Cara Menghitung Pajak Penghasilan Panduan Lengkap untuk Wajib Pajak

Pelajari cara menghitung pajak penghasilan dengan mudah dan akurat. Panduan lengkap untuk memahami aturan perpajakan dan menghitung PPh Anda.

oleh Edelweis Lararenjana diperbarui 18 Jan 2025, 13:10 WIB
Diterbitkan 18 Jan 2025, 13:08 WIB
cara menghitung pajak penghasilan
cara menghitung pajak penghasilan ©Ilustrasi dibuat AI... Selengkapnya
Daftar Isi

Liputan6.com, Jakarta Pajak penghasilan (PPh) merupakan salah satu kewajiban finansial yang harus dipenuhi oleh setiap warga negara yang memiliki penghasilan. Memahami cara menghitung pajak penghasilan dengan benar sangat penting agar Anda dapat memenuhi kewajiban perpajakan dengan tepat dan menghindari sanksi. Artikel ini akan membahas secara komprehensif tentang cara menghitung pajak penghasilan, mulai dari dasar-dasar perpajakan hingga perhitungan yang lebih kompleks.

Pengertian Pajak Penghasilan

Pajak Penghasilan (PPh) adalah pungutan resmi yang dibebankan pada penghasilan perorangan, perusahaan atau badan hukum lainnya. Pajak ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Tujuan utama dari pengenaan PPh adalah untuk membiayai pengeluaran negara dan redistribusi pendapatan.

PPh merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang signifikan dan berperan penting dalam pembangunan nasional. Prinsip dasarnya adalah semakin tinggi penghasilan seseorang atau badan, semakin besar pula pajak yang harus dibayarkan. Hal ini sejalan dengan prinsip keadilan dalam perpajakan.

Dalam konteks Indonesia, PPh dibagi menjadi beberapa jenis, antara lain:

  • PPh 21: Pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi.
  • PPh 22: Pajak yang dipungut oleh bendaharawan pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang, dan badan-badan tertentu untuk memungut pajak dari wajib pajak yang melakukan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.
  • PPh 23: Pajak yang dipotong atas penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan, selain yang telah dipotong PPh 21.
  • PPh 25: Angsuran PPh yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan dalam tahun pajak berjalan.
  • PPh Final: Pajak penghasilan yang bersifat final, artinya setelah pelunasannya, kewajiban pajak telah selesai dan penghasilan yang dikenakan pajak final tidak digabungkan dengan jenis penghasilan lain yang terkena pajak bersifat tidak final.

Memahami konsep dasar PPh ini sangat penting sebagai langkah awal dalam menghitung pajak penghasilan. Setiap wajib pajak perlu mengetahui jenis PPh yang berlaku untuk kondisi mereka, sehingga dapat melakukan perhitungan dan pelaporan pajak dengan tepat.

Subjek dan Objek Pajak

Untuk dapat menghitung pajak penghasilan dengan akurat, penting untuk memahami siapa yang menjadi subjek pajak dan apa saja yang termasuk objek pajak. Pemahaman ini akan membantu Anda menentukan kewajiban pajak dan basis penghitungan yang tepat.

Subjek Pajak

Subjek pajak adalah pihak-pihak yang potensial dikenakan pajak penghasilan. Berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan, subjek pajak meliputi:

  • Orang pribadi
  • Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak
  • Badan, termasuk perseroan terbatas, perseroan komanditer, BUMN/BUMD, firma, kongsi, koperasi, yayasan, lembaga, dana pensiun, dan bentuk usaha lainnya
  • Bentuk Usaha Tetap (BUT)

Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri. Perbedaan ini penting karena mempengaruhi cara penghitungan dan pelaporan pajak.

Objek Pajak

Objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun. Beberapa contoh objek pajak meliputi:

  • Gaji, upah, komisi, bonus, dan imbalan kerja lainnya
  • Honorarium, hadiah, dan penghargaan
  • Laba usaha
  • Keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta
  • Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya
  • Bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang
  • Dividen
  • Royalti
  • Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
  • Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala

Namun, ada juga beberapa jenis penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak, seperti:

  • Bantuan atau sumbangan
  • Warisan
  • Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau penyertaan modal
  • Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah
  • Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa

Pemahaman yang baik tentang subjek dan objek pajak akan membantu Anda dalam menentukan penghasilan mana yang harus dilaporkan dan dihitung pajaknya. Hal ini juga akan membantu dalam melakukan perencanaan pajak yang efektif dan legal.

Tarif Pajak Penghasilan

Tarif pajak penghasilan di Indonesia menganut sistem progresif, yang berarti semakin tinggi penghasilan, semakin tinggi pula tarif pajak yang dikenakan. Berikut adalah rincian tarif pajak penghasilan untuk Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri:

  • Penghasilan sampai dengan Rp50 juta: tarif 5%
  • Penghasilan di atas Rp50 juta sampai dengan Rp250 juta: tarif 15%
  • Penghasilan di atas Rp250 juta sampai dengan Rp500 juta: tarif 25%
  • Penghasilan di atas Rp500 juta: tarif 30%

Untuk Wajib Pajak Badan dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT), tarif yang berlaku adalah tarif tunggal sebesar 22% yang mulai berlaku pada tahun pajak 2022.

Selain itu, ada juga tarif pajak khusus yang berlaku untuk jenis penghasilan tertentu, seperti:

  • Tarif PPh Final untuk UMKM dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam satu tahun pajak: 0,5%
  • Tarif PPh Final untuk bunga deposito dan tabungan: 20%
  • Tarif PPh Final untuk transaksi penjualan saham di bursa efek: 0,1% dari nilai transaksi
  • Tarif PPh Final untuk pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan: 2,5% dari nilai pengalihan

Penting untuk dicatat bahwa tarif pajak dapat berubah sesuai dengan kebijakan pemerintah. Oleh karena itu, selalu pastikan untuk merujuk pada peraturan terbaru saat melakukan perhitungan pajak.

Dalam menghitung pajak penghasilan, tarif ini akan diterapkan pada Penghasilan Kena Pajak (PKP). PKP diperoleh dari penghasilan bruto dikurangi biaya-biaya yang diperbolehkan (untuk Wajib Pajak yang menyelenggarakan pembukuan) atau dari penghasilan bruto dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk Wajib Pajak Orang Pribadi.

Memahami tarif pajak dengan baik akan membantu Anda dalam melakukan perencanaan keuangan dan pajak yang lebih efektif. Misalnya, jika penghasilan Anda berada di ambang batas tarif yang lebih tinggi, Anda mungkin ingin mempertimbangkan untuk memanfaatkan fasilitas pengurangan pajak yang tersedia untuk menurunkan Penghasilan Kena Pajak Anda.

