Kenapa Investor Asing Masih Lakukan Aksi Jual, Ini Faktor dan Strategi Hadapi

Sejak awal tahun atau selama periode 1 Januari-23 April 2025, Investor asing tercatat melakukan net sell Rp 50,38 triliun di seluruh pasar.

oleh Pipit Ika Ramadhani Diperbarui 24 Apr 2025, 15:01 WIB
Diterbitkan 24 Apr 2025, 15:01 WIB
Setelah Dibuka Anjlok, IHSG Ditutup Turun 7,9 Persen
Bursa Efek Indonesia (BEI) sempat menghentikan perdagangan sementara selama 30 menit atau trading halt karena penurunan lebih dari 8%. Liputan6.com/Herman Zakharia)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Tekanan jual dari investor asing di pasar saham Indonesia masih berlanjut sejak awal tahun. Sejumlah faktor global dan domestik menjadi penyebab utama aksi net sell ini.

Berdasarkan data RTI, asing mencatatkan net sell Rp 247,31 miliar di seluruh pasar pada perdagangan Rabu, 23 April 2025. Sejak awal tahun atau selama periode 1 Januari-23 April 2025, investor asing tercatat melakukan net sell Rp 50,38 triliun di seluruh pasar.

Menurut VP Marketing, Strategy and Planning Kiwoom Sekuritas Indonesia, Oktavianus Audi, setidaknya terdapat empat sentimen utama yang mendorong keluarnya dana asing dari pasar modal Indonesia. Pertama, meningkatnya ketidakpastian ekonomi global yang mendorong investor untuk mengalihkan aset ke instrumen safe haven dan risk-free. Terutama pasca pengumuman kenaikan tarif impor oleh mantan Presiden AS, Donald Trump, terhadap sejumlah produk Indonesia.

"Kedua, pelemahan nilai tukar Rupiah yang mencerminkan ketidakstabilan ekonomi dalam negeri," beber Audi kepada Liputan6.com, Kamis (24/4/2025).

Indonesia Kurang Kompetitif

Ketiga, lanjut dia, suku bunga acuan The Fed (FFR) yang masih berada di level tinggi serta spread yang tipis terhadap BI Rate membuat Indonesia kurang kompetitif dari sisi imbal hasil. Keempat, defisit APBN di awal tahun 2025 yang cukup besar menimbulkan kekhawatiran terhadap arah kebijakan fiskal ke depan."

Meski demikian, peluang pembalikan arah aliran dana asing dinilai masih terbuka. Pemangkasan suku bunga oleh BI dan potensi penurunan FFR di paruh kedua tahun ini dapat mendorong investor kembali melirik pasar negara berkembang.

"Rilis kinerja keuangan emiten di kuartal I 2025 yang diperkirakan tetap resilien akan menjadi katalis positif, terutama jika disertai dengan penguatan Rupiah ke kisaran target pemerintah di level Rp 16.000 per dolar AS," kata Audi.

Untuk saat ini, investor disarankan bersikap wait and see hingga hasil kinerja kuartal I 2025 dirilis. Namun, untuk jangka panjang, peluang investasi masih terbuka lebar, terutama pada saham-saham unggulan yang memiliki fundamental kuat.

Beberapa rekomendasi saham pilihan mencakup:

  • BBCA – Buy, target harga Rp 11.150
  • BMRI – Buy, target harga Rp 7.200
  • TLKM – Buy, target harga Rp 3.300
  • BRIS – Buy, target harga Rp 3.190
  • PGAS – Trading buy, target harga Rp 1.820.

 

Prospek Pasar Dalam Negeri

Pasar saham Indonesia naik 23,09 poin
Pekerja mengamati pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di salah satu perusahaan Sekuritas, Jakarta, Rabu (14/11). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil bertahan di zona hijau pada penutupan perdagangan hari ini. (Liputan6.com/Angga Yuniar)... Selengkapnya

Pengamat Pasar Modal sekaligus Founder Stocknow.id, Hendra Wardhana mencermati laju Indeks Harga Saham HGabungan (IHSG) pekan ini mencerminkan mulai pulihnya kepercayaan investor terhadap prospek pasar domestik. IHSG naik 0,38 persen ke posisi 6.659 pada penutupan sesi I hari ini, Kamis 24 April 2025. Dalam perdagangan lima hari terakhir, IHSG naik 3,94 persen.

"Katalis utama datang dari ekspektasi derasnya aliran dana institusional dalam negeri, terutama dari lembaga sovereign wealth fund Danantara Indonesia dan BPJS Ketenagakerjaan, yang menjadi motor penggerak baru di tengah tekanan eksternal berupa pelemahan nilai tukar rupiah," kata Hendra.

Danantara berpotensi menerima dividen jumbo senilai Rp 59,11 triliun dari bank-bank BUMN pada akhir April. Sebagian besar dana ini diperkirakan akan diinvestasikan ke pasar saham domestik sebagai bagian dari strategi diversifikasi aset jangka panjang. Sinyal ini disambut positif oleh pelaku pasar, terutama karena didukung pula oleh rencana strategis BPJS Ketenagakerjaan untuk menggandakan porsi alokasi saham dalam portofolionya dari 10% menjadi 20% dalam tiga tahun ke depan.

"Proyeksi arus dana sekitar Rp25 triliun per tahun dari BPJS-TK ke pasar saham menjadi faktor penting dalam menopang likuiditas serta mengurangi ketergantungan pada investor asing," kata Hendra.

 

Dorongan Otoritas

Akhir 2019, IHSG Ditutup Melemah
Pengunjung melintas dilayar pergerakan saham di BEI, Jakarta, Senin (30/12/2019). Pada penutupan IHSG 2019 ditutup melemah cukup signifikan 29,78 (0,47%) ke posisi 6.194.50. (Liputan6.com/Angga Yuniar)... Selengkapnya

Sinyal keberpihakan terhadap pasar juga datang dari regulator. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperpanjang kebijakan pelonggaran buyback saham tanpa melalui RUPS hingga September 2025, dengan batas maksimal 20% dari modal disetor. Kebijakan ini dinilai meningkatkan daya tarik saham-saham emiten domestik sekaligus menjaga kestabilan harga di tengah volatilitas global.

Secara keseluruhan, Hendra menilai penguatan IHSG kali ini tidak semata-mata didorong oleh faktor teknikal jangka pendek, tetapi lebih kepada optimisme pasar terhadap peningkatan partisipasi institusi domestik yang membawa potensi re-rating valuasi saham Indonesia.

"Jika realisasi dana Danantara dan BPJS TK benar-benar mengalir ke bursa, maka semester II 2025 dapat menjadi momen strategis untuk akumulasi saham-saham dengan fundamental kuat dan likuiditas tinggi," pungkas Hendra.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Produksi Liputan6.com

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya