Liputan6.com, Jakarta Masyarakat semakin teredukasi soal dunia disabilitas dalam 40 tahun belakangan. Berbagai kajian model disabilitas menjadi topik di berbagai multidisiplin ilmu.
Kajian ini merambah ke dalam ranah politik yang kemudian dapat disebut dengan politik disabilitas. Melalui politik ini, orang dengan disabilitas secara personal atau kelompok berjuang meruntuhkan stigma negatif untuk menuntut kesetaraan dan keadilan dalam berbagai lini kehidupan.
Secara historis, paradigma terhadap disabilitas sering kali dipengaruhi oleh kepercayaan yang menganggap disabilitas sebagai "kutukan" atau tanda kesialan. Baik bagi individu maupun komunitas di sekitarnya.
Advertisement
“Pandangan ini menyiratkan bahwa disabilitas merupakan konsekuensi dari kesalahan yang dilakukan oleh leluhur di masa lalu," dosen Universitas Trunojoyo Madura Bima Kurniawan kepada Tim Disabilitas Liputan6.com, Rabu (4/12/2024).
"Dalam hal ini, sekiranya pantas jika saya memandang paradigma ini sebagai paradigma model primitif,” lanjut Bima.
Seiring waktu paradigma tersebut mulai bergeser menuju pandangan yang lebih medis, yang memandang disabilitas sebagai kondisi abnormal yang dialami oleh seseorang. Dalam kerangka ini, orang dengan disabilitas dianggap sebagai individu yang sakit dan memerlukan perawatan, terapi, atau pengobatan agar dapat pulih dan menjalankan aktivitas sebagaimana orang pada umumnya.
Namun, paradigma medis ini juga membawa dampak lain, yaitu mempersepsikan penyandang disabilitas sebagai kelompok yang tidak mampu serta perlu dikasihani. Sehingga, mengabaikan potensi mereka untuk berkontribusi di berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Lalu, Apa Paradigma yang Sekiranya Tepat?
Model-model ini menunjukkan bahwa persepsi terhadap disabilitas terus mengalami perkembangan dalam upaya menghapus stigma dan diskriminasi di tingkat sosial maupun struktural.
Model-model disabilitas telah berperan signifikan dalam membentuk kerangka politik disabilitas, studi disabilitas, dan perjuangan hak asasi manusia bagi penyandang disabilitas.
“Di antara berbagai model yang dikembangkan, model sosial disabilitas telah diyakini sebagai pendekatan yang paling relevan dalam memahami kehidupan, perilaku, dan cara berpikir masyarakat terhadap orang dengan disabilitas,” ujar Bima.
Pria penyandang disabilitas netra itu menambahkan, model ini menawarkan perspektif yang transformatif dengan menantang stigma dan diskriminasi yang melekat pada model-model disabilitas sebelumnya.
Model ini menggambarkan bahwa disabilitas yang dialami seseorang akibat adanya penindasan fisik, sosial dan interaksional.
Model sosial adalah sebuah gagasan yang berakar pada gerakan perjuangan kelompok atau komunitas orang dengan disabilitas. Di mana istilah "sosial" digunakan untuk menggambarkan kerugian atau marginalisasi yang diciptakan secara sosial dan dialami oleh orang-orang yang memiliki (atau dianggap memiliki) disabilitas.
“Inti dari model sosial dengan model sebelumnya adalah perbedaan antara pengecualian dan kerugian yang diciptakan oleh lingkungan atau masyarakat sosial di satu sisi, dan karena adanya ciri mental, intelektual, sensorik dan fisik yang beragam dari satu individu dengan individu lain di sisi lain,” papar Bima.
Advertisement
Akar Sejarah Pendekatan Sosial Disabilitas
Pada tahun 1981, Disabled People’s International (DPI) memperkenalkan pendekatan baru dalam memahami konsep disabilitas dengan membedakan dua aspek utama.
Pertama, keterbatasan fungsional dalam diri individu, yang disebabkan oleh hambatan fisik, mental, atau sensorik.
Kedua, kehilangan atau keterbatasan peluang untuk berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat secara umum, yang muncul akibat hambatan infrastruktur dan sosial.
Pendekatan ini memberikan landasan penting untuk memahami kondisi orang dengan disabilitas secara lebih holistik, tidak hanya memandang suatu permasalahan berasal dari individu tertentu, tetapi lebih dari hasil hambatan sosial dan interaksional di suatu masyarakat.
Sementara itu, di Inggris, Union of Physically Impaired Against Segregation (UPIAS) memperluas pemahaman ini dengan menawarkan perspektif yang lebih progresif, memandang disabilitas sebagai hasil dari penindasan di berbagai bentuk lini kehidupan sosial.
Menurut komunitas ini, disabilitas bukan sekadar kondisi biologis seseorang, tetapi suatu keadaan yang "ditargetkan" kepada suatu individu melalui mekanisme isolasi dan diskriminasi. Yang sangat berpotensi membatasi setiap partisipasi mereka dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
“Pandangan ini menjadi dasar dari model sosial disabilitas, yang menekankan bahwa disabilitas lebih disebabkan oleh struktur sosial yang tidak inklusif daripada oleh karakteristik unik individu itu sendiri,” ujar Bima.
UPIAS menegaskan bahwa ketidakadilan sosial ini dapat diatasi melalui perubahan sosial yang radikal, seperti memodifikasi infrastruktur, sosial dan interaksional di segala lini untuk meruntuhkan setiap hambatan yang berpotensi ditimbulkannya.
Revolusi Cara Pandang pada Penyandang Disabilitas
Ketua Dewan Kehormatan Ikatan Guru Tunanetra Indonesia (IGTI) ini menambahkan, pada awal 1980-an, aktivis hak disabilitas asal Inggris, Mike Oliver, memperkenalkan istilah model sosial disabilitas dengan merujuk pada gagasan UPIAS tentang perbedaan antara impairment (kondisi biologis) dan disability (penindasan sosial).
Oliver secara tajam mengkritik pendekatan tradisional yang ia sebut sebagai model individual disabilitas, yang melihat disabilitas sebagai "masalah" yang melekat pada suatu individu akibat keterbatasan fungsional mental, intelektual, sensorik atau fisik mereka.
Sebaliknya, model sosial yang dikembangkan oleh Oliver memindahkan fokus permasalahan dari suatu individu ke lingkungan sosial, yang menggarisbawahi peran struktur sosial, kebijakan, dan sikap diskriminatif sebagai akar penyebab segregasi (eksklusi sosial).
Pendekatan model sosial disabilitas tidak hanya merevolusi cara pandang terhadap disabilitas tetapi juga mendorong perjuangan untuk mencapai keadilan dan kesetaraan bagi orang dengan disabilitas.
Model sosial disabilitas telah memberikan kontribusi signifikan dalam mengubah paradigma masyarakat yang sebelumnya memandang orang dengan disabilitas sebagai individu yang "sakit" atau "perlu dikasihani."
Pendekatan ini tidak hanya menawarkan perspektif baru tetapi juga menjadi dasar penting bagi pembentukan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRPD). Referensi terhadap model sosial disabilitas muncul dalam empat jenis konteks utama, yang masing-masing dapat ditemukan dalam Undang-Undang tentang orang dengan disabilitas, sebagaimana yang memuat:
- kerangka acuan global,
- definisi disabilitas,
- promosi kesetaraan dan keadilan dalam inklusi sosial, serta
- penguatan solidaritas di antara berbagai kelompok masyarakat multikultural.
Advertisement
Inti dari Model Sosial Disabilitas
Sekali lagi, lanjut Bima, yang perlu ditekankan adalah bahwa inti dari model sosial terletak pada pemahaman bahwa hambatan yang dihadapi penyandang disabilitas bukan disebabkan oleh kondisi fisik, mental, atau sensorik mereka. Melainkan akibat dari berbagai hambatan yang diciptakan oleh lingkungan.
Hambatan ini mencakup aspek hukum, sosial, arsitektur, komunikasi, dan bentuk diskriminasi lainnya. Oleh karenanya, model sosial menciptakan paradigma yang adil dan setara bagi seluruh masyarakat, dengan menyoroti bagaimana struktur sosial yang tidak inklusif menjadi penyebab utama ketidaksetaraan dan keadilan yang terjadi di dalam suatu masyarakat.
Selain itu, model sosial disabilitas harus dilengkapi dengan kerangka berbasis hak asasi manusia yang memberikan perspektif lebih terarah dan terukur. Pendekatan komplementer ini mengakui penyandang disabilitas sebagai pemegang hak yang setara dengan anggota masyarakat lainnya.
Mereka berhak menentukan arah hidup mereka sendiri sejauh mana hal ini dapat dicapai oleh masyarakat umum. Kerangka ini juga mendefinisikan keterbatasan yang diberlakukan oleh lingkungan sosial dan fisik sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia, menegaskan bahwa setiap hambatan yang menghalangi inklusi penyandang disabilitas harus dianggap sebagai bentuk ketidakadilan yang memerlukan intervensi.
Kombinasi model sosial dan pendekatan berbasis hak ini menjadi landasan untuk mempromosikan kesetaraan, inklusi, dan penghormatan terhadap martabat penyandang disabilitas.