Liputan6.com, Jakarta Menjalin rumah tangga tentunya banyak sekali ujian dan cobaan. Cobaan yang umum di masyarakat ialah faktor finansial. Tidak sedikit rumah tangga bercerai dengan alasan karena suami tidak mampu menafkahi anak dan istri. Pertanyaan besar pun muncul: Bolehkah istri menggugat cerai dalam situasi ini? Jawabannya kompleks, melibatkan hukum positif Indonesia dan pandangan agama Islam.
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 secara tegas mewajibkan suami untuk memberikan nafkah lahir dan batin kepada istri. Nafkah lahir mencakup kebutuhan pokok seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, dan kesehatan. Kegagalan suami memenuhi kewajiban ini membuka peluang bagi istri untuk mengajukan gugat cerai ke Pengadilan Agama. Prosesnya melibatkan mediasi terlebih dahulu, dan jika mediasi gagal, pengadilan akan mempertimbangkan bukti-bukti yang diajukan.
Selain aspek hukum positif, agama Islam juga mengatur kewajiban suami dalam menafkahi istri dan anak. Namun, gugatan cerai karena masalah nafkah harus memenuhi syarat tertentu dalam hukum Islam. Bukan sekadar kekurangan nafkah tambahan seperti makanan mewah atau pakaian bermerek, melainkan ketidakmampuan suami memenuhi kebutuhan pokok istri secara substansial.
Advertisement
Simak informasi lengkap yang dirangkum dari berbagai sumber, Selasa (11/4/2025).
Kewajiban Nafkah Suami dalam Hukum Positif dan Islam
Undang-Undang Perkawinan di Indonesia mengukuhkan kewajiban suami untuk memberikan nafkah lahir dan batin. Kegagalan memenuhi kewajiban ini, terutama jika disertai penelantaran keluarga, dapat berujung pada sanksi pidana sesuai UU KDRT. Dalam konteks perceraian, istri berhak atas harta gono-gini.
Menurut Buya Yahya, harus dilihat dahulu bagaimana kondisi suaminya. Sebab, ada karakter orang yang bangkrutan meskipun sudah berusaha sepenuhnya.
"Contoh ada pada zaman nabi ada seorang perempuan mengadu ke Rasulullah. ‘Ya Rasulullah saya punya suami nggak pernah ngasih nafkah ke saya’. Lalu nabi bertanya. ‘Terus kamu makannya pakai apa?’ ‘Alhamdulillah ada peninggalan kurma dari orang tua saya. Masih bisa makan. Cuma, masa saya terus yang nomboki ya Rasulallah?’," kata Buya Yahya mengisahkan.
Rasulullah dengan sifat keadilannya memberikan jawaban dengan dua pilihan. "Kalau memang suamimu tidak bisa memberikan nafkah sama sekali, maka seorang istri boleh minta cerai," kata Rasulullah.
"Ya Rasulallah, masa gara-gara ini harus cerai? Ada pilihan lain ya Rasulallah?" tanya wanita tersebut.
"Pilihan yang kedua adalah seperti yang sudah kamu lakukan, kamu yang mencukupinya. Pun karena suamimu juga memang tidak mampu mencari rezeki. Kamu yang mencukupi, maka saat itu kamu mendapatkan pahala yang berlipat-lipat. Pahala sedekah, menyenangkan suami," kata Rasulullah.
"Ya Rasulullah, aku memilih yang kedua saja, biar aku yang mencukupi, biar aku dapat pahala yang berlipat-lipat. Pun juga suamiku tidak bisa memberikan nafkah karena memang dia tidak bisa bekerja," ujar wanita tersebut.
"Sungguh benar pilihanmu," kata Rasulullah SAW.
Buya Yahya menjelaskan bahwa ketika suami tidak mampu menafkahi, maka istri memang diperbolehkan menggugat cerai. Akan tetapi, bagi wanita cerdas, selagi dia mampu mencukupi dirinya sendiri maka bercerai bukanlah suatu solusi.
Advertisement
Hukum Istri Gugat Cerai karena Nafkah Kurang Terpenuhi
Mengutip NU Online, dalam konteks istri menggugat cerai karena nafkah yang kurang terpenuhi, mengacu pada syarat pertama yaitu:
“Suami tidak mampu memberikan nafkah, pakaian dan tempat minimum, bukan makanan tambahan” [Sayyid Abdurrahman bin Husain bin Umar al-Hadrami dalam Bughyatul Mustarsyidin fi Talkhishi Fatawa Ba’dil Aimmah minal Mutaakhirin].
Dengan demikian, maka jika suami tidak dapat memenuhi kewajiban ini, artinya tidak mampu memberikan makanan, pakaian, atau tempat tinggal paling sedikit, maka istri berhak untuk mengajukan gugatan cerai.
Lantas, seperti apakah ukuran paling sedikit dalam memberi nafkah dalam konteks ini, sehingga ketika suami tidak memenuhi, istri bisa mengajukan gugatan cerai?.
Standar Nafkah Minimum
Syekh Sulaiman bin Muhammad bin Umar al-Bujairami, dalam kitabnya menjelaskan bahwa standar nafkah minimum ini adalah mencakup makanan, pakaian dan tempat. Masing-masing dari ketiganya ini memiliki standar minimum tersendiri. Standar minimum makanan, misalnya, yaitu kewajiban suami untuk memberikan makanan satu mud kepada istrinya.
أَقَلُّ النَّفَقَةِ الْوَاجِبِ وَهُوَ مُدٌّ فَخَرَجَ مَا لَوْ أَعْسَرَ الْمُتَوَسِّطُ، أَوْ الْمُوسِرُ، عَمَّا وَجَبَ عَلَيْهَا فَلَا فَسْخَ لَهَا. قَوْلُهُ: وَالْإِعْسَارُ بِالْكِسْوَةِ، أَيْ بِأَقَلِّ الْكِسْوَةِ وَيُرَادُ بِأَقَلِّ الْكِسْوَةِ مَا لَا بُدَّ مِنْهُ بِخِلَافِ نَحْوِ السَّرَاوِيلِ وَالْمُكَعَّبِ فَإِنَّهُ لَا فَسْخَ بِذَلِكَ. قَوْلُهُ: وَالْمَسْكَنِ، أَيْ أَقَلُّ الْمَسْكَنِ فَلَا تَفْسَخُ إذَا وَجَدَ الْمَسْكَنَ وَلَوْ غَيْرَ لَائِقٍ بِهَا
Artinya: “Nafkah minimum yang wajib itu adalah satu mud. Maka tidak termasuk apabila suami yang berpenghasilan sedang atau orang kaya mengalami kesulitan, dari nafkah yang wajib diberikan pada istrinya, maka tidak ada gugatan cerai. Maksud dari ketidakmampuan dalam hal pakaian, yaitu pakaian paling sedikit yang wajib wajib darinya, berbeda dengan pakaian seperti celana atau pakaian yang terbuat dari bahan tertentu, maka tidak ada gugatan cerai dengan hal itu. Maksud dari tempat tinggal, yaitu tempat tinggal paling sedikit. Maka istri tidak boleh gugat talak, jika sudah memiliki tempat tinggal sekalipun tidak layak baginya.” (Hasyiyatul Bujairami ‘alal Khatib, [Beirut: Darul Kutub Ilmiah, tt], jilid XI, halaman 418-419).
Secara umum, mud sebagaimana didefinisikan oleh Syekh Wahbah bin Musthafa az-Zuhaili adalah satu takaran sebesar cakupan dua telapak tangan orang dewasa dan ini harus berupa makanan pokok di suatu negara, misalnya beras (jika di Indonesia). Dalam kitabnya ia mengatakan,
وَالْمُدُّ: حفْنَةُ مِلْءِ الْيَدَيْنِ الْمُتَوَسِّطَتَيْنِ
Artinya: “Satu mud adalah cakupan ukuran penuh dua telapak tangan pada umumnya.” (al-Fiqhul Islami wa Adilatuh, [Beirut, Darul Fikr: 1985 M/1405 H], cetakan kedua, juz II, halaman 910).
Mud merupakan satuan ukuran yang tidak mudah dikonversikan menjadi satuan berat. Beberapa ulama menganggap bahwa satu mud setara dengan berat sekitar 0,6 kilogram. Menurut pandangan ulama Syafi'iyah, satu mud beras, misalnya, setara dengan berat sekitar 675 gram atau 6,75 ons beras. Sedangkan jika dikonversikan ke uang rupiah, +- 15.000 rupiah.
Dengan demikian, jika mengacu pada beberapa penjelasan yang telah dipaparkan, istri melakukan gugatan cerai karena nafkah kurang terpenuhi tergantung pada konteks yang ada dan terjadi dalam hubungan keluarganya. Jika nafkah yang kurang terpenuhi tersebut berhubungan dengan tiga kewajiban nafkah yakni makanan, pakaian, dan tempat tinggal yang paling sedikit, maka ia boleh untuk mengajukan gugatan cerai.
Solusi Sebelum Gugat Cerai
Sebelum mengajukan gugatan cerai, ada beberapa solusi yang bisa dipertimbangkan. Musyawarah, mediasi, dan bantuan keluarga atau tokoh agama dapat membantu menyelesaikan masalah secara damai. Gugatan cerai sebaiknya menjadi pilihan terakhir setelah semua upaya lain telah dilakukan.
Konsultasi dengan ahli hukum dan/atau agama juga sangat dianjurkan. Mereka dapat memberikan nasihat yang tepat berdasarkan konteks spesifik situasi keluarga. Setiap kasus memiliki keunikannya sendiri, sehingga solusi yang tepat juga akan berbeda-beda.
Ingatlah bahwa perceraian memiliki dampak yang luas, baik secara hukum maupun emosional. Oleh karena itu, keputusan untuk bercerai harus diambil dengan bijak dan setelah mempertimbangkan semua aspek dengan matang.
Dalam konteks ini, penting untuk memahami bahwa gugatan cerai karena masalah nafkah bukanlah solusi instan. Membutuhkan pertimbangan yang matang, bukti yang kuat, dan pemahaman mendalam akan hukum positif dan norma agama. Upaya penyelesaian masalah secara damai dan konsultasi dengan ahlinya sangat dianjurkan sebelum mengambil keputusan yang akan berdampak besar pada kehidupan keluarga.
Advertisement
