Citizen6, Solo: `Nama saya Nagari. Umur, tiga puluh tahun. Tanpa harus dijelaskan, saya sudah paham. Sore itu, sehabis mandi dan rambut saya masih basah, pintu kamar kontrakan saya diketuk berulang kali. Tiga orang lelaki dengan sorot mata sopan menjemput saya. Dari jip yang menanti di halaman, kemudian dari deru mesinnya yang tipis, tak kalah tipis dari udara sore itu, ditambah lagi tutur sapa mereka yang berat dan tegas, tanpa harus dijelaskan, saya paham apa yang tengah terjadi.`
Begitulah petikan monolog dari Cok Sawitri dengan rambut panjang tergerai, diselimuti cahaya remang dari lampu sentir di Balai Soedjatmoko malam itu. Cok mampu memukau audiens dengan suasana hening yang cukup lama, saat dia membawakan monolog dari cerpennya Rahim. Beberapa properti yang membuat penampilan Cok bersama lampu sentir dan pakaian hitam yang dikenakannya.
Karena basic Cok Sawitri adalah teater, ayahnya adalah guru yang melatih dan mewariskan bakat teaternya. “Untuk bisa seperti saya, dasarnya adalah kerendahan hati, berani mencoba, disiplin berlatih, belajar, tampil di depan orang yang berani mengkritik pedas dan jangan pernah berhenti untuk kagum”, ujarnya.
Hari Rabu, tanggal 17 Desember 2013 bertempat di Balai Soedjatmoko Solo, Komunitas Pawon Sastra menyelenggarakan acara Bincang Sastra bersama Cok Sawitri. Acara yang dimulai pukul 20.00 berlangsung hangat di tengah guyuran hujan yang cukup lebat.
Cok Sawitri adalah aktivis teater, novelis penulis artikel, penyair, budayawan, dan seniman. Wanita kelahiran desa Sidemen, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali 44 tahun yang lalu. Cok Sawitri memandang Karya sastra adalah rem utama untuk membatasi dia mendalami teater.
Wanita dengan gelar S2 Jurusan Human Resource ini adalah penulis novel Janda dari Jirah masuk nominasi penghargaan karya sastra bergengsi yakni Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2007.
Pandangan Cok yang sangat serius mengenai pencapaian karya, digambarkan dengan lontaran pertanyaan yang ditujukan pada audiens malam itu. “Apa kalian bangga, karya kalian di muat di media Nasional? Tidak, bagi saya tidak. Kami orang Bali, harus menjadi penulis yang matang dalam koran lokal kita sendiri, setelah itu baru ke koran nasional, itulah dimana kita akan dihargai atas pencapaian karya sastra”. Wanita yang menjadi juri diajang Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) yang berlangsung di Pura Dalem Ubud Gianyar, Bali memang seorang seniman yang tidak pernah berhenti berkarya. “Berkarya terus untuk Bangsa ini, Bangsa Indonesia” pesan dari Cok Sawitri malam itu.
Acara Bincang Sastra bersama Cok Sawitri berjalan lancar dan khidmat. Acara tersebut akhirnya ditutup pada pukul 22.00 WIB. (kw)
Penulis
Kinanthi anggraini s,pd.
Solo, kinanthXXX@gmail.com
Baca Juga:
Pentas Anak di Panggung Perayaan Sekaten Yogya
Meriahnya Perayaan Sekaten di Alun-alun Yogyakarta
Kesenian Angklung Meriahkan HUT ke-57 AB Maroko
Begitulah petikan monolog dari Cok Sawitri dengan rambut panjang tergerai, diselimuti cahaya remang dari lampu sentir di Balai Soedjatmoko malam itu. Cok mampu memukau audiens dengan suasana hening yang cukup lama, saat dia membawakan monolog dari cerpennya Rahim. Beberapa properti yang membuat penampilan Cok bersama lampu sentir dan pakaian hitam yang dikenakannya.
Karena basic Cok Sawitri adalah teater, ayahnya adalah guru yang melatih dan mewariskan bakat teaternya. “Untuk bisa seperti saya, dasarnya adalah kerendahan hati, berani mencoba, disiplin berlatih, belajar, tampil di depan orang yang berani mengkritik pedas dan jangan pernah berhenti untuk kagum”, ujarnya.
Hari Rabu, tanggal 17 Desember 2013 bertempat di Balai Soedjatmoko Solo, Komunitas Pawon Sastra menyelenggarakan acara Bincang Sastra bersama Cok Sawitri. Acara yang dimulai pukul 20.00 berlangsung hangat di tengah guyuran hujan yang cukup lebat.
Cok Sawitri adalah aktivis teater, novelis penulis artikel, penyair, budayawan, dan seniman. Wanita kelahiran desa Sidemen, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali 44 tahun yang lalu. Cok Sawitri memandang Karya sastra adalah rem utama untuk membatasi dia mendalami teater.
Wanita dengan gelar S2 Jurusan Human Resource ini adalah penulis novel Janda dari Jirah masuk nominasi penghargaan karya sastra bergengsi yakni Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2007.
Pandangan Cok yang sangat serius mengenai pencapaian karya, digambarkan dengan lontaran pertanyaan yang ditujukan pada audiens malam itu. “Apa kalian bangga, karya kalian di muat di media Nasional? Tidak, bagi saya tidak. Kami orang Bali, harus menjadi penulis yang matang dalam koran lokal kita sendiri, setelah itu baru ke koran nasional, itulah dimana kita akan dihargai atas pencapaian karya sastra”. Wanita yang menjadi juri diajang Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) yang berlangsung di Pura Dalem Ubud Gianyar, Bali memang seorang seniman yang tidak pernah berhenti berkarya. “Berkarya terus untuk Bangsa ini, Bangsa Indonesia” pesan dari Cok Sawitri malam itu.
Acara Bincang Sastra bersama Cok Sawitri berjalan lancar dan khidmat. Acara tersebut akhirnya ditutup pada pukul 22.00 WIB. (kw)
Penulis
Kinanthi anggraini s,pd.
Solo, kinanthXXX@gmail.com
Baca Juga:
Pentas Anak di Panggung Perayaan Sekaten Yogya
Meriahnya Perayaan Sekaten di Alun-alun Yogyakarta
Kesenian Angklung Meriahkan HUT ke-57 AB Maroko
Disclaimer
Citizen6 adalah media publik untuk warga. Artikel di Citizen6 merupakan opini pribadi dan tidak boleh menyinggung SARA. Isi artikel menjadi tanggung jawab si penulisnya.
Anda juga bisa mengirimkan artikel disertai foto seputar kegiatan komunitas atauopini Anda tentang politik, kesehatan, keuangan, wisata, social media dan lainnya ke Citizen6@liputan6.com
Advertisement
Mulai 16 Desember sampai 27 Desember 2013 Citizen6 mengadakan program menulis bertopik dengan tema "Resolusi 2014". Ada kado akhir tahun dari Liputan6.com dan Dyslexis Cloth bagi 6 artikel terpilih. Syarat dan ketentuan bisa disimak di sini.