaran rumah tangga.
Advertisement
Hukum Istri Gugat Cerai jika Suami Kurang Beri Nafkah
Mengutip NU Online, dalam konteks istri menggugat cerai karena nafkah yang kurang terpenuhi, mengacu pada syarat pertama yaitu: “Suami tidak mampu memberikan nafkah, pakaian dan tempat minimum, bukan makanan tambahan” [Sayyid Abdurrahman bin Husain bin Umar al-Hadrami dalam Bughyatul Mustarsyidin fi Talkhishi Fatawa Ba’dil Aimmah minal Mutaakhirin].
Dengan demikian, maka jika suami tidak dapat memenuhi kewajiban ini, artinya tidak mampu memberikan makanan, pakaian, atau tempat tinggal paling sedikit, maka istri berhak untuk mengajukan gugatan cerai.
Lantas, seperti apakah ukuran paling sedikit dalam memberi nafkah dalam konteks ini, sehingga ketika suami tidak memenuhi, istri bisa mengajukan gugatan cerai?.
Standar Nafkah Minimum
Syekh Sulaiman bin Muhammad bin Umar al-Bujairami, dalam kitabnya menjelaskan bahwa standar nafkah minimum ini adalah mencakup makanan, pakaian dan tempat. Masing-masing dari ketiganya ini memiliki standar minimum tersendiri. Standar minimum makanan, misalnya, yaitu kewajiban suami untuk memberikan makanan satu mud kepada istrinya.
أَقَلُّ النَّفَقَةِ الْوَاجِبِ وَهُوَ مُدٌّ فَخَرَجَ مَا لَوْ أَعْسَرَ الْمُتَوَسِّطُ، أَوْ الْمُوسِرُ، عَمَّا وَجَبَ عَلَيْهَا فَلَا فَسْخَ لَهَا. قَوْلُهُ: وَالْإِعْسَارُ بِالْكِسْوَةِ، أَيْ بِأَقَلِّ الْكِسْوَةِ وَيُرَادُ بِأَقَلِّ الْكِسْوَةِ مَا لَا بُدَّ مِنْهُ بِخِلَافِ نَحْوِ السَّرَاوِيلِ وَالْمُكَعَّبِ فَإِنَّهُ لَا فَسْخَ بِذَلِكَ. قَوْلُهُ: وَالْمَسْكَنِ، أَيْ أَقَلُّ الْمَسْكَنِ فَلَا تَفْسَخُ إذَا وَجَدَ الْمَسْكَنَ وَلَوْ غَيْرَ لَائِقٍ بِهَا
Artinya: “Nafkah minimum yang wajib itu adalah satu mud. Maka tidak termasuk apabila suami yang berpenghasilan sedang atau orang kaya mengalami kesulitan, dari nafkah yang wajib diberikan pada istrinya, maka tidak ada gugatan cerai. Maksud dari ketidakmampuan dalam hal pakaian, yaitu pakaian paling sedikit yang wajib wajib darinya, berbeda dengan pakaian seperti celana atau pakaian yang terbuat dari bahan tertentu, maka tidak ada gugatan cerai dengan hal itu. Maksud dari tempat tinggal, yaitu tempat tinggal paling sedikit. Maka istri tidak boleh gugat talak, jika sudah memiliki tempat tinggal sekalipun tidak layak baginya.” (Hasyiyatul Bujairami ‘alal Khatib, [Beirut: Darul Kutub Ilmiah, tt], jilid XI, halaman 418-419).
Secara umum, mud sebagaimana didefinisikan oleh Syekh Wahbah bin Musthafa az-Zuhaili adalah satu takaran sebesar cakupan dua telapak tangan orang dewasa dan ini harus berupa makanan pokok di suatu negara, misalnya beras (jika di Indonesia). Dalam kitabnya ia mengatakan,
وَالْمُدُّ: حفْنَةُ مِلْءِ الْيَدَيْنِ الْمُتَوَسِّطَتَيْنِ
Artinya: “Satu mud adalah cakupan ukuran penuh dua telapak tangan pada umumnya.” (al-Fiqhul Islami wa Adilatuh, [Beirut, Darul Fikr: 1985 M/1405 H], cetakan kedua, juz II, halaman 910).
Mud merupakan satuan ukuran yang tidak mudah dikonversikan menjadi satuan berat. Beberapa ulama menganggap bahwa satu mud setara dengan berat sekitar 0,6 kilogram. Menurut pandangan ulama Syafi'iyah, satu mud beras, misalnya, setara dengan berat sekitar 675 gram atau 6,75 ons beras. Sedangkan jika dikonversikan ke uang rupiah, +- 15.000 rupiah.
Dengan demikian, jika mengacu pada beberapa penjelasan yang telah dipaparkan, istri melakukan gugatan cerai karena nafkah kurang terpenuhi tergantung pada konteks yang ada dan terjadi dalam hubungan keluarganya.
Perintah Suami Wajib Menafkahi Istri dalam Al-Qur'an dan Hadis
Setelah menikah, seorang laki-laki memiliki tanggung jawab terhadap istri dan anak-anaknya.
Menurut Jurnal Studi Hukum Islam Universitas Islam Nahdatul Ulama (Unisnu), nafkah merupakan kewajiban seseorang yang timbul sebagai akibat perbuatannya yang memiliki tanggung jawab, yaitu berupa pembayaran sejumlah biaya guna memenuhi kebutuhan orang yang berada dalam tanggungannya.
Kewajiban ini juga dijelaskan dalam Al-Qur'an. Allah SWT berfirman:
وَعَلَى ٱلْمَوْلُودِ لَهُۥ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا ۚ
Wa 'alal-maulụdi lahụ rizquhunna wa kiswatuhunna bil-ma'rụf, lā tukallafu nafsun illā wus'ahā
Artinya: "Dan kewajiban ayah (suami) memberi makan dan pakaian kepada para ibu (istri) dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya," (QS Al-Baqarah 233).
Selain itu, rasulullah SAW pun menjelaskan dalam sebuah hadis shahih. Rasulullah SAW bersabda:
“Dan mereka (para istri) mempunyai hak diberi rezeki dan pakaian (nafkah) yang diwajibkan atas kamu sekalian (wahai para suami),’’ (HR Muslim 2137).
Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda
إن الله يحب الفقير المتعفف أبا العيال
“Allah menyukai orang fakir yang apik dan yang menjadi tulang punggung keluarga” (HR Ibnu Majah).
Bagi orang kaya yg menjadi tulang punggung bagi keluarga maka hal itu biasa saja. Adapun jika hal itu dilakukan oleh orang yang miskin bahkan fakir maka hal itu membutuhkan perjuangan yang luar biasa. Perjuangan yang dahsyat dan berat itulah yang menyebabkan Allah mencintai manusia tersebut.
Jadi bukan karena kaya atau miskin semata.
Advertisement