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) adalah jumlah penghasilan tertentu yang tidak dikenai pajak. PTKP merupakan fasilitas yang diberikan pemerintah kepada Wajib Pajak Orang Pribadi sebagai pengurang penghasilan bruto dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak. Besaran PTKP disesuaikan dari waktu ke waktu untuk mengikuti perkembangan ekonomi dan kebutuhan hidup masyarakat.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.010/2016, besaran PTKP yang berlaku saat ini adalah sebagai berikut:

  • Rp54.000.000 per tahun untuk diri Wajib Pajak Orang Pribadi
  • Rp4.500.000 tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin
  • Rp54.000.000 tambahan untuk istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami
  • Rp4.500.000 tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 orang untuk setiap keluarga

Contoh penerapan PTKP:

  1. Wajib Pajak lajang: PTKP = Rp54.000.000
  2. Wajib Pajak kawin: PTKP = Rp54.000.000 + Rp4.500.000 = Rp58.500.000
  3. Wajib Pajak kawin dengan 1 anak: PTKP = Rp54.000.000 + Rp4.500.000 + Rp4.500.000 = Rp63.000.000
  4. Wajib Pajak kawin dengan istri yang bekerja dan 2 anak: PTKP = Rp54.000.000 + Rp4.500.000 + Rp54.000.000 + (2 x Rp4.500.000) = Rp121.500.000

PTKP sangat penting dalam perhitungan pajak penghasilan karena menentukan apakah seseorang wajib membayar pajak atau tidak. Jika penghasilan setahun seseorang kurang dari PTKP, maka orang tersebut tidak wajib membayar pajak penghasilan.

Cara menghitung Penghasilan Kena Pajak dengan mempertimbangkan PTKP adalah sebagai berikut:

  1. Hitung total penghasilan bruto selama satu tahun
  2. Kurangkan biaya jabatan (5% dari penghasilan bruto, maksimal Rp6.000.000 per tahun)
  3. Kurangkan iuran pensiun dan iuran Jaminan Hari Tua yang dibayar sendiri
  4. Kurangkan PTKP sesuai dengan status Wajib Pajak
  5. Hasil pengurangan ini adalah Penghasilan Kena Pajak

Memahami dan memanfaatkan PTKP dengan benar dapat membantu Anda mengoptimalkan kewajiban pajak Anda secara legal. Pastikan untuk selalu memperbarui informasi tentang besaran PTKP karena nilainya dapat berubah sesuai kebijakan pemerintah.

Cara Menghitung PPh 21

PPh 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi. Berikut adalah langkah-langkah untuk menghitung PPh 21:

  1. Hitung Penghasilan Bruto:
    • Gaji pokok
    • Tunjangan-tunjangan (transportasi, makan, lembur, dll)
    • Uang lembur
    • Bonus, THR, gratifikasi (jika ada)
  2. Hitung Penghasilan Neto:
    • Penghasilan Bruto - Biaya Jabatan (5% dari Penghasilan Bruto, maksimal Rp6.000.000 per tahun)
    • Kurangkan iuran pensiun dan iuran Jaminan Hari Tua yang dibayar sendiri
  3. Hitung Penghasilan Neto setahun:
    • Penghasilan Neto per bulan x 12 bulan
    • Tambahkan penghasilan tidak teratur seperti bonus atau THR (jika ada)
  4. Hitung Penghasilan Kena Pajak (PKP):
    • Penghasilan Neto setahun - PTKP
  5. Hitung PPh 21 terutang:
    • Terapkan tarif progresif pada PKP
    • 5% untuk PKP sampai dengan Rp50 juta
    • 15% untuk PKP di atas Rp50 juta sampai dengan Rp250 juta
    • 25% untuk PKP di atas Rp250 juta sampai dengan Rp500 juta
    • 30% untuk PKP di atas Rp500 juta
  6. Hitung PPh 21 per bulan:
    • PPh 21 terutang / 12 bulan

Contoh perhitungan:

Andi adalah karyawan swasta dengan gaji pokok Rp10.000.000 per bulan. Ia mendapat tunjangan transportasi Rp1.000.000 dan tunjangan makan Rp500.000 per bulan. Andi berstatus menikah dengan 1 anak.

  1. Penghasilan Bruto: Rp10.000.000 + Rp1.000.000 + Rp500.000 = Rp11.500.000
  2. Penghasilan Neto: Rp11.500.000 - (5% x Rp11.500.000) = Rp10.925.000
  3. Penghasilan Neto setahun: Rp10.925.000 x 12 = Rp131.100.000
  4. PKP: Rp131.100.000 - Rp63.000.000 (PTKP untuk K/1) = Rp68.100.000
  5. PPh 21 terutang: (Rp50.000.000 x 5%) + (Rp18.100.000 x 15%) = Rp2.500.000 + Rp2.715.000 = Rp5.215.000
  6. PPh 21 per bulan: Rp5.215.000 / 12 = Rp434.583

Jadi, PPh 21 yang harus dipotong dari gaji Andi setiap bulan adalah Rp434.583.

Perlu diingat bahwa perhitungan ini dapat berbeda-beda tergantung pada kebijakan perusahaan dalam memberikan tunjangan (gross up, gross, atau net) dan adanya penghasilan tidak teratur seperti bonus atau THR. Selalu pastikan untuk mengikuti peraturan perpajakan terbaru dalam melakukan perhitungan PPh 21.

Cara Menghitung PPh 22

PPh 22 adalah pajak yang dipungut oleh bendaharawan pemerintah, badan-badan tertentu, dan Wajib Pajak Badan tertentu yang melakukan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain. Cara menghitung PPh 22 bervariasi tergantung pada jenis transaksi atau kegiatan yang dilakukan. Berikut adalah beberapa contoh perhitungan PPh 22:

1. PPh 22 atas Impor

Tarif PPh 22 atas impor adalah sebagai berikut:

  • 7,5% dari nilai impor, jika menggunakan Angka Pengenal Importir (API)
  • 15% dari nilai impor, jika tidak menggunakan API
  • 0,5% dari nilai impor, untuk kedelai, gandum, dan tepung terigu

Rumus: PPh 22 = Tarif x Nilai Impor

Contoh: Sebuah perusahaan mengimpor barang senilai Rp1.000.000.000 menggunakan API.

PPh 22 = 7,5% x Rp1.000.000.000 = Rp75.000.000

2. PPh 22 atas Pembelian Barang oleh Pemerintah

Tarif PPh 22 atas pembelian barang oleh instansi pemerintah adalah 1,5% dari harga pembelian tidak termasuk PPN.

Rumus: PPh 22 = 1,5% x Harga Pembelian (tidak termasuk PPN)

Contoh: Instansi pemerintah membeli peralatan kantor seharga Rp100.000.000 (belum termasuk PPN).

PPh 22 = 1,5% x Rp100.000.000 = Rp1.500.000

3. PPh 22 atas Penjualan Bahan Bakar Minyak, Gas, dan Pelumas

Tarif PPh 22 atas penjualan BBM, gas, dan pelumas oleh Pertamina, badan usaha lainnya, atau produsen pelumas kepada penyalur/agen bervariasi:

  • 0,25% dari penjualan tidak termasuk PPN untuk penjualan BBM kepada SPBU Pertamina
  • 0,3% dari penjualan tidak termasuk PPN untuk penjualan BBM kepada SPBU bukan Pertamina
  • 0,3% dari penjualan tidak termasuk PPN untuk penjualan BBM kepada pihak selain SPBU
  • 0,3% dari penjualan tidak termasuk PPN untuk penjualan gas
  • 0,3% dari penjualan tidak termasuk PPN untuk penjualan pelumas

Rumus: PPh 22 = Tarif x Nilai Penjualan (tidak termasuk PPN)

Contoh: Pertamina menjual BBM senilai Rp1.000.000.000 (tidak termasuk PPN) kepada SPBU Pertamina.

PPh 22 = 0,25% x Rp1.000.000.000 = Rp2.500.000

4. PPh 22 atas Penjualan Hasil Produksi Industri Semen, Industri Kertas, Industri Baja, dan Industri Otomotif

Tarif PPh 22 untuk penjualan hasil produksi industri ini adalah 0,25% dari DPP PPN.

Rumus: PPh 22 = 0,25% x DPP PPN

Contoh: Sebuah pabrik semen menjual produknya dengan DPP PPN sebesar Rp500.000.000.

PPh 22 = 0,25% x Rp500.000.000 = Rp1.250.000

Penting untuk diingat bahwa ada beberapa pengecualian dan ketentuan khusus dalam pengenaan PPh 22. Misalnya, impor barang tertentu yang dibebaskan dari pemungutan PPh 22, atau pembelian barang dengan nilai kurang dari Rp2.000.000 (tidak termasuk PPN) yang dikecualikan dari pemungutan PPh 22.

Dalam praktiknya, perhitungan dan pemungutan PPh 22 biasanya dilakukan oleh pihak yang ditunjuk sebagai pemungut pajak. Namun, pemahaman tentang cara menghitung PPh 22 tetap penting bagi Wajib Pajak untuk memastikan kepatuhan pajak dan perencanaan keuangan yang tepat.

Cara Menghitung PPh 23

PPh 23 adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan berupa dividen, bunga, royalti, hadiah dan penghargaan, sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, serta imbalan jasa tertentu. Tarif PPh 23 ada dua, yaitu 15% dan 2% tergantung pada jenis penghasilannya. Berikut adalah cara menghitung PPh 23 untuk berbagai jenis penghasilan:

1. Perhitungan PPh 23 dengan Tarif 15%

Tarif 15% dikenakan atas:

  • Dividen
  • Bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang
  • Royalti
  • Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong PPh 21

Rumus: PPh 23 = 15% x Penghasilan Bruto

Contoh: PT ABC menerima dividen sebesar Rp100.000.000 dari anak perusahaannya.

PPh 23 = 15% x Rp100.000.000 = Rp15.000.000

2. Perhitungan PPh 23 dengan Tarif 2%

Tarif 2% dikenakan atas:

  • Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa tanah dan/atau bangunan
  • Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh 21

Rumus: PPh 23 = 2% x Penghasilan Bruto

Contoh: Sebuah perusahaan menyewa peralatan kantor senilai Rp50.000.000 per tahun.

PPh 23 = 2% x Rp50.000.000 = Rp1.000.000

3. Perhitungan PPh 23 untuk Wajib Pajak yang Tidak Memiliki NPWP

Jika penerima penghasilan tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), maka tarif pemotongan PPh 23 menjadi lebih tinggi, yaitu:

  • 30% lebih tinggi dari tarif normal untuk penghasilan yang dikenakan tarif 15%
  • 100% lebih tinggi dari tarif normal untuk penghasilan yang dikenakan tarif 2%

Contoh: Sebuah konsultan yang tidak memiliki NPWP menerima imbalan jasa sebesar Rp20.000.000.

PPh 23 = 4% (2% x 200%) x Rp20.000.000 = Rp800.000

4. Perhitungan PPh 23 untuk Wajib Pajak dengan Surat Keterangan Bebas (SKB)

Dalam beberapa kasus, Wajib Pajak dapat mengajukan Surat Keterangan Bebas (SKB) dari pemotongan PPh 23. Jika SKB disetujui oleh Direktorat Jenderal Pajak, maka tidak ada pemotongan PPh 23 yang dilakukan.

Penting untuk diingat bahwa PPh 23 dipotong oleh pihak yang membayarkan penghasilan (pemotong pajak) dan bukan oleh penerima penghasilan. Namun, bagi penerima penghasilan, PPh 23 yang telah dipotong dapat dikreditkan terhadap PPh terutang pada akhir tahun pajak.

Dalam praktiknya, perhitungan PPh 23 mungkin terlihat sederhana, namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:

  1. Pastikan untuk mengidentifikasi dengan benar jenis penghasilan yang diterima, karena ini akan menentukan tarif yang digunakan.
  2. Perhatikan apakah ada pengecualian atau pembebasan dari pemotongan PPh 23 untuk jenis penghasilan tertentu.
  3. Jika Anda adalah pihak yang menerima penghasilan, pastikan bahwa PPh 23 yang dipotong sudah benar dan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
  4. Jika Anda adalah pihak yang melakukan pemotongan, pastikan untuk menyetorkan PPh 23 yang telah dipotong ke kas negara dan melaporkannya dalam SPT Masa PPh 23.

Dengan memahami cara menghitung PPh 23 dengan benar, baik pemberi penghasilan maupun penerima penghasilan dapat memenuhi kewajiban perpajakan mereka dengan tepat dan menghindari sanksi pajak yang mungkin timbul akibat kesalahan perhitungan atau pelaporan.

Cara Menghitung PPh 25

PPh 25 adalah angsuran Pajak Penghasilan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan dalam tahun pajak berjalan. Tujuan dari PPh 25 adalah untuk meringankan beban Wajib Pajak dalam membayar pajak terutang pada akhir tahun. Berikut adalah cara menghitung PPh 25 untuk berbagai jenis Wajib Pajak:

1. Perhitungan PPh 25 untuk Wajib Pajak Badan

Untuk Wajib Pajak Badan, PPh 25 dihitung berdasarkan PPh terutang menurut SPT Tahunan PPh tahun pajak yang lalu, setelah dikurangi dengan PPh yang telah dipotong atau dipungut, dibagi 12.

Rumus: PPh 25 = (PPh terutang tahun lalu - PPh yang dipotong/dipungut) / 12

Contoh: PT XYZ memiliki PPh terutang tahun lalu sebesar Rp120.000.000 dan PPh yang telah dipotong/dipungut sebesar Rp24.000.000.

PPh 25 = (Rp120.000.000 - Rp24.000.000) / 12 = Rp8.000.000 per bulan

2. Perhitungan PPh 25 untuk Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (WP-OPPT)

Untuk WP-OPPT, PPh 25 dihitung berdasarkan 0,75% dari peredaran bruto bulan sebelumnya.

Rumus: PPh 25 = 0,75% x Peredaran Bruto Bulan Sebelumnya

Contoh: Seorang pengusaha memiliki peredaran bruto bulan lalu sebesar Rp200.000.000.

PPh 25 = 0,75% x Rp200.000.000 = Rp1.500.000

3. Perhitungan PPh 25 untuk Wajib Pajak Orang Pribadi Selain Pengusaha Tertentu

Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi selain pengusaha tertentu, perhitungan PPh 25 mirip dengan Wajib Pajak Badan, yaitu berdasarkan PPh terutang menurut SPT Tahunan PPh tahun pajak yang lalu, setelah dikurangi dengan PPh yang telah dipotong atau dipungut, dibagi 12.

Rumus: PPh 25 = (PPh terutang tahun lalu - PPh yang dipotong/dipungut) / 12

Contoh: Seorang karyawan memiliki PPh terutang tahun lalu sebesar Rp24.000.000 dan PPh yang telah dipotong (PPh 21) sebesar Rp18.000.000.

