Harga Bitcoin Bakal Anjlok Parah, Mirip Kejadian 2020

McAulay menyoroti banyak pelaku pasar memanfaatkan leverage tinggi dengan asumsi volatilitas tetap rendah. Namun, jika harga Bitcoin turun hanya 20%, itu bisa memicu efek domino likuidasi yang lebih besar.

oleh Gagas Yoga Pratomo Diperbarui 20 Feb 2025, 12:10 WIB
Diterbitkan 20 Feb 2025, 12:10 WIB
Ilustrasi aset kripto Bitcoin. (Foto By AI)
Pelaku kripto terlalu percaya diri dengan stabilitas harga Bitcoin saat ini, tanpa menyadari tingkat leverage di pasar telah meningkat secara signifikan. Ilustrasi aset kripto Bitcoin. (Foto By AI)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Bitcoin mungkin akan menghadapi kejatuhan besar seperti yang terjadi pada 2020. Prediksi ini dilakukan oleh Tara McAulay, CEO Pharos Fund sekaligus mantan salah satu pendiri Alameda Research.

Ia memperingatkan banyak pelaku kripto terlalu percaya diri dengan stabilitas harga Bitcoin saat ini, tanpa menyadari tingkat leverage di pasar telah meningkat secara signifikan.

Dalam wawancara di podcast Crypto Options Unplugged bersama David Brickell dari FRNT, McAulay menyatakan bahwa risiko likuidasi besar bisa terjadi dalam tiga bulan ke depan atau bahkan sepanjang 2025.

Ia membandingkan kondisi pasar saat ini dengan Maret 2020, ketika harga Bitcoin jatuh drastis hingga 85% dalam sehari dan menyebabkan salah satu aksi jual terbesar dalam sejarah kripto. Saat itu, kapitalisasi pasar Bitcoin anjlok sekitar USD 40 miliar.

"Kami mulai semakin khawatir selama beberapa minggu terakhir bahwa pasar mungkin kurang memperhitungkan risiko terjadinya peristiwa likuidasi besar dalam tiga bulan ke depan, atau setidaknya sepanjang tahun 2025," kata McAulay, dikutip dari Yahoo Finance, Kamis (20/2/2025).

Bahaya Leverage yang Tak Terlihat

McAulay menyoroti banyak pelaku pasar memanfaatkan leverage tinggi dengan asumsi volatilitas tetap rendah. Namun, jika harga Bitcoin turun hanya 20%, itu bisa memicu efek domino likuidasi yang lebih besar.

McAulay memperkirakan banyak pelaku pasar menggunakan leverage hingga 6-7 kali lipat, yang berisiko besar jika harga tiba-tiba bergerak tajam.

Selain itu, perubahan dalam pasar pinjaman kripto sejak 2022 membuat situasi semakin berbahaya. Sebelumnya, leverage lebih banyak terjadi di luar bursa, memberikan pedagang waktu lebih lama untuk memenuhi panggilan margin.

Namun kini, leverage lebih terkonsentrasi di dalam bursa, sehingga ketika harga jatuh, aksi jual bisa terjadi lebih cepat dan lebih besar.

 

Apakah Bitcoin Sudah Memasuki Tren Turun?

Ilustrasi Bitcoin
Ilustrasi Bitcoin (Ist)... Selengkapnya

McAulay juga mencurigai Bitcoin mungkin telah memasuki awal fase pasar bearish, meskipun banyak investor belum menyadarinya. Ia menjelaskan biasanya butuh sekitar tiga bulan sebelum tren turun benar-benar disadari oleh semua pihak.

Beberapa tanda melemahnya pasar sudah terlihat, seperti penurunan volume perdagangan hingga 40% sejak Desember, minimnya partisipasi investor ritel, serta terbatasnya arus masuk modal baru.

Meski ETF Bitcoin masih menarik dana institusional, menurut McAulay, banyak pemegang aset yang memilih menjual Bitcoin mereka saat permintaan meningkat. Jika aliran dana ini terhenti dan sentimen pasar memburuk, kejatuhan besar bisa menjadi kenyataan.

"Jika arus masuk ini melambat atau berhenti, sementara aksi jual terus berlanjut, kita bisa melihat kehancuran besar di pasar Bitcoin," pungkasnya.

Disclaimer: Setiap keputusan investasi ada di tangan pembaca. Pelajari dan analisis sebelum membeli dan menjual Kripto. Liputan6.com tidak bertanggung jawab atas keuntungan dan kerugian yang timbul dari keputusan investasi.

 

Komentar The Fed Potensi Bikin Harga Bitcoin Lesu

Ilustrasi Bitcoin. Liputan6.com/Mochamad Wahyu Hidayat
Ilustrasi Bitcoin. Liputan6.com/Mochamad Wahyu Hidayat... Selengkapnya

Sebelumnya, harga Bitcoin (BTC) masih bergerak di kisaran USD 94.000 hingga USD 100.000 (setara hingga Rp 1,625 miliar) sepanjang 14 hari terakhir tanpa berhasil keluar dari zona tersebut. 

Tekanan semakin terasa setelah arus keluar dari perdagangan ETF Bitcoin Spot di Amerika Serikat (AS) sebesar USD 585,65 juta, atau setara Rp 9,5 triliun (kurs Rp 16.250 per dolar AS) selama periode 10-14 Februari 2025, menurut data SoSoValue.

Penurunan ini dipicu oleh komentar hawkish Ketua The Federal Reserve (the Fed) atau bank sentral AS, Jerome Powell, serta data inflasi Amerika Serikat (AS) pekan lalu yang lebih tinggi dari perkiraan. 

Inflasi tahunan AS di tercatat naik menjadi 3 persen pada Januari 2025, sementara inflasi inti mencapai 3,3 persen, sehingga memicu kekhawatiran pasar. Akibatnya, kapitalisasi pasar aset kripto turun 5 persen, dan Bitcoin sempat jatuh di bawah USD 95.000 (Rp 1,54 miliar).

Powell menegaskan, suku bunga kemungkinan tetap tinggi lebih lama untuk menekan inflasi. Komentar itu mengecewakan investor yang berharap pemangkasan lebih cepat.

 

Analisis Teknikal

Ilustrasi bitcoin (Foto: Unsplash/Thought Catalog)
Ilustrasi bitcoin (Foto: Unsplash/Thought Catalog)... Selengkapnya

Selain faktor kebijakan The Fed, sentimen pasar juga tertekan oleh kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump terhadap Kanada, Meksiko, dan China. Kombinasi faktor ini membuat aset berisiko, termasuk Bitcoin, berada di bawah tekanan. 

Financial Expert Ajaib Panji Yudha mengatakan, Fear and Greed Index Bitcoin pun merosot ke zona Fear setelah rilis data Consumer Price Index (CPI), mencerminkan meningkatnya ketidakpastian di pasar.

"Selama hampir dua minggu, Bitcoin bergerak di kisaran USD 94.000 hingga USD 100.000 tanpa berhasil menembus level tersebut atau mengalami penurunan signifikan. Pergerakan harga cukup tajam, di mana BTC berpotensi naik ke USD 105.000 jika mampu menembus resistensi psikologis di USD 100.000," terangnya, Rabu (19/2/2025).

"Namun, jika BTC turun di bawah USD 94.000, koreksi lebih lanjut dapat terjadi dengan support berikutnya di sekitar USD 91.000 (Rp 1,47 miliar)," dia menegaskan. 

Bersiap Hadapi Volatilitas

Ilustrasi aset kripto Bitcoin. (Foto By AI)
Ilustrasi aset kripto Bitcoin. (Foto By AI)... Selengkapnya

Pekan ini, pelaku pasar kripto bersiap menghadapi data ekonomi AS yang dapat memicu volatilitas. Fokus utama tertuju pada risalah FOMC Januari 2025 yang dirilis 19 Februari, memberikan wawasan terkait kebijakan suku bunga The Fed. 

Pernyataan Jerome Powell yang tidak terburu-buru menurunkan suku bunga, meski ada tekanan dari Donald Trump, semakin diperhatikan pasar.

Selain itu, laporan klaim pengangguran awal pada 22 Februari akan menjadi indikator penting. Pekan lalu, angka klaim turun ke 213.000, lebih rendah dari perkiraan. Jika angka ini kembali naik, pasar dapat mengantisipasi potensi pemangkasan suku bunga lebih cepat, yang bisa meningkatkan daya tarik Bitcoin sebagai aset alternatif.

Terakhir, data Sentimen Konsumen AS dari University of Michigan pada 23 Februari dapat mempengaruhi pasar. Optimisme konsumen dapat mendorong permintaan terhadap aset berisiko, termasuk Bitcoin. 

Sebaliknya, ekspektasi inflasi yang meningkat bisa membuat investor beralih ke aset lebih aman, memperkuat spekulasi The Fed akan mempertahankan suku bunga tinggi lebih lama.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya