Liputan6.com, Jakarta Pandemi COVID-19 dapat menyerang siapa saja di berbagai kelompok usia. Beberapa golongan yang disebut rentan terinfeksi virus ini salah satunya adalah penyandang disabilitas.
Infeksi ini sempat dialami oleh penyandang seckel syndrome sekaligus microcephaly, Divalah (17). Seckel syndrome adalah disabilitas bawaan yang disebabkan kelainan genetik sedang microcephaly adalah ukuran kepala yang lebih kecil dari anak pada umumnya.
Menurut penuturan sang ibu, Lia Octoratrisna (48), gejala COVID-19 pada putrinya berawal setelah mereka melakukan perjalanan dari Jakarta Pusat pada 8 Maret lalu.
Advertisement
“Pulang dari daerah Jakarta Pusat ada gejala seperti batuk. Sudah diberi obat tapi tidak kunjung sembuh,” ujar Lia kepada Disabilitas Liputan6.com, Selasa (23/6/2020).
Gejala tersebut membuat Lia khawatir dan memutuskan untuk karantina mandiri. Ia belum berani membawa anaknya ke rumah sakit karena masih merebaknya COVID-19.
“Tanggal 15 Maret, selain batuk ada sesak napas dan pada 26 maret dirawat di rumah sakit, kata dokter ada pneumonia.”
Pada 30 Maret, Diva melakukan tes swab kemudian pulang ke rumah dan karantina mandiri selama 2 minggu. Namun, 7 hari setelah keluar dari rumah sakit, gejala batuk datang lagi sampai akhirnya hasil tes keluar pada 12 April dan menyatakan positif COVID-19.
Simak Video Berikut Ini:
Dilarikan ke Wisma Atlet
Kabar tersebut sempat membuat Lia panik. Ia menghubungi Puskesmas di hari berikutnya.
“Tanggal 13 saya laporan ke puskesmas, mereka memberi arahan, obat dan vitamin.”
Pada 20 April, Diva dibawa ke Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet. Hari pertama di Wisma Atlet, Lia melakukan rapid test dan hasilnya non-reaktif.
“Mungkin ini mukjizat Tuhan jadi saya bisa merawat Diva. Saya meminta pihak Wisma Atlet untuk membiarkan saya merawatnya karena memang anak saya tidak dapat melakukan segala hal sendiri.”
Keduanya ditempatkan di satu kamar yang sama dan tidak dicampur dengan pasien lainnya. Selama di Wisma Atlet keduanya diberi vitamin.
Dua hari kemudian, keduanya melakukan tes swab dan dalam 10 hari hasilnya keluar dan dinyatakan negatif. Pada 5 Mei mereka dapat pulang ke rumah dengan melakukan tes ulang sebelum pulang.
“Memang anak berkebutuhan khusus itu lebih rentan, saya sekarang lebih baik menunda terapi kecuali sangat penting dan melakukan terapi di rumah.”
Lia berpesan kepada para ibu yang memiliki anak difabel untuk tetap menjalankan segala protokol kesehatan seperti jaga jarak dan menggunakan masker. Konsumsi makanan bergizi, vitamin, dan jaga pikiran agar tetap stabil.
“Saya harap ibu-ibu yang memiliki ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) tidak terlalu panik tapi tetap harus waspada,” pungkasnya.
Advertisement