PPh 25 = (Rp24.000.000 - Rp18.000.000) / 12 = Rp500.000 per bulan

4. Perhitungan PPh 25 untuk Wajib Pajak Baru

Untuk Wajib Pajak baru, perhitungan PPh 25 didasarkan pada perkiraan penghasilan neto fiskal dalam satu tahun pajak.

Rumus untuk Wajib Pajak Badan: PPh 25 = (Tarif PPh x Perkiraan Penghasilan Neto Fiskal) / 12

Contoh: Sebuah perusahaan baru memperkirakan penghasilan neto fiskal tahun pertamanya sebesar Rp1.000.000.000.

PPh 25 = (22% x Rp1.000.000.000) / 12 = Rp18.333.333 per bulan

Rumus untuk Wajib Pajak Orang Pribadi: PPh 25 = (Tarif PPh x (Perkiraan Penghasilan Neto - PTKP)) / 12

Contoh: Seorang pengusaha baru memperkirakan penghasilan neto tahun pertamanya sebesar Rp500.000.000 dan memiliki PTKP Rp54.000.000 (status TK/0).

PPh 25 = ((Rp50.000.000 x 5%) + (Rp200.000.000 x 15%) + (Rp196.000.000 x 25%)) / 12 = Rp6.708.333 per bulan

Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam perhitungan dan pembayaran PPh 25:

  1. PPh 25 harus dibayarkan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya.
  2. Jika tanggal 15 jatuh pada hari libur, pembayaran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
  3. Wajib Pajak dapat mengajukan pengurangan besarnya angsuran PPh 25 jika diperkirakan PPh yang akan terutang untuk tahun pajak berjalan akan lebih kecil dari tahun pajak sebelumnya.
  4. Wajib Pajak juga dapat mengajukan penundaan pembayaran PPh 25 jika mengalami kesulitan likuiditas atau force majeure.
  5. Keterlambatan pembayaran PPh 25 akan dikenakan sanksi administrasi berupa bunga 2% per bulan.

Dengan memahami cara menghitung PPh 25 dengan benar, Wajib Pajak dapat merencanakan arus kas mereka dengan lebih baik dan memastikan kepatuhan terhadap kewajiban perpajakan. Selalu pastikan untuk mengikuti peraturan perpajakan terbaru dan berkonsultasi dengan konsultan pajak jika diperlukan untuk memastikan perhitungan yang akurat.

Cara Menghitung PPh Final

PPh Final adalah pajak penghasilan yang bersifat final, artinya setelah pelunasannya, kewajiban pajak telah selesai dan penghasilan yang dikenakan pajak final tidak digabungkan dengan jenis penghasilan lain yang terkena pajak bersifat tidak final. Berikut adalah cara menghitung PPh Final untuk beberapa jenis penghasilan:

1. PPh Final atas Bunga Deposito dan Tabungan

Tarif PPh Final untuk bunga deposito dan tabungan adalah 20%.

Rumus: PPh Final = 20% x Jumlah Bruto Bunga

Contoh: Anda memiliki deposito yang menghasilkan bunga Rp10.000.000 per tahun.

PPh Final = 20% x Rp10.000.000 = Rp2.000.000

2. PPh Final atas Penghasilan dari Transaksi Saham di Bursa Efek

Tarif PPh Final untuk transaksi penjualan saham di bursa efek adalah 0,1% dari nilai transaksi.

Rumus: PPh Final = 0,1% x Nilai Transaksi Penjualan

Contoh: Anda menjual saham dengan nilai transaksi Rp100.000.000.

PPh Final = 0,1% x Rp100.000.000 = Rp100.000

3. PPh Final atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan

Tarif PPh Final untuk penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan adalah 10% dari jumlah bruto nilai persewaan.

Rumus: PPh Final = 10% x Nilai Bruto Sewa

Contoh: Anda menyewakan ruko dengan nilai sewa Rp50.000.000 per tahun.

PPh Final = 10% x Rp50.000.000 = Rp5.000.000

4. PPh Final atas Penghasilan dari Usaha dengan Peredaran Bruto Tertentu (UMKM)

Tarif PPh Final untuk UMKM dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam satu tahun pajak adalah 0,5%.

Rumus: PPh Final = 0,5% x Peredaran Bruto

Contoh: Sebuah UMKM memiliki peredaran bruto Rp3.000.000.000 dalam satu tahun pajak.

PPh Final = 0,5% x Rp3.000.000.000 = Rp15.000.000

5. PPh Final atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan

Tarif PPh Final untuk pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah 2,5% dari nilai pengalihan (atau 1% untuk rumah sederhana dan rusun sederhana).

Rumus: PPh Final = 2,5% x Nilai Pengalihan

Contoh: Anda menjual tanah dengan nilai pengalihan Rp1.000.000.000.

PPh Final = 2,5% x Rp1.000.000.000 = Rp25.000.000

6. PPh Final atas Dividen yang Diterima Orang Pribadi Dalam Negeri

Tarif PPh Final untuk dividen yang diterima oleh orang pribadi dalam negeri adalah 10%.

Rumus: PPh Final = 10% x Jumlah Dividen

Contoh: Anda menerima dividen sebesar Rp20.000.000.

PPh Final = 10% x Rp20.000.000 = Rp2.000.000

Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam penghitungan dan pembayaran PPh Final:

  1. PPh Final umumnya dipotong oleh pihak yang membayarkan penghasilan.
  2. Untuk beberapa jenis penghasilan, seperti penghasilan UMKM, Wajib Pajak harus menyetor sendiri PPh Finalnya.
  3. PPh Final tidak dapat dikreditkan terhadap PPh terutang pada akhir tahun pajak.
  4. Penghasilan yang dikenakan PPh Final tidak perlu digabungkan dengan penghasilan lain dalam penghitungan PPh pada SPT Tahunan, tetapi tetap dilaporkan.
  5. Tarif PPh Final dapat berbeda-beda tergantung pada jenis penghasilan dan kebijakan pemerintah.

Memahami cara menghitung PPh Final dengan benar sangat penting bagi Wajib Pajak untuk memastikan kepatuhan terhadap peraturan perpajakan. Selalu pastikan untuk mengikuti perkembangan peraturan perpajakan terbaru, karena tarif dan ketentuan PPh Final dapat berubah sesuai dengan kebijakan pemerintah.

Penghasilan Bruto dan Neto

Dalam konteks perpajakan, pemahaman tentang penghasilan bruto dan penghasilan neto sangat penting karena keduanya memiliki peran yang berbeda dalam penghitungan pajak penghasilan. Berikut adalah penjelasan detail tentang kedua konsep ini:

Penghasilan Bruto

Penghasilan bruto adalah seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam suatu periode pajak sebelum dikurangi dengan biaya-biaya yang diperbolehkan menurut ketentuan perpajakan. Penghasilan bruto mencakup semua jenis penghasilan, baik yang rutin maupun tidak rutin, yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia.

Contoh penghasilan bruto meliputi:

  • Gaji dan tunjangan
  • Pendapatan dari usaha
  • Keuntungan dari penjualan aset
  • Bunga
  • Dividen
  • Royalti
  • Sewa
  • Hadiah atau penghargaan

Dalam konteks perusahaan, penghasilan bruto sering disebut juga sebagai omzet atau peredaran usaha.

Penghasilan Neto

Penghasilan neto adalah penghasilan bruto setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang diperbolehkan menurut ketentuan perpajakan. Penghasilan neto ini yang akan menjadi dasar penghitungan Penghasilan Kena Pajak (PKP).

Untuk menghitung penghasilan neto, ada dua metode yang dapat digunakan:

  1. Pembukuan: Metode ini digunakan oleh Wajib Pajak yang melakukan pembukuan. Penghasilan neto dihitung dengan mengurangkan biaya-biaya yang diperbolehkan dari penghasilan bruto.
  2. Norma Penghitungan Penghasilan Neto: Metode ini digunakan oleh Wajib Pajak tertentu yang diizinkan untuk tidak melakukan pembukuan. Penghasilan neto dihitung dengan mengalikan penghasilan bruto dengan persentase tertentu yang telah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk masing-masing jenis usaha.

Perbedaan antara Penghasilan Bruto dan Neto

Berikut adalah beberapa perbedaan penting antara penghasilan bruto dan neto:

  1. Definisi:
    • Penghasilan Bruto: Total penghasilan sebelum dikurangi biaya-biaya.
    • Penghasilan Neto: Penghasilan setelah dikurangi biaya-biaya yang diperbolehkan.
  2. Komponen:
    • Penghasilan Bruto: Mencakup semua jenis penghasilan.
    • Penghasilan Neto: Hanya mencakup penghasilan yang tersisa setelah pengurangan biaya-biaya.
  3. Penggunaan dalam Perpajakan:
    • Penghasilan Bruto: Digunakan untuk menentukan kewajiban pembukuan dan pelaporan pajak.
    • Penghasilan Neto: Digunakan sebagai dasar penghitungan Penghasilan Kena Pajak.
  4. Pengaruh terhadap Pajak:
    • Penghasilan Bruto: Umumnya tidak langsung mempengaruhi besarnya pajak yang harus dibayar.
    • Penghasilan Neto: Langsung mempengaruhi besarnya Penghasilan Kena Pajak dan pajak yang harus dibayar.

Contoh Perhitungan

Misalkan sebuah toko memiliki data keuangan sebagai berikut:

  • Penjualan: Rp500.000.000
  • Harga Pokok Penjualan: Rp300.000.000
  • Biaya Operasional: Rp100.000.000

Maka:

  • Penghasilan Bruto = Rp500.000.000
  • Penghasilan Neto = Rp500.000.000 - Rp300.000.000 - Rp100.000.000 = Rp100.000.000

Dalam hal ini, Penghasilan Kena Pajak akan dihitung berdasarkan penghasilan neto sebesar Rp100.000.000, bukan berdasarkan penghasilan bruto Rp500.000.000.

Memahami perbedaan antara penghasilan bruto dan neto sangat penting dalam perencanaan pajak. Wajib Pajak perlu memastikan bahwa mereka mencatat semua penghasilan bruto dengan benar dan mengklaim semua biaya yang diperbolehkan untuk menghitung penghasilan neto secara akurat. Hal ini akan membantu dalam menghitung pajak yang tepat dan menghindari kesalahan yang dapat mengakibatkan sanksi pajak.

Biaya yang Dapat Dikurangkan

Dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak (PKP), Wajib Pajak diperbolehkan untuk mengurangkan biaya-biaya tertentu dari penghasilan bruto mereka. Biaya-biaya ini disebut sebagai biaya yang dapat dikurangkan atau deductible expenses. Pemahaman yang baik tentang biaya-biaya ini dapat membantu Wajib Pajak dalam mengoptimalkan perhitungan pajak mereka secara legal. Berikut adalah penjelasan detail tentang biaya-biaya yang dapat dikurangkan:

1. Biaya untuk Mendapatkan, Menagih, dan Memelihara Penghasilan

Ini adalah kategori umum yang mencakup berbagai jenis biaya yang terkait langsung dengan upaya untuk menghasilkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Contohnya meliputi:

  • Biaya pembelian bahan baku atau barang dagangan
  • Gaji dan upah karyawan
  • Biaya sewa kantor atau tempat usaha
  • Biaya listrik, air, dan telepon untuk keperluan usaha
  • Biaya pemasaran dan iklan
  • Biaya perjalanan dinas
  • Biaya perbaikan dan pemeliharaan aset usaha

2. Penyusutan dan Amortisasi

Biaya penyusutan atas aset tetap dan amortisasi atas aset tidak berwujud dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Metode dan tarif penyusutan serta amortisasi harus sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.

3. Iuran Kepada Dana Pensiun

Iuran yang dibayarkan oleh pemberi kerja kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan dapat dikurangkan sebagai biaya.

4. Kerugian Karena Penjualan atau Pengalihan Harta

Kerugian yang timbul dari penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.

5. Biaya Penelitian dan Pengembangan

Biaya yang dikeluarkan untuk penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.

6. Biaya Beasiswa, Magang, dan Pelatihan

Biaya yang dikeluarkan untuk beasiswa, magang, dan pelatihan dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, dengan memperhatikan kewajaran dan kepentingan perusahaan.

7. Piutang yang Nyata-nyata Tidak Dapat Ditagih

Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat dibebankan sebagai biaya, dengan syarat telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial, telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN), atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus, atau telah diakui kebenarannya secara tertulis oleh debitur.

8. Sumbangan dalam Rangka Penanggulangan Bencana Nasional

Sumbangan yang diberikan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.

9. Sumbangan dalam Rangka Penelitian dan Pengembangan

Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, sepanjang dilakukan oleh lembaga yang telah diakui oleh instansi yang berwenang.

10. Biaya Pembangunan Infrastruktur Sosial

Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang sifatnya wajib dan dalam jangka waktu tertentu dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.

Hal-hal yang Perlu Diperhatikan

Meskipun banyak biaya yang dapat dikurangkan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:

  1. Biaya harus memiliki hubungan langsung dengan kegiatan usaha untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.
  2. Biaya harus didukung dengan bukti yang memadai, seperti faktur, kuitansi, atau dokumen pendukung lainnya.
  3. Beberapa jenis biaya memiliki batasan jumlah yang dapat dikurangkan, seperti biaya entertainment yang harus didukung dengan daftar nominatif.
  4. Ada beberapa jenis biaya yang tidak dapat dikurangkan, seperti pembagian laba kepada pemegang saham, pembentukan atau pemupukan dana cadangan, dan pemberian natura kepada karyawan (kecuali yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan).

Dengan memahami biaya-biaya yang dapat dikurangkan, Wajib Pajak dapat melakukan perencanaan pajak yang lebih baik dan memastikan bahwa mereka tidak membayar pajak lebih dari yang seharusnya. Namun, penting untuk selalu mengikuti peraturan perpajakan terbaru dan berkonsultasi dengan konsultan pajak jika ada keraguan dalam penerapannya.

Penghasilan yang Dikenakan PPh Final

Pajak Penghasilan (PPh) Final adalah pajak yang dikenakan dengan tarif dan dasar pengenaan pajak tertentu atas penghasilan yang diterima atau diperoleh selama tahun berjalan. Pembayaran, pemotongan atau pemungutan PPh Final ini merupakan pelunasan PPh yang terutang untuk jenis penghasilan tersebut, sehingga Wajib Pajak tidak perlu melaporkannya lagi pada SPT Tahunan PPh. Berikut adalah penjelasan detail tentang jenis-jenis penghasilan yang dikenakan PPh Final:

1. Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia (SBI)

Tarif PPh Final: 20 % dari jumlah bruto

Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI dikenakan PPh Final sebesar 20%. Hal ini berlaku untuk deposito dan tabungan dengan nilai di atas Rp7.500.000. Untuk simpanan dengan nilai di bawah itu, tidak dikenakan pajak.

2. Bunga Obligasi

Tarif PPh Final: 15% untuk Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT), 20% untuk Wajib Pajak luar negeri

Penghasilan berupa bunga dari obligasi yang diterima oleh Wajib Pajak dalam negeri dan BUT dikenakan PPh Final sebesar 15%, sementara untuk Wajib Pajak luar negeri dikenakan 20% atau sesuai dengan tarif yang ditetapkan dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang berlaku.

3. Penghasilan dari Transaksi Saham dan Sekuritas Lainnya di Bursa Efek

Tarif PPh Final: 0,1% dari nilai transaksi penjualan

Setiap transaksi penjualan saham di bursa efek dikenakan PPh Final sebesar 0,1% dari nilai transaksi. Selain itu, untuk penawaran saham perdana (Initial Public Offering/IPO), dikenakan tambahan pajak final sebesar 0,5% dari nilai saham yang diterbitkan.

4. Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan

Tarif PPh Final: 10% dari jumlah bruto nilai persewaan

Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari persewaan tanah dan/atau bangunan berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, pertokoan, atau gedung pertemuan termasuk bagiannya, dikenakan PPh Final sebesar 10% dari jumlah bruto nilai persewaan.

5. Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi

Tarif PPh Final bervariasi tergantung pada kualifikasi usaha dan kepemilikan sertifikat:

- 2% untuk pelaksanaan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa dengan kualifikasi usaha kecil

- 4% untuk pelaksanaan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha

- 3% untuk pelaksanaan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa selain yang tersebut di atas

- 4% untuk perencanaan atau pengawasan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa dengan kualifikasi usaha

- 6% untuk perencanaan atau pengawasan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha

6. Penghasilan dari Usaha Migas dan Panas Bumi

Tarif PPh Final: Bervariasi sesuai dengan ketentuan Kontrak Kerja Sama

Penghasilan dari usaha hulu migas dan panas bumi dikenakan PPh Final dengan tarif yang ditetapkan dalam Kontrak Kerja Sama (KKS) masing-masing.

7. Penghasilan dari Usaha dengan Peredaran Bruto Tertentu (UMKM)

Tarif PPh Final: 0,5% dari peredaran bruto

Wajib Pajak dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam satu tahun pajak dapat memilih untuk dikenai PPh Final sebesar 0,5% dari peredaran bruto.

8. Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan

Tarif PPh Final: 2,5% dari nilai pengalihan (1% untuk rumah sederhana dan rusun sederhana)

Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dikenakan PPh Final sebesar 2,5% dari nilai pengalihan. Khusus untuk pengalihan hak atas Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dikenakan PPh Final sebesar 1%.

9. Dividen yang Diterima Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri

Tarif PPh Final: 10% dari jumlah bruto

Dividen yang dibagikan kepada Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dikenakan PPh Final sebesar 10% dari jumlah bruto.

10. Penghasilan dari Hadiah Undian

Tarif PPh Final: 25% dari jumlah bruto

Penghasilan berupa hadiah undian dikenakan PPh Final sebesar 25% dari jumlah bruto hadiah.

Penting untuk dicatat bahwa penghasilan yang telah dikenakan PPh Final tidak perlu dihitung lagi dalam penghitungan PPh pada SPT Tahunan PPh. Namun, penghasilan tersebut tetap harus dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh.

Pengenaan PPh Final ini memiliki beberapa implikasi penting:

1. Kesederhanaan administrasi: Pengenaan PPh Final umumnya lebih sederhana karena pajak langsung dipotong atau dibayar saat penghasilan diterima.

2. Kepastian: Wajib Pajak memiliki kepastian tentang jumlah pajak yang harus dibayar.

3. Tidak dapat dikreditkan: PPh Final yang telah dibayar tidak dapat dikreditkan terhadap PPh yang terutang pada akhir tahun pajak.

4. Tidak dapat dikompensasi: Kerugian dari penghasilan yang dikenakan PPh Final tidak dapat dikompensasikan dengan penghasilan lain.

5. Perbedaan dengan pembukuan komersial: Dalam beberapa kasus, pengenaan PPh Final dapat menyebabkan perbedaan antara laba menurut pembukuan komersial dengan penghasilan kena pajak.

Memahami jenis-jenis penghasilan yang dikenakan PPh Final sangat penting bagi Wajib Pajak untuk memastikan kepatuhan terhadap peraturan perpajakan dan melakukan perencanaan pajak yang efektif. Selalu pastikan untuk mengikuti perkembangan peraturan perpajakan terbaru, karena ketentuan mengenai PPh Final dapat berubah sesuai dengan kebijakan pemerintah.

Perhitungan Pajak untuk Wiraswasta

Wiraswasta atau pengusaha perorangan memiliki kewajiban perpajakan yang berbeda dengan karyawan. Mereka harus menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak penghasilan mereka sendiri. Berikut adalah panduan lengkap tentang cara menghitung pajak untuk wiraswasta:

1. Menentukan Metode Pembukuan

Wiraswasta dapat memilih salah satu dari dua metode pembukuan:

a. Pembukuan: Wajib bagi yang memiliki peredaran bruto lebih dari Rp4,8 miliar per tahun.

b. Pencatatan (Norma Penghitungan Penghasilan Neto): Untuk yang memiliki peredaran bruto sampai dengan Rp4,8 miliar per tahun.

2. Menghitung Penghasilan Neto

a. Jika menggunakan pembukuan:

Penghasilan Neto = Penghasilan Bruto - Biaya-biaya yang diperkenankan

b. Jika menggunakan Norma Penghitungan:

Penghasilan Neto = Peredaran Bruto x Persentase Norma (sesuai jenis usaha)

3. Menghitung Penghasilan Kena Pajak (PKP)

PKP = Penghasilan Neto - Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)

4. Menghitung Pajak Penghasilan Terutang

Gunakan tarif progresif Pasal 17 UU PPh:

- Sampai dengan Rp50 juta: 5%

- Di atas Rp50 juta s.d. Rp250 juta: 15%

- Di atas Rp250 juta s.d. Rp500 juta: 25%

- Di atas Rp500 juta: 30%

5. Memperhitungkan Kredit Pajak

Kurangkan kredit pajak (jika ada) dari PPh terutang, seperti:

- PPh 22 yang telah dipungut

- PPh 23 yang telah dipotong

- PPh 24 yang telah dibayar di luar negeri

- PPh 25 yang telah dibayar sendiri

6. Menghitung PPh Kurang/Lebih Bayar

PPh Kurang/Lebih Bayar = PPh Terutang - Kredit Pajak

Contoh Perhitungan

Misalkan Andi adalah seorang wiraswasta dengan data sebagai berikut:

- Peredaran bruto: Rp600.000.000

- Biaya-biaya: Rp400.000.000

- Status: Menikah dengan 2 anak (K/2)

Langkah-langkah perhitungan:

1. Penghasilan Neto:

Rp600.000.000 - Rp400.000.000 = Rp200.000.000

2. Penghasilan Kena Pajak:

Rp200.000.000 - Rp67.500.000 (PTKP K/2) = Rp132.500.000

3. PPh Terutang:

(Rp50.000.000 x 5%) + (Rp82.500.000 x 15%) = Rp2.500.000 + Rp12.375.000 = Rp14.875.000

4. Misalkan Andi telah membayar angsuran PPh 25 sebesar Rp12.000.000 selama setahun.

5. PPh Kurang Bayar:

Rp14.875.000 - Rp12.000.000 = Rp2.875.000

Hal-hal yang Perlu Diperhatikan

1. Kewajiban Pembukuan: Wiraswasta wajib melakukan pembukuan atau pencatatan yang dapat menyajikan keterangan-keterangan yang cukup untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak.

2. Bukti Transaksi: Simpan semua bukti transaksi, baik pendapatan maupun pengeluaran, sebagai dasar pembukuan dan dapat digunakan sebagai bukti dalam pemeriksaan pajak.

3. Pemisahan Keuangan: Pisahkan keuangan pribadi dengan keuangan usaha untuk memudahkan pembukuan dan perhitungan pajak.

4. Pelaporan SPT: Wiraswasta wajib melaporkan penghasilannya melalui SPT Tahunan PPh Orang Pribadi (Formulir 1770).

5. Pembayaran Angsuran PPh 25: Lakukan pembayaran angsuran PPh 25 setiap bulan untuk menghindari beban pajak yang besar di akhir tahun.

6. Pemanfaatan Fasilitas Perpajakan: Manfaatkan fasilitas perpajakan yang tersedia, seperti pengurangan tarif PPh untuk UMKM dengan peredaran bruto tertentu.

7. Konsultasi dengan Ahli: Jika merasa kesulitan, jangan ragu untuk berkonsultasi dengan konsultan pajak atau petugas pajak di Kantor Pelayanan Pajak setempat.

8. Update Peraturan: Selalu ikuti perkembangan peraturan perpajakan terbaru, karena peraturan dapat berubah dari waktu ke waktu.

9. Perencanaan Pajak: Lakukan perencanaan pajak yang baik untuk mengoptimalkan kewajiban perpajakan secara legal.

10. Kepatuhan Waktu: Patuhi batas waktu pelaporan dan pembayaran pajak untuk menghindari sanksi administrasi.

Dengan memahami dan menerapkan cara perhitungan pajak yang benar, wiraswasta dapat memenuhi kewajiban perpajakannya dengan baik dan menghindari masalah dengan otoritas pajak di kemudian hari. Selalu ingat bahwa kepatuhan pajak bukan hanya kewajiban hukum, tetapi juga kontribusi terhadap pembangunan negara.

Perhitungan Pajak untuk Karyawan

Karyawan atau pegawai yang bekerja pada suatu perusahaan atau instansi memiliki kewajiban perpajakan yang berbeda dengan wiraswasta. Pajak penghasilan karyawan umumnya dipotong langsung oleh pemberi kerja melalui mekanisme pemotongan PPh Pasal 21. Berikut adalah panduan lengkap tentang cara menghitung pajak untuk karyawan:

1. Menghitung Penghasilan Bruto

Penghasilan bruto terdiri dari:

- Gaji pokok

- Tunjangan-tunjangan (transportasi, makan, jabatan, dll)

- Uang lembur

- Bonus, THR, gratifikasi (jika ada)

- Natura dan kenikmatan lainnya yang dikenakan pajak

2. Menghitung Penghasilan Neto Sebulan

Penghasilan Neto = Penghasilan Bruto - Biaya Jabatan - Iuran Pensiun - Iuran Jaminan Hari Tua (JHT)

Catatan:

- Biaya jabatan: 5% dari penghasilan bruto, maksimal Rp500.000 per bulan atau Rp6.000.000 per tahun

- Iuran pensiun dan JHT yang dibayar sendiri oleh karyawan

3. Menghitung Penghasilan Neto Setahun

Penghasilan Neto Setahun = Penghasilan Neto Sebulan x 12 + Penghasilan Tidak Teratur (bonus, THR, dll)

4. Menghitung Penghasilan Kena Pajak (PKP)

PKP = Penghasilan Neto Setahun - Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)

PTKP per tahun (2021):

- TK/0 (Tidak Kawin/Tanpa Tanggungan): Rp54.000.000

- K/0 (Kawin/Tanpa Tanggungan): Rp58.500.000

- K/1 (Kawin/1 Tanggungan): Rp63.000.000

- K/2 (Kawin/2 Tanggungan): Rp67.500.000

- K/3 (Kawin/3 Tanggungan): Rp72.000.000

5. Menghitung PPh Terutang Setahun

Gunakan tarif progresif Pasal 17 UU PPh:

- Sampai dengan Rp50 juta: 5%

- Di atas Rp50 juta s.d. Rp250 juta: 15%

- Di atas Rp250 juta s.d. Rp500 juta: 25%

- Di atas Rp500 juta: 30%

6. Menghitung PPh Pasal 21 Sebulan

PPh Pasal 21 Sebulan = PPh Terutang Setahun / 12

Contoh Perhitungan

Misalkan Budi adalah seorang karyawan dengan data sebagai berikut:

- Gaji pokok: Rp10.000.000 per bulan

- Tunjangan transportasi: Rp1.000.000 per bulan

- Tunjangan makan: Rp500.000 per bulan

- Status: Menikah dengan 2 anak (K/2)

- Iuran pensiun yang dibayar sendiri: Rp200.000 per bulan

Langkah-langkah perhitungan:

1. Penghasilan Bruto Sebulan:

Rp10.000.000 + Rp1.000.000 + Rp500.000 = Rp11.500.000

2. Penghasilan Neto Sebulan:

Rp11.500.000 - (5% x Rp11.500.000) - Rp200.000 = Rp10.725.000

3. Penghasilan Neto Setahun:

Rp10.725.000 x 12 = Rp128.700.000

4. Penghasilan Kena Pajak:

Rp128.700.000 - Rp67.500.000 (PTKP K/2) = Rp61.200.000

5. PPh Terutang Setahun:

(Rp50.000.000 x 5%) + (Rp11.200.000 x 15%) = Rp2.500.000 + Rp1.680.000 = Rp4.180.000

6. PPh Pasal 21 Sebulan:

Rp4.180.000 / 12 = Rp348.333

Hal-hal yang Perlu Diperhatikan

1. Metode Pemotongan: Ada tiga metode pemotongan PPh 21 yang mungkin diterapkan oleh pemberi kerja:

- Gross Method: Karyawan menanggung sendiri PPh 21

- Net Method: Pemberi kerja menanggung PPh 21 karyawan

- Gross-up Method: Pemberi kerja memberikan tunjangan pajak senilai PPh 21 yang terutang

2. Penghasilan Tidak Teratur: Bonus, THR, dan penghasilan tidak teratur lainnya harus diperhitungkan dalam penghitungan PPh 21 tahunan.

3. Bukti Potong: Pastikan untuk menerima dan menyimpan bukti potong PPh 21 (Form 1721-A1) dari pemberi kerja sebagai bukti pemotongan pajak.

4. Pelaporan SPT: Meskipun PPh 21 telah dipotong oleh pemberi kerja, karyawan tetap wajib melaporkan penghasilannya melalui SPT Tahunan PPh Orang Pribadi (Formulir 1770 S atau 1770 SS).

5. Penghasilan dari Pemberi Kerja Lain: Jika memiliki penghasilan dari pemberi kerja lain, harus dilaporkan dan dihitung kembali dalam SPT Tahunan.

6. Penghasilan Istri: Jika istri bekerja dan memperoleh penghasilan, penghasilan tersebut harus digabung dalam penghitungan PPh tahunan (kecuali memilih terpisah).

7. Fasilitas dan Natura: Beberapa fasilitas dan natura yang diberikan oleh pemberi kerja mungkin dikenakan pajak, tergantung pada kebijakan perusahaan dan peraturan yang berlaku.

8. Perubahan Status: Jika terjadi perubahan status (misalnya menikah atau memiliki anak), segera laporkan ke bagian SDM atau pemberi kerja untuk penyesuaian perhitungan PTKP.

9. Pajak Penghasilan Lain: Jika memiliki penghasilan lain di luar pekerjaan (misalnya dari investasi atau usaha sampingan), harus dilaporkan dan dihitung pajaknya dalam SPT Tahunan.

10. Konsultasi: Jika merasa ada ketidaksesuaian dalam perhitungan PPh 21, jangan ragu untuk berkonsultasi dengan bagian SDM atau konsultan pajak.

Dengan memahami cara perhitungan pajak untuk karyawan, Anda dapat memastikan bahwa pemotongan pajak yang dilakukan oleh pemberi kerja sudah benar dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Selalu ingat untuk memeriksa slip gaji dan bukti potong pajak secara rutin untuk memastikan keakuratan perhitungan pajak Anda.

Perhitungan Pajak untuk Perusahaan

Perusahaan atau badan usaha memiliki kewajiban perpajakan yang lebih kompleks dibandingkan dengan wiraswasta atau karyawan. Mereka harus menghitung, menyetor, dan melaporkan berbagai jenis pajak, termasuk Pajak Penghasilan (PPh) Badan. Berikut adalah panduan lengkap tentang cara menghitung pajak untuk perusahaan:

1. Menghitung Penghasilan Bruto

Penghasilan bruto meliputi seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan dalam satu tahun pajak, termasuk:

- Penjualan barang atau jasa

- Keuntungan dari penjualan aset

- Pendapatan bunga

- Pendapatan sewa

- Pendapatan royalti

- Pendapatan lain-lain

2. Menghitung Penghasilan Neto

Penghasilan Neto = Penghasilan Bruto - Biaya-biaya yang diperkenankan

Biaya-biaya yang diperkenankan meliputi:

- Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan

- Penyusutan dan amortisasi

- Iuran kepada dana pensiun

- Kerugian dari penjualan atau pengalihan harta

- Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia

- Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan

- Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih

- Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional

- Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia

- Biaya pembangunan infrastruktur sosial

- Sumbangan fasilitas pendidikan

- Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga

3. Menghitung Penghasilan Kena Pajak (PKP)

PKP = Penghasilan Neto - Kompensasi Kerugian (jika ada)

Catatan: Kompensasi kerugian adalah kerugian fiskal tahun-tahun sebelumnya yang dapat dikompensasikan, maksimal selama 5 tahun ke depan.

4. Menghitung PPh Badan Terutang

Untuk tahun pajak 2022 dan seterusnya, tarif PPh Badan adalah 22% dari PKP.

PPh Badan Terutang = 22% x PKP

5. Memperhitungkan Kredit Pajak

Kurangkan kredit pajak (jika ada) dari PPh terutang, seperti:

- PPh 22 yang telah dipungut

- PPh 23 yang telah dipotong

- PPh 24 yang telah dibayar di luar negeri

- PPh 25 yang telah dibayar sendiri

6. Menghitung PPh Kurang/Lebih Bayar

PPh Kurang/Lebih Bayar = PPh Terutang - Kredit Pajak

Contoh Perhitungan

Misalkan PT ABC memiliki data keuangan sebagai berikut untuk tahun pajak 2022:

- Penjualan: Rp100.000.000.000

- Harga Pokok Penjualan: Rp70.000.000.000

- Biaya Operasional: Rp20.000.000.000

- Pendapatan Lain-lain: Rp5.000.000.000

- Biaya Lain-lain: Rp2.000.000.000

- Kredit Pajak (PPh 22, 23, dan 25): Rp2.500.000.000

Langkah-langkah perhitungan:

1. Penghasilan Bruto:

Rp100.000.000.000 + Rp5.000.000.000 = Rp105.000.000.000

2. Penghasilan Neto:

Rp105.000.000.000 - Rp70.000.000.000 - Rp20.000.000.000 - Rp2.000.000.000 = Rp13.000.000.000

3. Penghasilan Kena Pajak:

Rp13.000.000.000 (asumsi tidak ada kompensasi kerugian)

4. PPh Badan Terutang:

22% x Rp13.000.000.000 = Rp2.860.000.000

5. PPh Kurang/Lebih Bayar:

Rp2.860.000.000 - Rp2.500.000.000 = Rp360.000.000 (Kurang Bayar)

Hal-hal yang Perlu Diperhatikan

1. Pembukuan: Perusahaan wajib menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku di Indonesia.

2. Rekonsiliasi Fiskal: Lakukan rekonsiliasi antara laba akuntansi dan laba fiskal untuk menentukan PKP yang benar.

3. Tarif Khusus: Beberapa jenis perusahaan mungkin memiliki tarif pajak khusus, seperti:

- Perusahaan go public dengan minimal 40% saham diperdagangkan di bursa efek: tarif 3% lebih rendah

- UMKM dengan peredaran bruto sampai Rp50 miliar: tarif 0,5% dari peredaran bruto (PPh Final)

4. Pelaporan SPT: Perusahaan wajib melaporkan SPT Tahunan PPh Badan (Formulir 1771) paling lambat 4 bulan setelah akhir tahun pajak.

5. Pembayaran Angsuran PPh 25: Lakukan pembayaran angsuran PPh 25 setiap bulan untuk menghindari beban pajak yang besar di akhir tahun.

6. Withholding Tax: Perusahaan mungkin memiliki kewajiban untuk memotong atau memungut pajak (PPh 21, 22, 23, 26) atas pembayaran kepada pihak lain.

7. Transfer Pricing: Untuk transaksi dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa, pastikan untuk menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm's length principle).

8. Pemanfaatan Fasilitas Perpajakan: Manfaatkan fasilitas perpajakan yang tersedia, seperti tax holiday atau tax allowance untuk industri pionir atau di daerah tertentu.

9. Dokumentasi: Simpan semua dokumen pendukung transaksi dan perhitungan pajak selama minimal 10 tahun.

10. Konsultasi dengan Ahli: Untuk perusahaan dengan transaksi yang kompleks, disarankan untuk berkonsultasi dengan konsultan pajak profesional.

Dengan memahami dan menerapkan cara perhitungan pajak yang benar, perusahaan dapat memenuhi kewajiban perpajakannya dengan baik dan menghindari masalah dengan otoritas pajak di kemudian hari. Selalu ingat bahwa kepatuhan pajak bukan hanya kewajiban hukum, tetapi juga bentuk kontribusi perusahaan terhadap pembangunan negara.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Disclaimer: Artikel ini ditulis ulang oleh redaksi dengan menggunakan Artificial Intelligence

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya