Tenun Bima & Art Deco Major Minor di Plaza Indonesia Fashion Week

Di Plaza Indonesia Fashion Week Spring Summer 2015, Major Minor tampilkan koleksi busana yang terinspirasi tenun Bima dan art deco.

oleh Bio In God Bless diperbarui 31 Mar 2015, 14:35 WIB
Diterbitkan 31 Mar 2015, 14:35 WIB
Major Minor - Plaza Indonesia Fashion Week Spring Summer 2015 1

Liputan6.com, Jakarta Tak dapat dielak bahwa Plaza Indonesia bukan hanya menjadi pioner dari first class luxurious mall di Indonesia tapi juga mampu mempertahankan legasinya selama 25 tahun berjalan. Namun satu “tanggung jawab” yang diemban dari pusat perbelanjaan yang telah berdiri sejak tahun 1990 tersebut muncul dari nama negri yang disandangnya.

Disadari maupun tidak oleh pengunjungnya, Plaza Indonesia yang merupakan bagian dari sejarah lifestyle tanah air perlu diukur dari tingkat representasinya terhadap keindonesiaan itu sendiri. Salah satunya dalam hal perkembangan fesyen nusantara. Bicara tentang industri yang melibatkan daya kreatif yang melintasi batas negara, masuknya sejumlah brand fesyen dunia dengan segala desainnya ke mal ini bukan hal yang patut ditakuti.

Yang dituntut adalah bagaimana pusat perbelanjaan ini tak lantas abai pada talenta-talenta rancang busana dalam negri. Di hari terakhir Plaza Indonesia Fashion Week Spring Summer 2015, Jumat 27 Maret 2015, satu rekognisi atas kepiawaian desainer fesyen tanah air mewujud pada gelaran fashion show koleksi label Major Minor yang digawangi oleh Ari Seputra dan Sari Seputra.

Mata Anda mungkin termasuk yang tak bisa langsung menyadari bahwa sebagian rancangan label tersebut di acara ini punya keterkaitan dengan budaya tradisional Indonesia. Wajar memang jika hal itu terjadi. Sebuah simple tank dress panjang kerah bundar yang bagian pinggang ke bawah berwarna putih dan bagian badannya diisi print garis geometris memiliki suara moderen yang kental.

Akan tetapi, perlu ditanyakan pada diri sendiri bahwa mungkin kesan seperti itu muncul karena kurangnya khasanah pengetahuan budaya tradisional Indonesia yang dimiliki. Bahwa kekurangan itu membuat pikiran tak mampu mengasosiasikannya dengan budaya lokal dalam negri. Sebab pada faktanya, tenun Bima adalah salah satu inspirasi yang digunakan Major Minor dalam membuat koleksi tersebut.

Warna-warni cerah nan bold dan garis zig-zag yang terdapat di sebagaian busana Major Minor tersebut merupakan cirikhas dari kain tradisional Bima. Satu hal menarik lain yang terdapat dalam konsep koleksi label ini di event tersebut ialah sari motif tenun Bima tersebut ditempatkan secara simultan dengan satu genre estetika dunia barat yang muncul pada tahun 1920-an sampai 1940-an, yakni art deco. Sebagaimana tenun Bima, guratan-guratan geometris juga menjadi salah satu karakter dari art deco.

Pada sebuah sheath dress putih selutut berhias susunan beads hitam berpola zig zag serasa lebur nafas tenun Bima dalam suasana art deco. Interpretasi art deco dengan garis geometrisnya terasa lebih intens pada busana-busana di sequence ke-2 fashion show ini. Rancangan-rancangan bersiluet konstruktif hadir dalam palet warna hitam-putih atau kuning dan biru.

Karya-karya dengan material berupa jaring-jaring kotak hadir dalam busana-busana ready-to-wear seperti blazer yang dipasangkan dengan pencil pants berbahan sama, midi skirt berpadu halter top, dan lain sebagainya. Dibanding busana-busana di sequence pertama, rangkaian desain yang ke-2 ini memiliki fashion statement dalam deep voice dimana inspirasi kelampauan dari art deco hadir dalam konstruksi yang lebih minimalis dan moderen. Jumpsuit putih yang garis tepinya berwarna hitam atau yellow top dengan padanan long vest berwarna sama adalah contohnya. (bio/ret)

 

(Fotografer: Panji Diksana - Liputan6.com)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya